Menuju konten utama

No Viral No Justice: Sebuah Kritik atas Buruknya Kinerja Polisi

Istilah ‘No Viral No Justice’ seharusnya menjadi momentum untuk Kompolnas, pemerintah, dan DPR mengevaluasi seluruh kinerja kepolisian.

No Viral No Justice: Sebuah Kritik atas Buruknya Kinerja Polisi
Refleksi sejumlah anggota Polisi saat mengikuti apel kesiapan pengamanan Pemilu 2024 di lapangan eks Bandara Selaparang, Mataram, NTB, Senin (5/2/2024). ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/rwa.

tirto.id - Istilah ‘No Viral No Justice’ atau 'Tanpa Viral, Tanpa Keadilan’ belakangan mulai populer. Kondisi ini menggambarkan kekecewaan publik terhadap aparat penegak hukum (APH) yang dinilai hanya bertindak cepat apabila suatu kasus sudah viral di media sosial.

Fenomena ini bahkan menjadi kritik tajam terhadap APH karena terkesan lebih responsif terhadap tekanan publik di dunia maya. Alih-alih harus menindaklanjuti kasus secara profesional dan sesuai prosedur hukum yang berlaku.

Baru-baru ini, aktor bernama Lachlan Gibson meluapkan kekecewaannya kepada kepolisian setelah laporan kecelakaan yang menimpa dirinya pada (21/1/2023) lalu ditolak. Kecelakaan tersebut, membuatnya mengalami cedera cukup serius akibat tangannya terlindas mobil pelaku.

“Tulang tangan saya sampai keluar dan itu tabrak lari terjadi di depan Polda Metro Jaya, di Sudirman,” ujarnya seperti dikutip dari akun instagram @lbj_jakarta.

Lachlan menceritakan setelah dua bulan usai pemulihan dari rumah sakit dirinya membuat laporan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Metro Jaya. Sesampainya, ia diarahkan ke Subdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya dan dimintai untuk membawa alat bukti.

“Dan responnya ‘wah enggak bisa mas karena kamera ETLE atau kamera jalanan itu datanya di-reset setiap 6 jam’. Ini dikatakan oleh seorang anggota polisi pangkatnya satu kepada saya pada hari itu,” ujarnya.

Di luar dari laporan itu, dia juga mengaku pernah mendapatkan aksi arogansi seorang anggota polisi lalu lintas (polantas) berinisial F di kawasan SCBD, Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (15/11/2024) pukul 22.10 WIB.

Dia menceritakan, awalnya saat sedang mengendarai motor dan berada di jalur tengah, tiba-tiba terdapat mobil Mazda berwarna biru putih milik kepolisian memotong jalurnya. Lachlan secara spontan menekan tombol klakson dengan periode panjang.

F lantas mengejar motor Lachlan dengan menyalakan lampu strobo mobil polisi. Lachlan mengeklaim dirinya berhenti, kemudian mendapatkan sejumlah bentakan-bentakan kasar. Bukan hanya itu, Lachlan juga memberikan pertanyaan seolah-olah sedang mempertanyakan aturan tentang pemotongan jalur paling kanan ke kiri.

F pun menjawabnya dengan UU Nomor 22 Tahun 2009, sementara isinya dikatakan harus cari sendiri di aplikasi pencarian Google. Setelah itu, Lachlan beserta kendaraannya difoto dan diancam akan ditarik ke polda. Merasa kesal dengan kejadian tersebut, Lachlan juga menuntut beberapa hal agar segera dilakukan F.

“Oknum F, gue mau lo ga usah kerja lagi. Gue mau lo minta maaf, kalo bisa lo cium tangan gue. Gue gak peduli lo siapa, gue gak peduli dibelakang lo siapa,” ujarnya.

Setelah video itu viral, Polda Metro Jaya langsung bersikap. Kepolisian baru menerima laporan kecelakaan lalu lintas yang dibuat oleh Lachlan Gibson. Hingga kini, polisi pun masih mendalami laporan Lachlan, apakah masuk kategori murni kecelakaan lalu lintas atau penganiayaan.

Terkait arogansi dilakukan F, Polda Metro Jaya akan menindak anggotanya yang terbukti bertindak arogan terhadap masyarakat saat menjalankan tugas di jalan raya. Hal tersebut disampaikan Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Pol, Latif Usman, saat menerima laporan Lachlan.

"Saya mengapresiasi tindakan dia, dan ya memang sekarang di zaman media sosial, karena memang sarananya untuk itu dan dia mungkin tidak tahu harus kemana," katanya.

Respons atau penanganan kepolisian yang cepat setelah kasus viral di media sosial tersebut memang bukan pertama kali terjadi. Dalam beberapa kasus, kepolisian seolah-olah hanya bergantung pada popularitas atau sorotan publik.

Dalam kasus Vina misalnya. Setelah film "Vina: Sebelum 7 Hari" dirilis masyarakat berbondong-bondong menyuarakan agar penyidik kepolisian menindaklanjuti kasus tersebut.

Vina sendiri merupakan gadis 16 tahun yang ditemukan tewas pada 2016 beserta temannya Eky. Setelah viral dan banyak desakan publik, kepolisian baru kembali menindaklanjuti kasus tersebut.

Lachlan Gibson

Lachlan Gibson. Instagram/lachlangibs

Jadi Evaluasi Kepolisian

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menilai istilah ‘No Viral No Justice’ ini seharusnya menjadi momentum untuk Kompolnas, pemerintah, dan DPR mengevaluasi seluruh layanan kepolisian. Sebab, hal-hal seperti ini bukan sekali terjadi seperti halnya penolakan terhadap laporan.

“Jadi ini adalah gejala bukan hanya satu dua. Tetapi menjadi sistem di mana-mana. Dan sudah seharusnya kepolisian tidak boleh menolak laporan masyarakat. Karena mereka ditempatkan sebagai perlindungan dan pengayom masyarakat,” jelas Isnur kepada Tirto, Rabu (20/11/2024).

Oleh karena itu, dia berharap ini harus menjadi momentum bagi internal kepolisian untuk mengevaluasi seluruh peraturan internal mereka. Baik Undang-Undang Kepolisian hingga Peraturan Kapolri apakah dipahami diterima dan dilaksanakan oleh anggotanya di seluruh wilayah.

“Tentu ini adalah kejadian dan momentum evaluasi untuk mengubah secara maksimal kepolisian itu sendiri,” jelas Isnur.

Sekjen Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Gina Sabrina, menilai ‘No Viral No Justice’ merupakan bagian dari gerakan yang memang sebenarnya sampai sekarang masih punya dampak spektrum yang cukup luas. Gerakan ini, satu sisi memang justru menunjukan bobroknya institusi kepolisian.

“Dan sebenarnya gerakan 'No Viral No Justice' sendiri sudah cukup lama. Tapi kita bisa lihat, dia akhirnya sifatnya sporadis dan alih-alih kemudian menjadi titik balik dari Polri melakukan reformasi secara besar-besaran justru tidak terjadi,” jelas Gina kepada Tirto, Rabu (20/11/2024).

Seharusnya, lanjut dia, ini menjadi titik balik untuk mempertanyakan kembali slogan dari Presisi yang selama ini digaungkan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan anak buahnya. Karena faktanya, sampai sekarang orang masih menggunakan istilah ‘No Viral No Justice’.

"Ini menggambarkan sebenarnya soal sistem di dalam Polri secara keseluruhan,” imbuh dia.

Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, mengatakan tindakan kepolisian yang menunggu kejadian viral dulu baru ditangani akan terus terjadi selama aparat penegak hukum tidak punya sistem mitigasi. Karena bagaimana memastikan pengawasan terhadap tindak pidana yang baik, jika mereka sendiri tidak memiliki sistem tersebut.

“Yang kedua, aparat penegak hukum kita enggak punya mekanisme penanganan perkara pidana yang baik. Nah, ini dua ini yang jadi masalah sebetulnya,” ujar Erasmus kepada Tirto, Rabu (21/11/2024).

Maka dari itu, kata dia, tidak heran jika aparat penegak hukum itu cepat sekali kalau ada desakan. Dan desakannya pun bukan hanya desakan publik. Tapi bagaimana kemudian juga adanya politisasi terhadap tindak pidana.

“Nah, ini yang jadi masalah. Apa ukurannya politisasi tindak pidana? Ada beberapa jurnal menuliskan salah satunya tindak pidana kebebasan berekspresi. Said Didu misalnya sekarang cepat banget prosesnya. Tapi kalau kasus-kasus yang dilaporkan masyarakat, kecil, enggak jalan. Nah, ini yang harus jadi catatan dari kepolisian,” jelas dia.

Maka, dalam upaya perbaikan ke depan, penting untuk memperkuat sistem pengawasan internal di tubuh kepolisian. Ini bertujuan agar penanganan kasus dapat lebih transparan dan akuntabel.

Keberadaan lembaga-lembaga pengawas independen juga diperlukan untuk memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan perlindungan dan haknya sesuai hukum yang berlaku, tanpa harus bergantung pada viralitas di media sosial.

Baca juga artikel terkait POLRI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto