tirto.id - Ternate atau yang sebelumnya bernama Kerajaan Gapi merupakan salah satu dari empat kerajaan Islam tertua di Maluku Utara selain Tidore, Jailolo, dan Bacan. Kolano atau pemimpin pertama Ternate adalah Momole Ciko yang menyandang gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272).
Letak Ternate sangat strategis karena berada di antara Sulawesi dan Papua yang menjadi salah satu jalur pelayaran sekaligus perdagangan terpenting di Nusantara bagian timur kala itu. Maka, tidak heran jika wilayah Ternate kerap disambangi orang-orang dari suku bangsa lain, termasuk Melayu, Jawa, Arab, juga Cina.
Persoalan utama di Maluku Utara saat itu adalah persaingan antara 4 kerajaan yang menguasai kawasan tersebut. Untuk menyudahi konflik yang berkepanjangan, pemimpin Ternate ke-7, Kolano Sida Arif Malamo (1322-1331), berinisiatif mengundang penguasa Tidore, Jailolo, dan Bacan berkumpul untuk membicarakan kemungkinan adanya persatuan.
Dari pertemuan itu akhirnya disepakati bahwa dibentuklah persekutuan bernama Moloku Kie Raha (Empat Gunung Maluku). Moloku Kie Raha, dikutip dari tulisan Sutamat Arybowo yang terhimpun dalam Studi Awal Bahasa & Kebudayaan Gamkonora (2010), sesungguhnya mempunyai satu asal-usul, kemegahan, dan budaya yang sama.
Masa Islam dan Portugis
Sejak kapan kerajaan-kerajaan di Maluku Utara, khususnya Ternate, beralih menjadi kesultanan atau kerajaan bercorak Islam?
Menurut Restu Gunawan dalam buku Ternate Sebagai Bandar Jalur Sutra (1999), Islam masuk ke Maluku pada abad ke-15 Masehi. Raja Ternate pertama yang diketahui memeluk agama Islam adalah Kolano Marhum (1465-1486).
Kedatangan Portugis pada 1512 menjadi fase berikutnya bagi Kesultanan Ternate. Orang-orang dari Eropa itu semula datang untuk berdagang, namun kemudian justru berambisi menguasai pasar rempah-rempah, bahkan menaklukkan wilayah Maluku Utara.
Dalam perjalanan riwayatnya, campur-tangan Portugis kerap menyebabkan Kesultanan Ternate mengalami konflik antara sesama anggota kerajaan, bahkan hingga terjadi perang saudara demi memperebutkan takhta. Selain itu, Moloku Kie Raha juga turut goyah akibat pengaruh licik Portugis.
Hingga akhirnya, di bawah kepemimpinan Sultan Baabullah (1570-1583), Portugis berhasil diusir dari wilayah Ternate pada 1575. Bahkan, sang sultan sukses membawa Kesultanan Ternate meraih masa keemasan.
Masa Belanda dan Kemerdekaan
Setelah Sultan Baabullah wafat pada 1583, kejayaan Ternate perlahan meredup dan akhirnya jatuh ke tangan penjajah lainnya, yakni Belanda.
Beberapakali dilakukan perlawanan terhadap Belanda, dari zaman ke zaman, namun selalu kandas. Terlebih, orang-orang Belanda sangat piawai memainkan taktik devide et impera untuk memecah-belah sesama orang Ternate sendiri.
Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1902-1915) menjadi pemimpin terakhir Kesultanan Ternate yang masih memiliki kekuatan politik. Setelah Sultan Usman Syah dimakzulkan atas tudingan “pemberontakan” pada 23 September 1915 dan diasingkan ke Bandung hingga akhir hayatnya, Kesultanan Ternate sepenuhnya berada di bawah kendali Belanda.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Kesultanan Ternate meleburkan diri menjadi bagian dari NKRI. Posisi sultan memang masih ada dan terus dipertahankan secara turun-temurun, namun Kesultanan Ternate, seperti halnya kerajaan-kerajaan lainnya di Indonesia, kini lebih berperan sebagai simbol adat dan budaya.
Penulis: Rani Rahayu & Iswara N Raditya
Editor: Iswara N Raditya