tirto.id - Kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Amerika Serikat terhadap produk impor, termasuk dari Indonesia, berpotensi memberikan dampak tidak langsung lebih besar dibandingkan dampak langsungnya.
Menurut Permata Institute for Economic Research, efek domino dari kebijakan ini bisa menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga lebih dari 3 persen pada kuartal III 2025, terutama melalui perlambatan perdagangan global dan penurunan harga komoditas.
"Dampak tidak langsungnya mungkin bisa lebih besar lagi. Ini muncul dari perlambatan mitra dagang utama Indonesia yang juga terkena tarif AS, seperti Cina, serta tekanan pada harga komoditas global," kata Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede dalam paparannya, Senin (11/8/2025).
Josua menjelaskan bahwa dampak langsung tarif resiprokal terhadap PDB Indonesia diperkirakan sekitar 2 persen hingga 3 persen. Hal ini utamanya didorong oleh sektor ekspor seperti tekstil, alas kaki, furnitur, dan elektronik yang mengandalkan pasar AS.
Namun, ancaman lebih besar justru datang dari efek tidak langsung. Salah satu faktor kunci adalah melemahnya permintaan dari Cina, yang tengah menghadapi krisis properti dan perlambatan ekonomi.
Di sisi lain, pemberlakuan tarif AS sebesar 30 persen terhadap produk Cina telah memicu diversifikasi ekspor Negeri Tirai Bambu ke pasar lain, termasuk ASEAN.
"Ekspor produk Tiongkok ke AS turun, sehingga mereka mencari pasar alternatif seperti Afrika dan ASEAN. Indonesia harus waspada terhadap lonjakan impor produk Cina yang bisa membanjiri pasar domestik," tambah Josua.
Josua juga menyoroti potensi meningkatnya beban neraca perdagangan Indonesia. Sebab, meskipun pemerintah bisa mengelola neraca dagang dengan AS, ada potensi penurunan ekspor Indonesia ke negara lain. "Ada risiko defisit transaksi berjalan jika kenaikan impor dari AS tidak diimbangi pemulihan ekspor," ucapnya.
Jika tren ini berlanjut, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2025 berisiko melambat lebih dalam. Sebab, sektor manufaktur dan daerah yang bergantung pada ekspor ke AS akan paling terdampak.
Karena itu, pemerintah perlu memperkuat strategi diversifikasi pasar ekspor dan mendorong substitusi impor untuk mengurangi ketergantungan pada AS dan Cina. Selain itu, di sisi domestik pemerintah masih punya pekerjaan rumah untuk dapat meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi, mendorong penciptaan lapangan kerja, dan mengoptimalkan belanja pemerintah.
“Itu sebenarnya banyak sekali yang bisa kita upayakan namun kalau kita bicara relatif terhadap beberapa negara khususnya dengan G20 sendiri, sebenarnya kinerja ekonomi kita tidak jelek-jelek juga,” tuturnya.
Adapun, melihat kondisi makroekonomi dan situasi geopolitik saat ini PIER memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal III dan IV tumbuh di kisaran 4,99 persen dan 5,0 persen.
Penulis: Nanda Aria
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id







































