Menuju konten utama

DPR Harus Libatkan Publik Bahas RUU Kontroversial di Prolegnas

Setidaknya, terdapat dua RUU carry over yang perlu dikawal pembahasannya, yaitu RUU Pilkada dan RUU MK.

DPR Harus Libatkan Publik Bahas RUU Kontroversial di Prolegnas
Suasana ruang rapat Baleg DPR RI di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (12/11/2024). tirto.id/Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - DPR RI telah menyepakati sebanyak 176 Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025–2029. Di dalamnya telah termasuk 41 RUU Prolegnas Prioritas 2025. Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Paripurna DPR Ke-8 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024–2025, pekan lalu.

Di antara 176 RUU dalam Prolegnas 2025-2029, terdapat tujuh RUU yang merupakan warisan DPR periode sebelumnya atau disebut sebagai RUU carry over (mekanisme luncuran).

RUU-RUU tersebut meliputi RUU MK, RUU Pilkada, RUU Kepariwisataan, RUU EBT, RUU Hukum Acara Perdata, RUU Narkotika dan Psikotropika, dan RUU Pengelolaan Ruang Udara.

Sejumlah pengamat legislasi dan pegiat hukum melihat dalam daftar RUU warisan tersebut masih terselip sejumlah RUU kontroversial. Setidaknya, terdapat dua RUU carry overyang disoroti, yaitu RUU Pilkada dan RUU Mahkamah Konstitusi (MK).

Kedua RUU itu menjadi perhatian lantaran menuai penolakan dari masyarakat sipil ketika dibahas di DPR periode sebelumnya.

RUU Pilkada bahkan memantik protes terbuka di sejumlah daerah. Pada Agustus lalu, manuver revisi UU Pilkada yang dilakukan DPR memantik gerakan protes “Garuda Biru” yang bergaung di media sosial. Sejumlah dugaan kekerasan oleh aparat penegak hukum juga terjadi di beberapa titik demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat.

Kala itu, revisi UU Pilkada yang dilakukan DPR dengan pembahasan kurang dari 8 jam itu dinilai akan menguntungkan putra bungsu Joko Widodo, Kaesang Pangarep. Revisi itu dinilai dilakukan untuk memuluskan jalan Kaesang maju menjad calon kepala daerah.

Padahal, sehari sebelumnya, MK sudah memutus bahwa syarat usia untuk cagub-cawagub pada UU Pilkada terhitung sejak penetapan. Ketentuan ini berbeda dengan Putusan MA yang menginginkan aturan tersebut dihitung sejak pelantikan.

DPR juga dinilai mengabaikan Putusan MK lainnya, yakni soal ketentuan dalam Pasal 40 UU Pilkada terkait syarat pengusungan cakada oleh parpol atau gabungan parpol. Putusan MK atas pasal tersebut membuat parpol atau gabungan parpol dapat mengusung cakada, meski tidak punya kursi DPRD.

Putusan MK juga menurunkan ambang batas untuk syarat pengusungan cakada bagi semua parpol. Namun, DPR bersikukuh tidak mengikuti Putusan MK tersebut. Setelah demonstrasi pecah di berbagai daerah, DPR baru membatalkan revisi UU Pilkada.

Sementara itu, RUU MK memantik protes sejumlah pakar hukum tata negara sebab berpotensi menghancurkan prinsip universal kemandirian yudikatif. Draf RUU MK memuat ketentuan bahwa hakim konstitusi setelah menjabat selamalima tahun wajib dikembalikan kepada lembaga pengusul untuk persetujuan apakah kembali menjabat atau diberhentikan.

RUU Warisan Juga Harus Dibahas Seksama

Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, menyatakan bahwa aturan soal RUU carry over memang termaktub dalam dalam Pasal 71A UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).

Mekanisme luncuran atau carry over, jelas Yance, hanya bisa dilakukan terhadap RUU yang pada periode sebelumnya sudah dilakukan tahapan pembahasan bersama berdasarkan DIM, tapi belum tuntas.

Ketentuan itumembuat DPR periode sekarang dapat melanjutkan pembahasan DIM dari RUU warisan tanpa harus memulai lagi pembicaraan dari awal. Namun, hal ini justru berpotensi menimbulkan masalah karena DPR jadi punya kesempatan untuk mengebut proses pembahasan RUU yang kontroversial.

Yance menilai bahwa RUU Pilkada dan RUU MK ada baiknya tidak di-carry over. Jika dua RUU itu dianggap perludibenahi, DPR harusnya melakukan penelitian yang komprehensif untuk menyusun desain Pilkada atau lembaga MK ke depan. Hal itu jauh lebih baik untuk perbaikan dalam pembangunan institusi jangka panjang.

Dia menilai bahwa upaya melanjutkan pembahasan RUU MK dapat menimbulkan bahaya lantaran mengganggu independensi hakim konstitusi.

Carry overtidak banyak berpengaruh terhadap perbaikan kualitas legislasi. Hal yang paling penting untuk meningkatkan kualitas legislasi adalah membuka keran partisipasi publik,” kata Yance kepada reporter Tirto, Jumat (23/11/2024).

Peneliti dari Indonesian Parliamentary Center (IPC), Arif Adiputro, menilai bahwa pembahasan RUU carry over sering kali tak menghiraukan partisipasi dari publik. Arif berkaca pada proses pembentukan UU Mineral dan Batu Baru (Minerba) yang dulu juga disahkan melalui mekanisme carry over.

Kala itu, pembahasan RUU Minerba dilakukan kilat dan tanpa pelibatan publik bermakna. Arif khawatir hal semacam itubakal berulang pada pembahasan RUU Pilkada dan RUU MK di periode saat ini.

Arif berujar bahwamekanismecarry overbukan berarti memberi DPR kesempatan untuk menyelesaikan rancangan beleid secara kilat. Menurutnya, pembahasan RUU carry overtetap harus dilakukan secara seksama oleh anggota DPR periode baru. Pasalnya, ia pasti mengusung aspirasi yang berbeda dari DPR periode sebelumnya.

Nah, tentu untuk Rancangan Undang-Undang yang warisan sebelumnya sebaiknya itu perlu ada 2-5 kali rapat dengan pendapat umum gitu ya. Ataupun mungkin, DPR perlu melakukan proses-proses penyerapan aspirasi dari berbagai kalangan,” ujar Arif kepada reporter Tirto, Jumat.

Libatkan Partisipasi Publik

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Rizky Argama, mengatakan bahwa suatu RUU bisa di-carry overkepada DPR periode selanjutnya bila memenuhi dua syarat, yakni sudah pernah dibahas dan sudah memiliki DIM.

Selain itu, DIM itu sudah disepakati pembentuk UU untuk diluncurkan ke periode berikutnya. Artinya, DPR periode 2024-2029 dapat melanjutkan proses pembahasan RUU carry overdengan modal pembahasan DIM periode sebelumnya.

Jadi, RUU carry over memang enggak dimulai dari nol,” ucap Rizky kepada reporter Tirto, Jumat.

Kendati demikian, Rizky mengingatkan bahwa pembahasan RUU apa pun harus tetap terbuka dan partisipatoris terhadap aspirasi masyarakat. Hal ini sudah menjadi prinsip pembentukan undang-undang yang dimandatkan dalam UU PPP.

UU PPP menegaskan bahwa DPR harus menyebarluaskan dokumen RUU di semua tahapan, sejak tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan diundangkan.

Semua naskah draf dan dokumen pembahasan RUU harus bisa diakses publik. Jadi, kalau dokumen pada masa pembahasan belum bisa diakses dan baru keluar pas pengesahan, itu keliru,” ujar Rizky.

Masalahnya, DPR biasanya cenderung memandang mekanismecarry oversebagai ruang mempercepat atau memotong pembahasan.

Saat ini, RUU Pilkada memang tidak masuk Prolegnas Prioritas 2025. Namun, DPR memiliki mekanisme evaluasi tengah tahun yang dapat memasukan atau mengeluarkan RUU dari daftar Prolegnas Prioritas.

Jadi, RUU Pilkada dan RUU MK bisa saja tiba-tiba dimasukkan ke daftar Prolegnas Prioritas.

Ada kemungkinan, meskipun tidak pasti. Jadi, publik harus tetap waspada karena ada kemungkinan itu [RUU warisan yang bermasalah] masuk di evaluasi Proglegnas Prioritas tengah tahun,” ujar Rizky.

Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Bob Hasan, menegaskan bahwa pihaknya akan melakukan pembahasan terhadap sejumlah RUU prioritas. Pembahasan itu bakal dimulai pada akhir November 2024.

Bob menilai bahwa Baleg akan mempertanggungjawabkan bahasan RUU yang memang sudah menjadi domain bahasan prioritas.

"Kami akan coba melakukan sebuah metode untuk mempertanggungjawabkan apa yang sudah menjadi target," ujar Bob Hasan di DPR, Jakarta, Selasa (19/11/2024).

Sementara itu, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan bahwa RUU MK dan RUU Pilkada sebaiknya dibahas lagi dari awal oleh DPR periode 2024-2029. Pasalnya, proses pembahasan kedua RUU tersebut pada periode sebelumnya bermasalah.

Revisi UU MK dan UU Pilkada oleh DPR periode sebelumnya pun dinilai Lucius tidak dilakukan secara menyeluruh. RUU Pilkada dan RUU MK hanya menyasar sejumlah pasal yang dianggap sesuai selera anggota dewan, parpol, dan pemerintah. Alhasil, kebutuhan publik untuk penguatan kelembagaan MK dan sistem pelaksanaan pilkada sama sekali tidak menjadi perhatian utama DPR.

Keputusan menjadikan RUU Pilkada sebagai RUU carry overtentu saja bermasalah karena proses pembahasan yang tidak partisipatif. Dengan demikian, seharusnya tak cukup alasan DPR sekarang melanjutkan proses revisi dari DPR sebelumnya yang dianggap bermasalah dan ditolak oleh publik,” terang Lucius kepada reporter Tirto, Jumat malam.

Baca juga artikel terkait DPR RI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi