tirto.id - Executive Vice President Transmisi PT PLN (Persero) Eko Yudo Pramono, mengakui bahwa penerapan sistem jaringan listrik cerdas atau Smart Grid di Indonesia membutuhkan biaya besar. Namun proyek tersebut tetap dijalankan karena menjadi fondasi penting bagi sistem kelistrikan di masa depan.
Eko menegaskan bahwa implementasi Smart Grid memang belum menarik skema pendanaan dari luar, sehingga saat ini seluruh pembiayaan masih ditanggung oleh PLN.
"Smart Grid implementasinya memang mahal, tapi masih lebih rendah dibanding pembangkit dan transmisi. Jadi, saat ini pembiayaannya masih dibiayai oleh PLN," kata Eko dalam sesi diskusi di acara Decagrid PJCI: Empowering Smart Grids with Mission-Critical Networks, di Kantor Pusat PLN, Jakarta, Selasa (21/10/2025).
Eko menjelaskan untuk proyek pembangkitan dan transmisi listrik, pihaknya mulai membuka kerjasama dengan berbagai pihak melalui sejumlah skema pendanaan. Namun untuk sektor distribusi dan Smart Gird masih menjadi tanggungan PLN.
"Kadang di sektor pembangkitan dan transmisi sudah ada kerjasama, tetapi untuk distribusi dan Smart Gird masih PLN yang tanggung," ujar Eko.
Dalam kesempatan yang sama, Energy Program Director GIZ, Elisabeth Tinschert, menilai bahwa Indonesia memiliki peluang besar untuk melompat lebih cepat menuju ketenagalistrikan cerdas, asal mampu mengatasi hambatan, seperti ketersediaan data, penerapan smart meter, dan skema harga listrik dinamis.
Menurut Elisabeth, pengembangan Smart Grid membutuhkan data yang akurat, komunikasi dua arah, dan pemantauan konsumsi energi secara waktu nyata (real time). Namun penerapan Smart Gird di banyak negara kerap terkendala oleh regulasi dan perlindungan privasi data.
“Data harus terlindungi, tapi di saat yang sama juga tersedia. Smart meter harus terpasang, dan insentif harga perlu dirancang dengan tepat,” kata Elisabeth.
Ia kemudian mencontohkan Jerman sebagai bagian dari Uni Eropa, tantangan perlindungan data pribadi menjadi salah satu faktor yang memperlambat penerapan sistem cerdas. Oleh sebab itu, Elisabeth menilai Indonesia dapat belajar dari pengalaman Jerman untuk menemukan keseimbangan antara keamanan data dan kebutuhan efisiensi energi.
Elisabeth pun menyoroti pentingnya penerapan sistem tarif listrik yang berubah mengikuti waktu penggunaan atau kondisi beban jaringan, yang dianggap mampu mendorong industri dan rumah tangga untuk menggeser konsumsi listrik ke jam-jam non-puncak.
“Saat ini Indonesia sudah mulai menghadapi penurunan kelebihan kapasitas di sistem JAMALI (Jawa Madura Bali). Ini saat yang tepat untuk melihat bagaimana insentif harga bisa memicu perubahan perilaku konsumsi, baik di tingkat industri maupun rumah tangga,” ujarnya.
Ia menambahkan, langkah Indonesia menuju digitalisasi sistem kelistrikan bisa lebih cepat dibanding negara maju jika hambatan regulasi dan infrastruktur digital dapat diatasi. “Negara lain sudah menunjukkan arahnya. Indonesia bisa sedikit lebih cepat untuk melewati hambatan ini,” ujar Elisabeth.
Penulis: Natania Longdong
Editor: Dwi Aditya Putra
Masuk tirto.id







































