tirto.id - Albert Smith Bickmore baru lulus dari Universitas Harvard ketika ia memulai perjalanan panjangnya ke negeri timur jauh pada 1864. Selama tiga tahun berikutnya, Bickmore yang punya renjana besar di bidang sejarah alam ini berturut-turut mengunjungi Malaya, Hindia Belanda, dan Jepang.
Pada 19 April 1865, Bickmore sedang menuju Batavia dari Christmas Island dengan menumpang kapal Memnon. Tetapi, ia tak hendak berlama-lama di Jawa. Tujuan utamanya adalah “Kepulauan Rempah-rempah”. Di situ ia bermaksud meneliti dan mengumpulkan serbaneka spesies kerang yang hidup di perairannya.
Bukan tanpa alasan ia memilih Maluku sebagai destinasinya. “Aku memilih kepulauan itu daripada tempat lain di dunia karena koleksi pertama spesimen kerang dari Timur yang dideskripsikan dengan cukup akurat dan bernilai saintifik dibuat oleh Rumphius, seorang naturalis yang mukim bertahun-tahun di Amboina, ibu kota kepulauan itu,” tulis Bickmore dalam memoarnya.
Sebagimana dikutip George Sarton dalam “Rumphius, Plinius Indicus (1628-1702)” yang terbit di jurnal Isis (vol. 27, no. 2, 1937, hlm. 243), Bickmore juga menjelaskan bahwa perjalanan risetnya ke Maluku terinspirasi oleh Rariteitkamer—salah satu karya besar Rumphius.
Naturalis yang kemudian dikenal sebagai “Bapak Museum Sejarah Alam Amerika” itu hendak mengumpulkan spesimen kerang yang dideskripsikan Rumphius dalam karyanya. Bickmore menelusuri tempat-tempat Rumphius menemukan kerang seperti yang dideskripsikan dalam Rariteitkamer. Spesimen-spesimen itu akan ia bawa pulang dan dijadikan spesimen standar untuk museum sejarah alam Amerika.
“Aku menelusuri sendiri tiap kerang yang diterakan Rumphius dalam Rariteit Kamer, di setiap semenanjung dan pantai di mana dulu Rumphius menemukan spesimennya,” tulis Bickmore seperti dikutip Sarton dalam jurnalnya (hlm. 243).
Bickmore memang sangat terinspirasi oleh Rumphius dan karya-karyanya. Lantas, siapakah gerangan Rumphius itu?
Menuju Hindia Belanda
Rumphius lahir di Hanau—sekarang masuk Jerman—dengan nama George Eberhard Rumpf. Tahun kelahirannya masih sumir, antara 1627 atau 1628. Ayahnya seorang arsitek dengan kehidupan yang mapan.
Rumphius mendapat pendidikan yang baik di gimnasium Hanau dan mendapat gelar setara sarjana. Dalam “Dutch Pre-colonial Botany and Rumphius’s Ambonese Herbal” yang terbit dalam jurnal Allertonia (vol. 13, 2014, hlm. 11), Pieter Baas dan Jan Frits Veldkamp menyebut bahwa Rumphius remaja punya minat besar dalam humaniora dan ilmu alam.
Sayangnya, usai lulus gimnasium, ia dan pemuda Hanau lainnya terpaksa menjalani wajib militer atas suruhan Casimir Von Solms-Greifenstein, priyayi setempat yang lalim. Nasib buruk lantas menyesatkannya ke Belanda dan kemudian ke Portugal. Selama beberapa tahun, ia menjadi prajurit bayaran di sana.
Namun, setidaknya, di Portugal Rumphius mendapat peluang baru. “Ketika di Portugal, dia mendengar banyak cerita tentang keajaiban Hindia Timur yang membikin renjananya bangkit,” tulis Sarton (hlm. 245).
Pada 1649, akhirnya Rumphius bisa kembali ke Hanau. Bukan untuk pulang tetapi mempersiapkan perjalanan barunya ke Hindia Timur. Lalu di penghujung 1652, di usia 25, mendaftar sebagai serdadu VOC dan ikut berlayar ke Hindia Timur. Ia tiba di Jawa sekira Juni I653 dan meneruskan perjalanan ke Ambon.
Otoritas VOC segera melihat bahwa Rumphius tak punya kualitas sebagai tentara. Ia tampak lebih tertarik mempelajari alam dan masyarakat Ambon daripada memanggul senjata. Karenanya, ia lantas dimutasi ke dinas sipil VOC sebagai saudagar muda pada 1657.
Benar belaka. Di posisinya yang baru itu kinerjanya justru lebih baik. Hanya perlu lima tahun bagi Rumphius untuk naik jabatan menjadi saudagar senior pada 1662. Terlebih lagi, di dinas sipil ia dapat melakukan apa yang menjadi tujuannya semula masuk VOC: menjadi naturalis.
Memulai Riset Flora Ambon
Seturut keterangan Sarton, tak lama setelah menetap di Ambon, Rumphius mulai membuat survei sistematis flora dan fauna serta mengumpulkan informasi geografis dan mineral setempat. Ia hendak menyusun apa yang kini disebut sebagai “sejarah alam” wilayah itu.
Ia melakukan riset sambil tetap bekerja sebagai saudagar senior VOC. Hingga pada 1663, ia menyurati Dewan Direksi VOC di Amsterdam untuk menjelaskan ambisinya menyusun karya tentang keragaman flora Ambon dan sekitarnya. Ia menjelaskan bahwa pengetahuan tentang tanaman dan kegunaannya akan berguna bagi VOC.
Jawaban dari Amsterdam baru datang dua tahun kemudian berupa buku-buku tentang botani. Itu berarti dukungan bagi risetnya. Sejak itulah Rumphius menyibukkan diri menjelajahi hutan-hutan pulau Ambon untuk proyek besarnya. Sedekade ia habiskan untuk mengumpulkan spesimen dan mendeskripsikannya dalam bahasa Latin. Rumphius juga menggambar sendiri ilustrasinya.
Dalam “Dutch Pre-colonial Botany and Rumphius’s Ambonese Herbal” yang terbit dalam jurnal Allertonia (vol. 13, 2014, hlm. 10-11), Pieter Baas dan Jan Frits Veldkamp menjelaskan bahwa Rumphius mendapat dukungan dewan direksi karena proyeknya itu sebenarnya sesuai benar dengan misi awal VOC.
Atas saran botanis cum kepala Kebun Raya Leiden yang pertama, Carolus Clusius, VOC selalu menyertakan dokter dan apoteker dalam armadanya. Kepada mereka ini VOC memberi instruksi khusus untuk mengumpulkan spesimen tanaman dari daerah pos mereka. Spesimen utama tentu saja dari jenis-jenis tanaman rempah-rempah dan juga tanaman menarik lainnya.
Instruksi itu termasuk juga melengkapinya dengan deskripsi, ilustrasi, serta keterangan bagaimana dan di mana mereka tumbuh. Tanaman-tanaman yang berguna bagi kesehatan awak VOC selama pelayaran juga dipelajari. VOC jelas sadar akan nilai riset ilmiah bagi kelangsungan bisnis mereka. Namun, instruksi itu lambat dijalankan.
Sebelum Rumphius, instruksi ini nisbi baru dijalankan oleh Jacobus Bontius—dokter pribadi Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen—dan botanis Geraert de Bont yang telah menggambarkan 70 spesies tanaman dari Jawa.
“Jadi ketika Rumphius mengembangkan hasratnya meneliti alam Ambon pada paruh kedua abad ke-17, dia tak memulainya dalam ruang hampa,” tulis Baas dan Veldkamp (hlm. 11).
Rumphius tak sendirian mengerjakan riset-risetnya. Ia mendapat bantuan dari istrinya, Susanna. Bantuannya sangat berarti bagi Rumphius karena Susanna punya pengetahuan ginekologi tradisional Ambon dari pergaulannya dengan perempuan pribumi Ambon. Sang istri pulalah yang pertama kali menunjukkan padanya bunga anggrek jenis baru yang lalu dinamainya Flos Susannae—Bunga Susanna.
Tak Habis Dirundung Malang
Tak ada halangan berarti selama sepuluh tahun risetnya. Pernikahannya dengan Susanna juga berjalan bahagia sejauh itu. Namun, ketenangan hidupnya goyah ketika dua kemalangan mendatanginya dalam waktu berdekatan.
Malapetaka pertama menghampiri Rumphius pada 1670. Ia terserang glaukoma yang kemudian membuatnya buta. Malapetaka kedua mendatanginya empat tahun kemudian. Pada 17 Februari 1674, gempa besar melanda Ambon dan menewaskan istri serta anak perempuan bungsunya.
Tetapi, kedua bencana ini tak menyurutkannya. Kebutaan dan kehilangan orang terkasih tak menghentikan renjana Rumphius menyelesaikan riset-risetnya. Selain itu ia juga tetap melanjutkan tugas-tugas di VOC. Rumphius tetap melakukan semua itu dengan semangat yang sama seperti sebelumnya.
Agaknya tak berlebihan jika Sarton berkomentar, “Nasib buruk tak mau meninggalkannya sendirian, atau lebih tepatnya menantang keberaniannya sampai batas dan dengan demikian memungkinkan kita menakar betapa hebatnya dia” (hlm. 246).
Nyatanya, itu hanyalah awal dari kemalangan-kemalangan selanjutnya. Sarton memerincinya untuk kita. Pada 2 Januari 1687, hampir seantero kota Ambon lebur dilalap kebakaran hebat. Rumah Rumphius tak terkecuali dan ia tak sempat menyelamatkan isinya, termasuk semua hasil riset dan spesimen yang telah dikumpulkan bertahun-tahun lamanya.
Lagi-lagi, Rumphius menunjukkan ketegaran. Ia memulai kembali semuanya dari awal. Untunglah kini ada putranya, Paulus Augustus, yang membantu menggambar ulang ilustrasi flora Ambon. Ia juga diladeni beberapa pegawai VOC yang khusus dipekerjakan untuk membantunya.
Meskipun memulai dari awal, tak butuh waktu terlalu lama bagi Rumphius menyusun kembali proyek risetnya. Lima tahun setelah peristiwa kebakaran itu, ia berhasil menyusun enam jilid pertama dari apa yang nantinya diterbitkan di bawah judul Herbarium Amboinense. Itu adalah setengah dari total risetnya dahulu.
Naskah itu lantas dikirim ke Belanda pada 1692 untuk dicetak dan diterbitkan. Itulah awal kemalangan selanjutnya, karena naskah itu tak pernah sampai ke Belanda. Waterland, kapal yang membawa naskah itu, diserang dan ditenggelamkan oleh kapal Perancis.
“Segala sesuatu yang ada di kapal lenyap. Syukurlah sebelum mengirimkan naskah berharga itu, Gubernur Jenderal yang baru, Joannes Camphuys, sempat menyalinnya. Rumphius lantas melanjutkan lagi pekerjaannya,” kisah Sarton (hlm. 247).
Rumphius butuh empat tahun lagi untuk merampungkan seluruh naskah Herbarium Amboinense. Seluruhnya ada 12 jilid. Pada 1696, naskah lengkap itu sampai juga di Belanda dan diterima langsung oleh dewan direksi VOC. Namun, mereka memilih untuk menyimpan rapat-rapat naskah itu hingga setengah abad kemudian.
Itulah kemalangan terakhir Rumphius, karena ia kemudian mangkat di Ambon pada 15 Juni 1702. Jadi, ia tak pernah sempat melihat karyanya diterbitkan. Meskipun begitu, pasase Sarton terbukti: kemalangan demi kemalangan adalah angin lalu bagi Rumphius, hanya kematian yang bisa menghentikannya.
Editor: Ivan Aulia Ahsan