tirto.id - Ketua DPP PDIP, Djarot Saiful Hidayat, mengkritik proses pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi atau RUU MK yang dilakukan secara diam-diam. Menurut dia, hal itu menjadi sisi gelap kekuasaan karena melakukan revisi aturan, tapi tak melibatkan unsur masyarakat secara luas.
“Tentang UU MK, ditengarai inilah sisi gelap kekuasaan,” kata Djarot di kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (16/5/2024).
Djarot menuding pembahasan RUU MK sebagai upaya mendepak para hakim konstitusi yang sebelumnya melakukan dissenting opinion dalam sidang sengketa Pilpres 2024.
“Kami khawatir apabila diteruskan, hakim-hakim MK yang kemarin berbeda dengan maunya penguasa, hakim-hakim MK yang disinari oleh cahaya kebenaran keadilan dan keberanian akan tersisih. Akan gampang dicopot,” kata dia.
Jika RUU MK dibiarkan lanjut ke sidang paripurna sehingga sah menjadi undang-undang, Djarot membayangkan akan terjadi keributan besar di masyarakat. “Apalagi pembahasannya terkesan sendiri-sendiri dan tidak transparan,” kata dia.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) sebelunya menyebut, ada tiga hakim MK yang hendak didepak karena dinilai tidak sejalan dengan keinginan penguasa. PSHK menyebut nama Saldi Isra, Eni Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.
Menurut PSHK, ketiga nama tersebut hendak 'dibersihkan' dari MK melalui Pasal 87 Perubahan Keempat UU MK menjadi aturan peralihan untuk menyaring hakim konstitusi incumbent, yaitu dengan mengatur perlunya persetujuan lembaga pengusul bagi: (a) hakim konstitusi yang telah menjabat lebih dari lima tahun dan kurang dari sepuluh tahun untuk melanjutkan masa jabatannya; dan (b) hakim konstitusi yang telah menjabat melebihi sepuluh tahun untuk melanjutkan masa jabatan hingga usia 70 (tujuh puluh) tahun.”
Selain Saldi, Eni, dan Arief, PSHK juga menyebut Suhartoyo dan Anwar Usman yang harus mendapat usulan dari lembaga pengusul apabila hendak melanjutkan masa jabatannya di MK.
“Untuk melanjutkan sisa masa jabatan, kelima hakim konstitusi tersebut harus memperoleh restu dari lembaga pengusul, yang mana sarat akan konflik kepentingan,” kata PSHK.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz