Menuju konten utama

Ilmuwan Buta dari Ambon yang Mengalahkan Nasib Buruk

“Lupakan tragedi yang menimpamu. Kita semua nahas sejak awal dan kau memang harus terluka habis-habisan agar dapat menulis secara serius. Saat kau terluka, gunakanlah—jangan curang. Setialah kepadanya seperti seorang ilmuwan—tetapi jangan anggap penderitaan itu istimewa hanya karena ia terjadi kepadamu atau orang-orang terdekatmu (Ernest Hemingway, dalam sebuah surat untuk F. Scott Fitzgerald).

Ilmuwan Buta dari Ambon yang Mengalahkan Nasib Buruk
Botanis Jerman, Georg Eberhard Rumphius, 1705. Ilustrasi/Istimewa

tirto.id - Ketika membicarakan nyali, umumnya orang akan merujuk kisah-kisah yang melibatkan luka, darah, erangan, dan sakaratul maut: peperangan, perburuan di alam liar, olahraga brutal, dan seterusnya. Apakah nyali hanya terdapat dalam urusan-urusan itu? Tentu tidak. Orang dapat pula merujuk Sokrates atau Giordano Bruno yang bersetia sampai mati terhadap ilmu pengetahuan dan tanggung jawab keilmuan mereka.

Namun, yang jarang orang bicarakan, nyali ada bukan hanya dalam pertarungan manusia melawan manusia, alam, atau para penguasa. Ia juga ada dan dibutuhkan dalam pertarungan manusia melawan hidupnya sendiri, untuk bertahan dari hari ke hari dan menuntaskan kerja.

Contoh kisah tentang nyali jenis ini adalah kisah Job atau Nabi Ayub dalam kitab-kitab suci agama-agama Abrahami. Kisah lainnya, yang lebih dekat dengan kita dan sungguh-sungguh terjadi, berlangsung pada abad ke-17 di Kepulauan Maluku: tentang pakar botani Georg Eberhard Rumpf.

Rumpf lahir di Hanau, Jerman, pada 1627. Dari ayahnya, ia belajar matematika, bahasa Latin, dan teknik menggambar mekanik. Namun, alih-alih meneruskan jejak ayahnya menjadi insinyur sipil, Rumpf remaja malah tergoda untuk bertualang ke negeri-negeri jauh.

Saat berumur 18 tahun, ia mendaftar jadi serdadu bayaran buat membela Venesia, tetapi malah diperintahkan menumpangi kapal tujuan Brazil—Belanda dan Portugis sedang berebut wilayah di negeri itu—dan akhirnya terdampar sebagai tawanan di Portugal.

Tiga tahun di Portugal, Rumpf banyak mendengar cerita tentang Kepulauan Rempah-rempah beserta pelbagai daya pikatnya. Hasrat avonturnya berkobar. Setelah kembali tinggal di Hanau sekitar setahun, ia melamar jadi serdadu VOC dan berangkat ke Hindia Belanda.

Pada 1653, Rumpf ditugaskan merancang dan membangun benteng-benteng di Pulau Ambon. Empat tahun kemudian, menurut Dick Hartoko dalam Bianglala Sastra (1979), ia naik pangkat menjadi perwira muda zeni. Namun, pada waktu itu minat Rumpf di dunia militer telah pudar.

"Ia sudah menemukan jalan hidupnya. Ia mengajukan permohonan agar dapat dibebaskan dari dinas ketentaraan dan dapat diterima dalam bidang sipil. Permintaan tersebut dikabulkan dan ia diangkat sebagai saudagar muda [onderkoopman] di Larike di pantai utara Ambon, di semenanjung Hitu," tulis Dick.

Larike pada masa itu cuma desa kecil yang meliputi tiga dusun dan jumlah penduduknya hanya 837 orang, dan letaknya amat terpencil. Bagi kebanyakan pegawai VOC, situasi itu merupakan pembuangan, tetapi tidak untuk Rumpf. Di sana, karena tak banyak yang ia perlu lakukan sebagai agen VOC, Rumpf justru jadi punya banyak waktu buat menekuni urusan yang disebut Dick sebagai “jalan hidupnya.”

Rumpf jatuh cinta kepada kekayaan alam tropis. Ia tergugah buat mempelajarinya dan bertekad merangkumnya dalam katalog ilmiah yang lengkap.

Di Larike jugalah Rumpf berjumpa dan mengawini perempuan lokal bernama Susanna (mungkin keturunan Tionghoa, menurut J.F. Veldkamp dari Universitas Leiden dalam “Georgius Everhardus Rumphius, The Blind Seer of Ambon” [2011]). Susanna memperkenalkan tanaman anggrek Maluku kepada Rumpf dan ia menamai anggrek itu Flos Susannae—kini Pecteilis susannae (L.) Raf.

Tentang penamaan itu, di kemudian hari Rumpf menulis, “Untuk kenanganku bersamanya—kawan dan rekan pertamaku dalam mencari tumbuhan dan jamu-jamuan. Ia yang pertama kali menunjukkan kepadaku bunga ini.”

Rumpf alias Rumphius (pada masa itu, kaum intelektual menyukai citra kelatin-latinan) kelak akan dikenal sebagai pakar botani penting penulis Herbarium Amboinense atau Kitab Jamu-jamuan Ambon (1741) dan D'Amboinsche Rariteitkamer alias Kotak Keajaiban Pulau Ambon(1705), masing-masing tentang spesies tumbuh-tumbuhan dan kerang-kerangan di kepulauan Maluku. Namun, seakan-akan mengulang pengalamannya bertualang semasa muda, jalan menuju situasi itu ruwet dan penuh kesukaran.

Tugas pertama Rumphius ialah menamai setiap tanaman dan kerang yang ia koleksi. Ia melakukannya dalam bahasa Latin, Melayu, Ambon, dan, kalau mungkin, juga dalam bahasa Jawa, Hindi, Portugis, Cina, dan Belanda. “Ia memikul beban itu dengan keriangan seorang Nabi Adam baru,” tulis Jacob Mikanowski dari Atlas Obscura.

Selayaknya Nabi Adam baru, Rumphius menciptakan nama-nama unik dan, kadang, ganjil bagi temuan-temuannya. Dari kategori kerang-kerangan, ada nama-nama yang berarti “Tanduk Impian Kecil”, “Pemakaman Pangeran”, “Musik Petani”, dan “Harpa Venus Rangkap.” Dan nama-nama tumbuhannya: “Pohon Bugil”, “Tanaman Selingkuh”, “Tanaman Kenangan”, “Semak Quis-Qualis yang Menakjubkan”, “Tali Empedu”, “Janggut Saturnus”, dan—yang paling dahsyat—“Kembang Kelentit Biru.”

Tetapi tentu Rumphius tak berhenti sampai di situ. Lebih dari sekadar memberi nama, ia menggambarkan struktur, bentuk akar, susunan daun-daun, dan warna kembang setiap tanaman. “Ia bahkan menjelaskan manfaat setiap tanaman dalam koleksinya … Ia menerangkan tanaman apa yang baik buat menghentikan mencret, buat mengobati sakit kuning, dan buat membikin lawan jenis kelojotan menahan birahi,” tulis Mikanowski.

Hal paling berharga dari karya-karya Rumphius ialah kekayaan penjelasannya. Dalam hal isi, misalnya, ia tak hanya menulis tentang fakta spesies-spesies yang ia teliti, tetapi juga mitos-mitos rakyat tentangnya. Itu berarti, sebagai seorang ilmuwan, Rumphius tak arogan. Ia memberi tempat kepada hal-hal dari luar alam pikir dan pengetahuannya.

Dalam hal penyampaian, ia peka terhadap rincian dan relatif terampil berbahasa. Berikut deskripsi Rumphius tentang layar baksi atau holothuria, semacam ubur-ubur: “Badannya tembus pandang seperti botol kristal berisi zat hijau-biru. Layar-layarnya putih bagaikan kristal, sedangkan tepi atasnya merah padam atau ungu tua … Pada satu sisi, kalau tak salah ingat bagian kanan, dan di sekitarnya tergantunglah sejumlah benang tipis. Warnanya molek, biru bercampur hijau remang-remang. Benang-benang itu sangat rapuh, sehingga mudah sekali pecah dan melekat pada alat yang kita pakai untuk menyentuhnya.”

“Ia adalah etnografer sekaligus biolog, munsyi sekaligus ilmuwan,” tulis Mikanowski tentang Rumphius. Namun,bakat dan keterampilan yang luar biasa itu mendapat lawan sepadan: nasib buruk.

Pada 1670, ketika berumur 43 tahun dan kerjanya belum apa-apa, kedua mata Rumphius buta karena penyakit staar alias glaukoma. Saat itu belum ada dokter-dokter yang dapat menyembuhkan penyakit tersebut, tetapi Rumphius tak patah arang. Ia pindah ke Ambon dan meneruskan karyanya dengan bantuan Susanna. Salah seorang anaknya, Paulus Augustus, ia latih untuk mencatat apa-apa yang ia diktekan serta menggambarkan spesimen-spesimen yang telah mereka kumpulkan.

Tanpa penglihatan, Rumphius mengandalkan indera-inderanya yang lain buat memahami dan menggambarkan temuannya. Ia menyentuh, mencecap, dan menghidu aroma spesimen-spesimennya dengan perhatian lebih, dan upaya itu melengkapi ingatannya yang kuat atas warna dan keterampilannya menciptakan perumpamaan visual. Ia pernah menulis tentang ketam-ketam kecil yang “berkeliaran seperti busa di permukaan laut” dan umang-umang yang “meninggalkan zirah lama mereka buat kuintip.”

Kata Dick Hartoko, Rumphius punya julukan yang ciamik: “Orang buta berpandangan jauh.”

Infografik Rumphius

Pada 17 Februari 1674, Rumphius, Susanna, dan putri mereka berjalan-jalan ke pecinan kota Ambon untuk menyaksikan perayaan Imlek. Susanna dan putrinya mampir ke sebuah toko sementara Rumphius tinggal di luar. Lalu terjadilah gempa besar, 2.322 penduduk Ambon meninggal dunia.

“Pilu betul rasanya menyaksikan pria itu meratapi gempa dan kebutaaannya di samping mayat istri dan anaknya,” ujar seorang saksi mata yang dikutip Mikanowski. Namun, Rumphius agaknya tak dilahirkan buat kalah. Kematian Susanna dan putri mereka mungkin menghancurkan pria itu, tetapi jelas tak mengalahkannya.

Selain melanjutkan penelitian dan penulisan herbariumnya, pada tahun-tahun itu Rumphius berhasil merampungkan manuskrip tentang sejarah dan geografi Pulau Ambon. Naskah itu, sayangnya, tak kunjung diterbitkan karena VOC, menurut Dick, khawatir “apakah dalam buku Rumphius itu terdapat sesuatu yang dapat menjatuhkan nama dan gengsi VOC, apalagi memberikan petunjuk kepada para musuh untuk menyaingi maskapai dagang Belanda itu dan mengurangi labanya” sampai suatu ketika “pendeta Valentijn, seorang yang menamakan diri sahabat Rumphius, mempergunakan isi buku itu lalu menerbitkannya atas namanya sendiri.”

Berselang 13 tahun dari kematian Susanna, Rumphius tertimpa bencana lagi. Pemukiman orang Belanda di kota Ambon dilanda kebakaran hebat. Rumah Rumphius terbakar dan perpustakaannya musnah. Gambar-gambar yang akan melengkapi Kitab Jamu-jamuan, manuskrip tentang kerang-kerang dan siput-siput (calon buku Kotak Keajaiban), dan koleksi spesimennya terbakar habis. Yang selamat hanya naskah Kitab Jamu-jamuan.

Pelan-pelan, dengan bantuan juru tulis dan juru gambar yang digaji VOC, Rumphius mengerjakan ulang naskah-naskahnya yang terbakar. Pada akhir 1690, manuskrip herbarium selesai. Bagian pertamanya yang terdiri dari enam jilid ia kirimkan ke Betawi buat disalin, sebab pada masa itu pelayaran ke Eropa berisiko besar—dan benar, pada 1692, kapal yang hendak mengantarkan naskah itu ke Belanda ditenggelamkan angkatan laut Prancis.

Setelah beberapa kali pengiriman, baru pada 1697 naskah Kitab Jamu-jamuan terkumpul lengkap di Belanda. Apakah VOC segera menerbitkannya? Tidak. Sebagaimana naskah Rumphius tentang sejarah dan geografi Pulau Ambon, manuskrip itu cuma tersimpan di gudang arsip karena pertimbangan “keamanan” (menurut Dick Hartoko) dan biaya (menurut Veldkamp). Untuk mencetak 500 eksemplar saja, perlu biaya sebesar 100 guilder—setara 20 ribu Euro hari ini.

Rumphius menyelesaikan karya besarnya yang kedua, Kotak Keajaiban, pada 1699. Belajar dari kesalahannya, ia tak mengirimkan naskah itu kepada petinggi VOC, tetapi menyelundupkannya kepada walikota Delft, Hendrik d'Acquet, pada 1701. Sebagian ilustrasi untuk naskah itu dikerjakan oleh Maria Sybille Merian. Menurut Veldkamp, jika Rumphius ialah penemu zoologi dan botani di Kepulauan Maluku, Merian punya posisi serupa di Suriname.

Kotak Keajaiban lebih beruntung ketimbang Kitab Jamu-jamuan. Walaupun kelar belakangan, buku itu terbit 36 tahun lebih dulu. Sayang, bagi Rumphius, perbedaan waktu yang besar itu tak ada artinya. Ia telah meninggal dunia pada 1702, dalam usia 74 tahun, tanpa pernah melihat dan menyentuh buku-buku hasil kerja seumur hidupnya.

Tetapi, betapa pun sukarnya, Rumphius berhasil menyelesaikan karya-karyanya. Ia menang dan nasib buruk "bertingkah" seperti pecundang yang tak kenal malu: sebuah monumen untuk mengenang Rumphius didirikan di Ambon, lalu serombongan tentara Inggris membongkarnya karena mereka mengira di bawahnya ada emas terpendam. Gubernur Jenderal van der Capellen mendirikan monumen baru pada 1824 dan Pasukan Sekutu membomnya pada 1944. Adapun rumah peninggalan Rumphius di Ambon juga terbakar habis pada awal abad ke-20.

Nasib buruk tak tahu bahwa monumen terbaik yang mengingatkan kita kepada Rumphius mustahil dihancurkan: dari buku-bukunya, kita mengembangkan ilmu pengetahuan; dari kehidupannya, kita mendapat teladan tentang keberanian.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Humaniora
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti