tirto.id - Sepanjang September-Oktober 2018, ada dua perhelatan menarik yang mengangkat isu terkait sejarah rempah-rempah. Pertama, “Ekspedisi Jalur Rempah 2018: Sejarah Jalur Rempah dan Kekayaan Hayati Kie Raha” yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 28 September-10 Oktober. Kedua, Wallacea Week 2018 yang diselenggarakan British Council dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia di Perpustakaan Nasional pada 11-17 Oktober.
Tidak hanya itu. Di tengah menggeliatnya industri kuliner di Indonesia, berbagai acara seminar, pameran, hingga bertumbuhnya beberapa komunitas kuliner yang mengusung tema rempah-rempah turut pula bergeliat beberapa tahun terakhir. Fenomena ini seakan-akan membangunkan kembali ingatan kolektif masyarakat pada kemasyhuran masa lalu Indonesia sebagai “surga” penghasil rempah-rempah yang sempat hilang ditelan jaman.
Sejak sebelum abad ke-5 M, sebagaimana disinggung dalam kronik Tiongkok dan India, para pedagang dari Nusantara telah menguasai niaga komoditas berbau harum, yakni cengkih dan pala. Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai penguasa di kawasan barat hingga tengah Nusantara sejak abad ke-8 hingga abad ke-10. Kerajaan ini mengontrol seluruh lintas laut bangsa Barat dan Tiongkok menuju rute kepulauan rempah-rempah dan Selat Malaka.
Jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa, orang-orang Tionghoa dan India sudah lebih dahulu mengetahui rute menuju pusat rempah-rempah. Citra rempah-rempah pada mulanya cenderung lekat sebagai afrodisiak ketimbang pecitarasa makanan. Hal ini diungkapkan filsuf Theophrastus (ca. 372-287 M) bahwa rempah-rempah banyak digunakan oleh tabib daripada juru masak.
Hingga abad ke-13 para pedagang Tionghoa menjadi kunci penyalur niaga rempah-rempah dari pusatnya di Maluku. Dari Banda mereka bergerak ke kawasan barat dan terus berlayar hingga India menuju pasar rempah-rempah di Malabar. Lalu kapal-kapal dari Arab mengirimkan rempah-rempah melintasi Samudera Hindia menuju Teluk Persia dan Laut Merah.
Pada abad ke-14 rempah-rempah akhirnya sampai di Mediterania. Sejak itu bangsa-bangsa Eropa mulai mencapai sendiri “surga rempah-rempah” yang sebelumnya hanya kabar kabur. Selain itu ada juga kabar kabur terkait khasiat rempah-rempah yang dapat mengawetkan daging dari kebusukan atau menutupi bau (amis) daging. Paul Freedman dalam Out of the East: Spices and the Medieval Imagination (2008) menerangkan kabar ini beredar di seantero Eropa pada Abad Pertengahan.
Nyatanya kemampuan rempah-rempah tidaklah sedemikian, terlebih ketika teknik penggaraman, pengasapan, pengasaman, dan pengasinan sebagai cara pengawetan daging mulai berkembang dalam praktik kuliner sejak abad ke-15.
Abad ke-15 adalah “abad rempah-rempah” yang mengubah citra kuliner Eropa yang selama zaman Medieval dinilai tidak berselera. Citra rempah-rempah lantas mulai bergeser dari afrodisiak menjadi penguat citarasa eksotik hidangan di lingkungan kerajaan-kerajaan di Eropa.
Walhasil, seiring dengan populernya eksotika rempah-rempah, buku-buku masak pun bermunculan. Sebuah buku masak di Inggris, misalnya, memuat resep jenis ikan Atlantik (haddock) dalam kuah saus yang diberi nama ”gyve”. Bumbu sausnya dibuat dari ramuan cengkih, bunga pala, lada, kayumanis, kismis, kunyit, kayu cendana, dan jahe. Sepanjang abad ke-13 hingga abad ke-15, sekitar 75 persen rempah-rempah muncul di resep-resep buku masak.
VOC Cuma Eksploitasi
Sementara itu, di Nusantara, sebagai negeri penumbuh rempah-rempah, perniagaan tanaman bumbu itu mulai memicu banyak konflik hingga pertumpahan darah seiring dengan berkuasanya maskapai dagang Belanda (VOC) sejak awal abad ke-17. Setelah berhasil menguasai Batavia pada 1602, VOC terus-menerus memerangi bangsa lain serta menyulut api permusuhan di Maluku demi memonopoli dan mengeksploitasi rempah-rempah sebagai komoditas ekonomi belaka.
Perilaku Belanda itu membuat heran seorang peneliti Perancis, Pierre-Marie François de Pagès, yang menyindir VOC agar meniru cara-cara Spanyol dan Portugis dalam menerapkan kebijakan yang humanis di tanah koloni. Kesan tamak VOC ini secara tidak langsung juga meminggirkan potensi Maluku dengan kekayaan biodiversitasnya sebagai ruang bagi para peneliti untuk melakukan riset ilmiahnya.
Itu terbukti dari begitu abainya VOC menerbitkan karya penelitian naturalis Rumphius, Herbarium Amboinense. Setelah Rumphius wafat pada 1702, itikad untuk menerbitkan magnum opus-nya itu baru terlaksana 39 tahun kemudian (1741). Padahal jika mencermati karyanya, Rumphius secara tersirat menghendaki VOC agar memuliakan Maluku sebagai ladang penelitian ilmu pengetahuan ketimbang mengeksploitasinya hanya demi keuntungan ekonomi.
Sikap Belanda berbeda dengan Perancis yang lebih menjunjung prinsip-prinsip ilmiah dan riset daripada menangguk keuntungan ekonomi. Cara-cara Belanda yang mengawasi dengan ketat dan mudah memusnahkan tanaman rempah-rempah semata hanya karena persaingan niaga telah menghancurkan secara sistematis daerah-daerah penelitian Rumphius di Kepulauan Maluku (seperti Banda, Ambon, Seram, Buru, dan Alfuru). Setelah ilmuwan itu meninggal, potensi rempah-rempah di Maluku mengalami kemandekan budidaya secara ilmiah.
Cara-cara Belanda itu begitu disayangkan oleh seorang ilmuwan Perancis anggota Académie des sciences, belle lettre et arts (Akademi Ilmu Pengetahuan, Sastra, dan Seni) bernama Pierre Poivre. Atas perintah Raja Louis XV, Poivre—yang kebetulan arti namanya dalam bahasa Perancis adalah lada—ditugaskan melakukan ekspedisi pertamanya ke Maluku pada 1749 hingga 1756 dengan misi mencari rempah-rempah termasuk semua biji yang menghasilkan makanan, biji pohon buah, dan sayur-sayuran.
Hasil pencarian itu kemudian dibawa lalu ditanam di Mauritius. Pulau kekuasaan Perancis (ilê de France) di Afrika Timur itu dikehendaki Poivre dapat dibangun sebagai sentra tanaman budidaya milik Perancis. Segala jenis tanaman rempah-rempah seperti pala, cengkih, kayumanis, dan lada (termasuk berbagai jenis buah dan sayuran) berhasil dibudidayakan di Mauritius. Pada 1783, proyek budidaya rempah-rempah Poivre berhasil dilakukan dengan hasil memuaskan.
Primadona yang Ditinggalkan
Bagaimana dengan keadaan Maluku?
Sebuah surat bertanggal 23 Mei 1821 yang ditulis naturalis Jerman, Reinwardt, ke rekannya di Haarlem, M. van Marum, melaporkan tentang perjalanan dan hasil penelitiannya ke Pulau Banda. Ujarnya, pohon-pohon pala hampir menutupi pulau itu. Tanah Banda sendiri tidak begitu subur, sehingga semua bahan makanan harus diimpor dari lain daerah. Reinwardt menyayangkan kondisi ini, karena menurutnya dari segi perniagaan, Banda merupakan salah satu tempat terkaya di muka bumi.
Pada abad ke-19, Belanda mulai mendepak rempah-rempah dan lebih banyak berfokus di pulau Jawa. Mereka lebih memilih beralih ke komoditas lain (di antaranya kopi dan teh) yang dinilai lebih menangguk untung besar di pasaran dunia demi menutupi utang-utang VOC setelah kebangkrutannya jelang akhir abad ke-18.
Begitulah, wangi semerbak rempah-rempah di balik kemasyhuran nama Banda dan wilayah-wilayah di Kepulauan Maluku lainnya pun akhirnya sirna. Ibaratnya, ”habis manis sepah dibuang”!
Ketekunan Rumphius mencatat segala pengetahuan penduduk pribumi dalam memberdayakan rempah-rempah sedianya menjadi modal yang bisa dikembangkan secara ilmiah. Namun sayang, karena tidak adanya ketertarikan VOC terhadap nilai-nilai keilmuan, maka buah karya Rumphius ibarat oase di padang pasir saja.
Melalui rempah-rempah kita disadarkan pada batasan eksplorasi dan eksploitasi alam dalam perjalanan sejarah Indonesia. Di balik keeksotisannya ada ketamakan, eksploitasi alam, dan tragedi kemanusiaan. Dan di balik kisah kelamnya itu pula ada rasa dahaga para ilmuwan seperti Rumphius yang memperlakukan Nusantara laksana laboratorium raksasa bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
==========
Fadly Rahman adalah sejarawan dan pengajar di Departemen Sejarah & Filologi Universitas Padjadjaran. Ia menulis dua buku tentang sejarah makanan: Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942 dan Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia.
Editor: Ivan Aulia Ahsan