Menuju konten utama

Wacana DPR Mengevaluasi MK, Pembegalan Konstitusi Jilid II?

Upaya DPR mengevaluasi wewenang dan tugas MK seperti menabur garam pada luka. Belum reda amarah rakyat atas peristiwa kemarin, kini mereka kembali berulah.

Wacana DPR Mengevaluasi MK, Pembegalan Konstitusi Jilid II?
Pengunjuk rasa dari Forum Guru Besar, akademisi, masyarakat sipil, dan aktivis 98 membentangkan poster saat berunjuk rasa mengawal putusan Mahkamah Konstitusi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (22/8/2024). Mereka menolak revisi UU Pilkada oleh DPR yang akan menganulir keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60 dan Nomor 70 Tahun 2024 tentang ambang batas pencalonan di Pilkada Serentak 2024. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/tom.

tirto.id - Rencana DPR RI mengevaluasi kinerja dan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) seperti menabur garam pada luka. Belum reda kemarahan rakyat atas sikap DPR dan pemerintah yang mencoba mengabaikan putusan MK Nomor 60/2024 dan 70/2024 lewat agenda revisi UU Pilkada, kini pembentuk undang-undang kembali berulah.

Masyarakat perlu mengawal dan siap siaga kembali bersuara ke jalan, bila sewaktu-waktu DPR dan pemerintah melakukan aksi ‘pembegalan konstitusi’ jilid dua. Sejumlah ahli hukum tata negara menyebut wacana mengevaluasi kinerja MK yang saat ini timbul ke permukaan, merupakan tindakan yang sarat politik kepentingan.

Ahli hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, misalnya, dia menilai bahwa wacana evaluasi MK yang muncul di Senayan – markas DPR RI – adalah bentuk serangan balik setelah batalnya rencana revisi UU Pilkada yang ditentang rakyat. Castro, sapaan akrabnya, menduga ada upaya melemahkan kewenangan MK melalui revisi UU MK yang saat ini tengah bergulir di DPR.

“Dan ini sudah diprediksi sebelumnya. DPR akan melakukan segala cara untuk menyandera MK. Padahal mereka lupa, justru putusan MK inilah yang memberi ruang bagi demokrasi untuk bertahan dari para kartel politik,” kata Castro saat dihubungi reporter Tirto, Senin (2/9/2024).

Pertanyaannya, kata Castro, kenapa harus menunggu putusan MK dulu baru ada sikap dari DPR dan pemerintah menjalankan hukum sesuai konstitusi. Padahal, DPR dan pemerintah punya kuasa legislasi untuk menyelamatkan demokrasi ketimbang menunggu tafsir dari MK.

“Upaya revisi UU MK ini pertanda DPR lebih mengedepankan syahwat politiknya dibanding konstruksi berpikir hukumnya. Itu jelas memalukan, serangan balik ini harus kita lawan,” ujar Castro.

Peneliti dari Constitutional and Administrative Law Society (CALS), Violla Reininda, menilai bahwa masyarakat harus dapat membedakan niat evaluasi dan pembajakan terhadap MK. Cerminan tindakan DPR dan pemerintah dalam satu dekade terakhir, menurut Vio, lebih menunjukkan adanya pembajakan untuk mempreteli independensi MK.

“Setiap MK menginvalidasi produk legislasi kontroversial, DPR kerap bereaksi menentang hal tersebut, misalnya seperti putusan ambang batas direspons dengan upaya Revisi UU Pilkada, atau putusan inkonstitusional bersyarat UU Cipta Kerja dibalas dengan pemecatan Hakim Konstitusi Aswanto,” jelas Vio kepada reporter Tirto, Senin.

Vio meminta publik waspada atas munculnya rencana mengevaluasi MK, karena khawatir tidak menyentuh hal-hal substantif untuk penguatan lembaga konstitusi. Sebaliknya, justru ada kecenderungan membuat MK merosot dan mengalami disfungsi konstitusional.

Memang, sebut Vio, wacana evaluasi dari DPR terkesan mulia seolah hendak memikirkan masa depan ketatanegaraan. Sayangnya, preseden tindakan DPR dan pemerintah selalu menunjukan kebalikannya, seakan-akan rakyat bisa terbeli dengan pendekatan semacam itu.

“Saya mengajak publik melihat secara terang dan skeptis upaya-upaya reaktif kekuasaan melanggengkan hegemoni kuasanya. Maka dari itu, kita perlu menghela napas panjang dan menjaga semangat aksi peringatan darurat,” tegas Vio.

Ahmad Doli Kurnia

Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia saat memberi keterangan pers di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/5/2024). tirto.id/Fransiskus Adryanto Pratama

Sebelumnya, rencana mengevaluasi kewenangan MK terlontar dari mulut pimpinan Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tandjung. Politikus Golkar itu menyebut bahwa DPR hendak mengevaluasi posisi MK dalam jangka menengah dan panjang. MK diklaimnya mengerjakan banyak urusan yang bukan menjadi kewenangan mereka.

“Memang sudah seharusnya kami mengevaluasi semuanya tentang sistem, mulai dari sistem pemilu hingga sistem ketatanegaraan. Menurut saya, MK terlalu banyak urusan yang dikerjakan, yang sebetulnya bukan urusan MK,” ujar Doli dalam keterangannya, dikonfirmasi reporter Tirto, Senin.

Wacana yang dilontarkan Doli memang muncul setelah DPR dan pemerintah batal merevisi UU Pilkada. MK mengeluarkan putusan Nomor 60 dan 70 yang disambut baik masyarakat sebab menghentikan upaya dinasti politik penguasa dan kartelisasi politik.

Namun, DPR dan pemerintah dalam revisi UU Pilkada, justru tidak mengadopsi penuh isi dari putusan MK. Akhirnya, rencana yang disebut elemen masyarakat sipil sebagai upaya ‘pembegalan konstitusi’ ini gagal digolkan setelah terjadi gelombang aksi massa di berbagai daerah.

Menurut Doli, MK hanya berwenang meninjau ulang UU Pilkada yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Ia menuding MK malah masuk pada hal-hal teknis, sehingga melampaui batas kewenangannya.

"Di samping itu, banyak putusan-putusan yang mengambil kewenangan DPR selaku pembuat undang-undang. Pembuat undang-undang itu hanya Pemerintah dan DPR, tetapi seakan-akan MK menjadi pembuat undang-undang ketiga,” ungkap Doli.

DPR berencana mengubah hierarki urutan peraturan perundang-undangan karena putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Rencana DPR itu diklaim sebagai upaya melakukan penyempurnaan semua sistem, baik dalam pemilu, kelembagaan dan ketatanegaraan.

“Putusan MK memunculkan upaya politik dan upaya hukum baru yang harus diadopsi oleh peraturan teknis, seperti halnya dengan putusan kemarin. Akan tetapi, ketika DPR mau mendudukkan yang benar sesuai undang-undang, muncul demonstrasi mahasiswa dan kecurigaan,” kata Doli.

Unjuk rasa tolak RUU Pilkada di Banyumas

Mahasiswa memasang spanduk di gerbang saat melakukan unjuk rasa menolak revisi UU Pilkada di DPRD Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (23/8/2024). Mahasiswa menuntut aggota dewan untuk ikut menolak dan membatalkan revisi UU Pilkada serta mengawal putusan MK. ANTARA FOTO/Idhad Zakaria/tom.

Politik Balas Dendam

Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, memprediksi sikap reaktif terhadap putusan MK akan muncul dari DPR. Jelas, kata Bivitri, usul evaluasi MK berunsur politis dan sejalan dengan agenda revisi UU MK yang tinggal dibawa ke dalam rapat paripurna.

Dalam salah satu butir revisi UU MK, ada soal hakim MK yang dapat dievaluasi setiap lima tahun oleh tiga lembaga pemilihnya yakni DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung. Ada tiga poin utama revisi dalam UU MK, meliputi Pasal 23A, Pasal 27A, dan Pasal 87.

Pasal 23A dan 87 mengatur ulang masa jabatan hakim konstitusi, sedangkan Pasal 27A terkait komposisi Majelis Kehormatan MK (MKMK).

“Nah itu nggak boleh sebenarnya, waktu 2022 itu aja sebenarnya yang dilakukan oleh DPR dengan rencana revisi Undang-Undang MK untuk balas dendam politis, karena mereka kesal dengan Undang-Undang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional,” kata Bivitri kepada reporter Tirto, Senin.

Hakim konstitusi Aswanto diganti secara mendadak oleh DPR dengan Guntur Hamzah pada akhir September 2022. Saat itu MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, salah satunya dinyatakan Aswanto.

Padahal, kata Bivitri, wewenang MK sesuai UUD 1945 memang dapat menguji suatu produk legislatif perundangan itu sesuai konstitusi atau tidak. DPR dinilai telat sekali jika menilai MK seperti memiliki kewenangan positif legislator, yang nyatanya sudah dilakukan sejak lama.

“Jangan lupa putusan Nomor 90/2023 juga mereka [MK] melakukan itu ya, tapi kan politikus enggak marah karena menguntungkan buat mereka, kelihatan kan tebang pilih ataupun cherry picking-nya,” jelas Bivitri.

MK TIDAK MENERIMA GUGATAN UU IKN

Hakim Konstitusi Aswanto membacakan putusan pengujian formil dan materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara atau UU IKN di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (31/5/2022). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/tom.

Menurutnya, fenomena mengutak-atik kewenangan MK agar sesuai syahwat penguasa jadi fenomena global yang merongrong negara demokrasi. Sikap ini disebut sebagai autocratic legalism yang menjadi suatu penanda dari mundurnya demokrasi.

“Ini yang namanya pembajakan demokrasi atau democratic backsliding, yaitu menggunakan cara-cara yang demokratis dalam hal ini kewenangan DPR ‘membunuh’ lembaga-lembaga yang seharusnya bisa membuat DPR lebih akuntabel,” tutur Bivitri.

Sementara itu, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath, menilai rencana DPR untuk mengevaluasi kewenangan MK wajib dipertimbangkan dengan cermat. Jelas terlihat, kata dia, reaksi yang tidak proporsional dari DPR terhadap putusan MK 60/2024 dan 70/2024 terkait Pilkada, tidak sejalan dengan keinginan sebagian anggota dewan.

“Langkah untuk mengevaluasi atau bahkan mengurangi kewenangan MK dapat dianggap sebagai bentuk intervensi yang berbahaya terhadap independensi lembaga yudikatif,” kata Nisa kepada reporter Tirto, Senin.

Dari perspektif ini, tampak DPR merespons dinamika ini secara emosional yang mengarah pada upaya balas dendam politik terhadap MK. Nisa memandang sikap ini menunjukkan kecenderungan tak sehat dalam demokrasi, dimana DPR mencoba menghalang-halangi kerja lembaga yudikatif yang independen.

“Jika DPR berhasil, ini dapat menjadi preseden buruk yang melemahkan sistem pengaturan dan keseimbangan pemerintah,” ucap Nisa.

Demo Gedung MK

Peserta aksi demo di depan gedung MK dari kalangan mahasiswa, aktivis, dan akademisi, Kamis (22/8/2024). tirtoid/Ayu Mumpuni

Nisa menduga ada alasan tersembunyi di balik wacana mengevaluasi MK. Ada kecurigaan bahwa tujuan utama rencana ini untuk mengurangi tugas MK sebagai penjaga konstitusi dan pengawal demokrasi.

Di sisi lain, evaluasi MK juga terlihat seperti upaya mengetes kesabaran masyarakat. DPR sudah mencederai kepercayaan rakyat dengan kembali berupaya mengutak-atik MK.

"DPR, sebagai representasi rakyat, seharusnya bertindak untuk kepentingan umum daripada melindungi kepentingan politik mereka sendiri dalam jangka pendek. Mereka menunjukkan sikap yang tidak menghormati demokrasi ketika kalah dalam perselisihan,” pungkas Nisa.

Baca juga artikel terkait MAHKAMAH KONSTITUSI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky