tirto.id - Peristiwa polisi tembak polisi kembali membawa petaka. Kali ini terjadi di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, Jumat (22/11/2024) pekan lalu. Dinihari sekira 00.15 WIB, Kabag Ops Polres Solok Selatan, AKP Dadang Iskandar, menembak mati Kasat Reskrim Polres Solok Selatan, AKP Ulil Ryanto Anshari, di kantor Polres Solok Selatan. AKP Riyanto tewas dengan dua tembakan mengenai bagian kepala, bagian pipi kanan dan pelipis kanan.
AKP Dadang juga melakukan tembakan ke arah rumah dinas Kapolres Solok Selatan, AKBP Arief Mukti. Dari temuan Tim Inafis, pelaku menembakan 9 peluru dari senjata apinya, dua mengenai jasad korban dan sisanya mengenai tembok rumah dinas Arief Mukti. Arief yang berada di rumah dengan keluarganya saat kejadian, dikabarkan selamat.
Peristiwa ini terjadi ketika tim Satreskrim Polres Solok Selatan menangkap pelaku tambang ilegal. Ketika tim Satreskrim melakukan pemeriksaan pelaku, di luar kantor terdengar suara tembakan. AKP Ulil Ryanto ditemukan tergeletak dengan luka tembakan di bagian kepala.
Saat itu anggota Satreskrim melihat mobil AKP Dadang meninggalkan lokasi kejadian. Dadang diduga tidak senang dengan penangkapan pelaku tambang galian C yang dilakukan oleh tim Satreskrim Polres Solok Selatan.
Setelah menembak AKP Ryanto, Dadang menyerahkan diri pada pukul 03.00 WIB. Akibat aksi koboinya, Dadang dijerat dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana yang maksimal hukumannya yaitu pidana mati.
Sementara itu, Kapolda Sumatera Barat (Sumbar), Irjen Suharyono, membenarkan bahwa anggotanya tersebut sudah melakukan kegiatan dan perbuatan tercela.
Suharyono menerangkan, penyidik Polres Solok Selatan memang secara rutin melakukan penindakan kepada para pelaku illegal logging, illegal fishing, dan illegal mining. Penindakan dilakukan atas perintahnya langsung sebagai bentuk realisasi Asta Cita dari Pemerintahan. Ia menilai perbuatan Dadang yang diduga memiliki hubungan dengan bisnis tambang ilegal sebagai perbuatan kontra hukum.
“Polisi yang jabatannya adalah Kabag Ops, itu melakukan perbuatan yang sangat tidak terpuji dan sangat tercela,” tutur Suharyono.
Terkuaknya Masalah Penegakan Hukum di Sektor Pertambangan
Manajer Kampanye Isu Tambang dan Energi WALHI Nasional, Rere Christianto, menilai dugaan keterlibatan AKP Dadang dalam bisnis tambang ilegal menegaskan masalah besar dalam penegakan hukum di sektor pertambangan. Rere mengingatkan, pertambangan baik berizin maupun tidak, akan berdampak pada manusia dan lingkungan.
Perubahan bentang lahan untuk kawasan pertambangan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Jika sebelumnya kawasan hutan, maka menyebabkan hilangnya tutupan lahan pada kawasan hutan akibat aktivitas pertambangan. Selain itu, dapat membuat hilangnya wilayah resapan sehingga sumber air yang digunakan warga berpotensi hilang.
Pertambangan tanpa izin alias ilegal bahkan mengundang risiko yang lebih besar. Pasalnya, tidak terjadi pengawasan dari operasi pertambangan yang dijalankan. Maka, ketika aparat penegak hukum justru menjadi beking pada penjahat lingkungan seperti ini, kerusakan alam tentu akan semakin memburuk.
“Tentu ini menggambarkan bagaimana penjahat lingkungan bisa menggunakan kuasa yang dimiliki oleh penegak hukum dalam menjalankan aktivitasnya,” ucap Rere kepada reporter Tirto, Senin (25/11/2024).
Perlu keseriusan aparat polisi melakukan penegakan hukum pada aktivitas pertambangan ilegal. Sebab pertambangan yang berjalan tanpa izin hampir mustahil operasi kegiatannya dilakukan diam-diam dalam waktu lama dan berulang. Aktivitas pertambangan tentu butuh mobilisasi sumber daya: seperti para pekerja, alat berat, alat transportasi, bahan kimia dan aliran permodalan.
Mobilisasi kebutuhan sebanyak dan sebesar ini, nyaris mustahil dapat berjalan dalam waktu yang lama tanpa terdeteksi.
“Jadi jika masih ada operasi pertambangan ilegal yang bisa berjalan panjang, itu terjadi hanya jika aparat penegak hukum tidak becus melakukan tugas dan membiarkan operasi ilegal itu,” tegas Rere.
Pemerhati kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menyatakan sesuai mandat di Undang-Undang Polri, tugas pokok dan fungsi dari Korps Bhayangkara adalah pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
Maka jelas, anggota polisi yang menjadi beking usaha ilegal jenis apapun sudah melanggar mandat UU Polri.
Masalahnya, kata Bambang, dalam kasus di Solok Selatan, perlu terang benderang siapa yang jadi beking tambang ilegal. Betulkah cuma AKP Dadang yang terlibat dan dinisbatkan sebagai ‘oknum’?
Harus ada pembuktian bahwa organisasi tidak terlibat atau melibatkan atasan dari AKP Dadang alias para petinggi polisi di daerah tersebut.
“Mengapa kasus beking tambang di Solok baru mencuat setelah terjadi penembakan oleh oknum aparat pada aparat yang lain? Apakah kalau tidak ada peristiwa itu, berarti tak ada masalah beking-bekingan?,” ucap Bambang kepada reporter Tirto, Senin (25/11/2024).
Menurut Bambang, fakta yang beredar di masyarakat, justru praktik beking aparat terhadap bisnis ilegal selalu ada dan terjadi dari lama. Baik dilakukan oleh segelintir anggota, maupun struktur organisasi kepolisian.
Fakta bahwa ada tujuh selongsong peluru yang ditembakan ke rumah Kapolres, dinilai Bambang memunculkan dugaan adanya emosi dan kemarahan dari pelaku terhadap organisasi.
Emosi seseorang bisa terpicu karena merasa diperlakukan tidak adil. Pelaku bisa jadi sudah sering berbagi setoran dari tambang ilegal yang dilindunginya. Namun, kata Bambang, tetap juga diusik oleh korban dan institusi Mapolres Solok Selatan.
Kasus ini dinilai tidak bisa diselesaikan secara normatif dan prosedural semata. Polri perlu mengusut kasus ini secara terang-benderang dengan menguak bisnis ilegal yang diduga melibatkan anggota polisi. Terutama, sebagai beking aktivitas tambang dan budaya setor kepada atasan.
Seorang Kapolres, kata Bambang, pasti mempunyai perangkat intelkam. Jika tidak tahu ada anak buah menjadi beking bisnis ilegal, lebih baik segera dicopot karena tidak kompeten sebagai kepala satuan wilayah.
“Sangat tidak mungkin atasan tak mengetahui ada bawahan yang menjadi beking tambang ilegal,” ucap Bambang.
Mencoreng Institusi Polri
Kepala Divisi Hukum KontraS, Andrie Yunus, menyatakan anggota polisi yang menjadi beking dari aktivitas tambang ilegal bukan hanya melanggar hukum, namun juga melakukan tindakan tercela yang menjijikan. Menurut Andrie, industri pertambangan merupakan industri ekstraktif yang menimbulkan daya rusak tinggi terhadap lingkungan hidup serta ekosistem.
Apalagi pertambangan ilegal dan dilindungi aparat penegak hukum, jelas ini kekeliruan fatal. Polisi justru harus melaksanakan mandat melakukan penyelidikan terhadap setiap dugaan bisnis tanpa izin, termasuk aktivitas tambang ilegal. Penegakan hukum amat diperlukan guna melindungi keselamatan dan kesejahteraan masyarakat.
Andrie melihat praktik pola hubungan berkaitan anggota polisi yang menjadi tandem entitas bisnis industri ekstraktif acapkali menumbuhkan hubungan yang saling bergantung. Misal, tambang ilegal dibeking aparat dengan maksud agar tidak ada penegakan hukum sekaligus memberikan pengamanan terhadap aktivitas pertambangan.
“Imbalannya, para pemodal yang dimintakan ke aparat diganti materi, uang misalnya. Hal ini yang kemudian menyebabkan hubungan ketergantungan keduanya, yang mana merupakan perbuatan yang salah dan melanggar ketentuan hukum,” kata Andrie kepada reporter Tirto, Senin (25/11/2024).
Dalam kasus ini, terlihat pengawasan internal Polri kurang cukup dapat diandalkan. Andrie menilai perlu hadir kekuatan penyeimbang pengawasan melalui lembaga eksternal seperti Kompolnas, Komnas HAM, sampai DPR RI. Ia menegaskan, pengawasan internal maupun eksternal polri, jangan sampai berhenti hanya pada sanksi etik belaka.
“Melainkan harus ada pemidanaan terhadap siapapun, apapun pangkat dan jabatannya bila terlibat dalam beking tambang ilegal harus diadili,” terang Andrie.
Sementara itu, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mendesak Polda Sumatera Barat bersama Polres Solok Selatan melanjutkan pengungkapan tambang ilegal yang memicu peristiwa tewasnya AKP Ulil Ryanto ditangan anggota polisi yang diduga menjadi beking.
Sekretaris Kompolnas, Arief Wicaksono Sudiutomo, mengatakan dengan sudah adanya tersangka maka kasus ini wajib dibuka terang-benderang ke khalayak ramai.
Eks Sekretaris NCB Interpol tersebut mengaku telah mendatangi langsung tempat kejadian perkara (TKP) di halaman parkir Mapolres Solok Selatan dan Rumah Dinas Kapolres Solok Selatan. Arief meminta masyarakat memberikan kesempatan kepada jajaran Polda Sumbar maupun Polres Solok Selatan bekerja secara profesional.
“Perkara yang diawali mendiang Kasat Reskrim Polres Solok Selatan itu harus dilanjutkan karena sudah ada barang bukti,” kata Arief di Padang, Senin (25/11/2024) dilansir dari Antara.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, memastikan tidak ada toleransi dalam tindak pelanggaran serius yang terjadi di institusi kepolisian. Oleh karena itu, Kapolri akan memastikan pihaknya memiliki mekanisme pengawasan internal yang tegas untuk menindak setiap bentuk pelanggaran, baik yang bersifat etik maupun pidana.
“Yang jelas kalau hal-hal yang sifatnya bisa diproses dengan hal-hal yang bersifat etik, ini secara umum ya, tentunya akan kami lakukan. Sehingga kemudian semuanya bisa berjalan dengan baik. Namun terhadap pelanggaran yang tidak bisa ditolerir, saya minta tindak tegas,” ujar Listyo di kantor Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Jakarta, Jumat (22/11/2024).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto