tirto.id - Indrajaya kini pusing bukan main. Sudah dua bulan gajinya hanya dibayar Rp2,8 juta, kurang Rp2 juta dari gaji semestinya. Padahal untuk membayar cicilan rumah saja ia harus menggelontorkan Rp2 juta. Keadaan makin berat karena Lion Air, perusahaan tempatnya bekerja, merumahkan dirinya sejak bulan Juli tanpa digaji.
Indra, kini berumur 57 tahun, bekerja di Lion Air Group sejak 2003 sebagai sopir bus Lion Air di Bandara Soekarno-Hatta. Tugasnya mengantar penumpang dari terminal ke pesawat atau sebaliknya. Ia bekerja “sejak busnya cuma satu dan pesawatnya cuma satu-dua, dan sekarang ratusan pesawat.”
Sekitar 5 tahun berselang ia disekolahkan menjadi marshaller alias personel di darat yang memberi isyarat visual untuk memperlambat, menghentikan, dan mematikan mesin pesawat agar bisa parkir dengan sempurna.
Awalnya Indra membutuhkan bantuan kenek, tapi pengalaman bertahun-tahun membuatnya lihai dan sampai kini ia bisa memarkir pesawat sendirian. Dalam sehari, Indra bisa memarkir lebih dari 40 pesawat. (Ia pernah mendapat best key performance atas pekerjaannya ini.)
Pekerjaan itu ia lakoni sampai akhir Juni lalu. Kendati telah bertahun-tahun bekerja, status Indra hanya pegawai kontrak yang diperbaharui setiap 2 atau 3 tahun sekali, kadang kontraknya habis dan ia tidak meneken kontrak baru tetapi masih terus bekerja.
“Saya itu masih aktif parkir pesawat. Enggak pernah saya dapat peringatan kerja, enggak pernah. Masuk terus!”
Seiring pandemi COVID-19, isu pemutusan hubungan kerja alias PHK menyeruak, tapi atasan-atasannya masih menyemangati seraya mengajak berdoa agar tak ada PHK. Bagai geledek di tengah bolong, tanpa pembicaraan sebelumnya, pada 30 Juni ia menerima dokumen berisi daftar nama pekerja yang dirumahkan. Nama Indra dan 17 pekerja senior lain termasuk di dalamnya. Mereka semua punya satu kesamaan: Berusia di atas 55 tahun.
Indra juga menerima pesan WhatsApp untuk berkumpul di lapangan A71 pada 1 Juli. Namun, karena undangan itu tidak jelas tujuannya dan menurutnya tidak disampaikan secara layak, ia ogah datang.
Dari seorang kawan ia tahu acara itu semacam upacara. Delapan belas karyawan senior yang namanya dalam daftar itu, diminta menyerahkan kartu identitas pekerja untuk ditukar surat yang intinya menyatakan mereka diistirahatkan sejak 1 Juli 2020. Tidak ada keterangan yang menyatakan kapan mereka bisa kembali bekerja dan dari keterangan lisan, mereka tahu tak akan digaji.
“Kami dibuang kayak sampah saja,” kata Indra.
Ramadhan, yang minta namanya disamarkan, seorang porter Lion Air di Bandara Soekarno-Hatta, terkejut melihat tak ada nama dia saat membuka jadwal kerja untuk bulan Juli pada 28 Juni. Semestinya ia masih terikat kontrak hingga November 2020.
Dari pesan WhatsApp atasannya, dia berkata yang namanya tidak tercantum dalam jadwal kerja itu di-PHK. “Enggak ada pemberitahuan sebelumnya. Cuma itu doang,” katanya kepada Tirto pada Senin, 6 Juli, pekan lalu.
Ia diminta datang esok hari ke kantor untuk menyerahkan kartu identitas pekerja untuk ditukar surat keterangan pernah bekerja—veklaring atau paklaring.
Reni dan Fadli—keduanya bukan nama sebenarnya, dua pekerja di Batam Aero Technic, sebuah kantor yang mengurusi perawatan pesawat Lion Air, diminta oleh atasannya untuk berkumpul di hanggar pada Jumat, 26 Juni. Masa kerja kontrak Reni habis pada Juni, sementara Fadli masih memiliki kontrak hingga Mei 2021.
Jumat siang, sekitar pukul 13.30, sekitar 172 orang sudah berkumpul. General Manager HR-GA Batam, Dedeng Ahmadi, mengumumkan PHK terhadap tiga kelompok karyawan. Karyawan yang kontraknya habis tidak akan diperpanjang; Karyawan yang bekerja di bawah 2 tahun akan diputus kontrak; dan karyawan yang berusia di atas 55 tahun.
Dedeng menjanjikan karyawan yang di-PHK akan diberikan tiket pulang ke stasiun Lion Air terdekat dari kampung halaman. Tiket itu rencananya diberikan paling lambat 5 Juli 2020 bersama surat keterangan pernah bekerja (paklaring) dan salinan kontrak.
Fadli berkata mereka diberitahu kondisi keuangan perusahaan yang sulit sebagai dampak pandemi COVID-19 yang memukul dunia penerbangan. “Akhirnya,” katanya kepada Tirto pada Selasa pekan lalu, “tiga kriteria itu di-PHK.”
Setidaknya ada 2.600 pekerja Lion Air yang di-PHK atau dirumahkan dari tiga kriteria itu, berdasarkan pengakuan pekerja kepada Tirto. Jumlah itu sekitar 9% dari 25.000 pekerja Lion Air Group, maskapai yang membawahi Lion Air, Batik Air, dan Wings Air, yang mendominasi setengah pangsa pasar maskapai penerbangan domestik Indonesia.
Itu berbeda dari rilis pers yang disampaikan corporate communications strategic of Lion Air Group Danang Mandala Prihantoro yang hanya menyebut perusahaan tidak memperpanjang masa kontrak karyawan yang telah habis.
Menuntut Hak
Indrajaya, yang telah bekerja di Lion Air Group selama 17 tahun dan kini bekerja serabutan, berkata hanya menuntut satu hal: Kejelasan.
Kebijakan pengistirahatan tanpa jangka waktu yang jelas membuatnya gamang mengambil keputusan. Jika memang ia di-PHK, ia berharap hak-haknya dipenuhi; jika akan dipekerjakan kembali, ia ingin dijadikan karyawan tetap agar kejadian serupa tak terulang.
Indra berkata keputusan perusahaan “merumahkan” dirinya adalah tindakan “mau mematikan karyawan.”
“Jadinya, karyawan mati bukan karena corona, tapi mati karena kelaparan,” katanya.
Ada tiga hal yang dituntut pekerja Lion Air yang diputus hubungan kerjanya, baik di Batam maupun di Tangerang.
Pertama, tunjangan hari raya (THR) yang belum tuntas dibayarkan. Dalam keterangan pers pada 20 Mei, Lion Air hanya membayar THR bagi karyawan berpenghasilan rendah, sementara THR karyawan lainnya akan dibayar saat kondisi penerbangan telah normal kembali.
Padahal, Surat Edaran Menaker nomor M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan Dalam Masa Pandemi COVID-19, memang memberikan tiga opsi bagi perusahaan: satu, pembayaran THR secara bertahap jika perusahaan tidak mampu membayar penuh; dua, pembayaran THR ditunda jika perusahaan tak mampu bayar sama sekali; tiga, waktu dan cara pengenaan denda keterlambatan pembayaran THR.
Namun, ketentuan itu baru bisa diterapkan berdasarkan dialog dengan pekerja yang dilandasi keterbukaan laporan keuangan internal perusahaan. Nyatanya, komunikasi ini tak pernah ada. (Para pekerja yang menjadi narasumber Tirto tidak pernah tahu bagaimana kondisi keuangan perusahaan.)
Kedua, soal pesangon dan uang penggantian kontrak yang dihentikan begitu saja, merujuk pada pasal 62 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Jika salah satu pihak (perusahaan/pekerja) memutus hubungan kerja sebelum perjanjian kerja berakhir, maka “pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjiankerja.”
Jika merujuk ketentuan itu, Fadli—yang masih memiliki kontrak sampai Mei 2021 dan bergaji Rp4,3 juta sebulan—semestinya mendapatkan ganti rugi kontrak Rp47,3 juta. Sementara Ramadhan, yang bergaji Rp4,3 juta dan masih memiliki kontrak hingga November 2020, semestinya mendapatkan Rp21,5 juta.
Terakhir, soal BPJS Ketenagakerjaan. Para pekerja yang diwawancari Tirto berkata Lion Air belum membayar iuran BPJS ketenagakerjaan sejak Februari 2020, padahal gaji karyawan tetap dipotong. Akibatnya, meski karyawan telah mengantongi paklaring, tidak bisa mencairkan haknya itu.
Di Batam, tuntutan itu sudah disuarakan dalam pertemuan 26 Juni. Namun, menurut Fadli dan Reni, keresahan itu dianulir oleh General Manager HR-GA Batam, Dedeng Ahmadi. Menurut mereka, Dedeng berkata kepada karyawan, “Tenang saja, hak kalian akan dipenuhi perusahaan karena perusahaan ini perusahaan besar.”
Di Tangerang, karyawan sudah berunding dua kali dengan perusahaan pada 30 Juni dan 3 Juli untuk menuntut haknya. Tapi, menurut mereka, pihak perusahaan tidak bisa memberi jaminan. Akhirnya, pada 3 Juli, mereka melapor ke Dinas Ketenagakerjaan Kota Tangerang meminta agar pemerintah memediasi. Mereka berencana menggelar aksi pada 13 Juli di Lion Air Tower di Gadjah Mada, Jakarta Pusat.
Hingga saat ini, perusahaan bahkan tidak memenuhi janji soal tiket pulang dan salinan kontrak kerja. Pekerja hanya mendapatkan surat paklaring setelah menyerahkan kartu identitas pekerja.
Ada sejumlah karyawan enggan menyerahkan kartu identitas pekerjanya, termasuk Fadli dan Reni di Batam. Alasannya, dalam paklaring, tidak disebut mengenai durasi kerja atau masa kontrak yang tersisa. Mereka ingin mendapatkan salinan kontrak agar bisa menuntut haknya di lain hari. Reni dan Fadli masih bertahan di Batam dan belum pulang ke kampung karena masih menunggu itu. Mereka kini hidup dengan menggunakan uang tabungan yang sebenarnya juga tipis.
'Pandemi COVID-19 Memukul Penerbangan'
Direktur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Kemenaker, John Daniel Saragih, enggan mengomentari pengurangan 2.600 pekerja Lion Air Group. Ia meminta saya bertanya langsung kepada Lion mengenai penyelesaian masalah itu.
Ia mengacu pada pasal 151 Undang-Undang Ketenagakerjaan; hal-hal terkait pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan antara pekerja dan perusahaan.
“Semua perusahaan di Indonesia biasanya secara bipartit menyelesaikannya. Misalnya ada yang enggak menerima, ya arahkan ke Disnaker setempat,” katanya.
Corporate communications strategic of Lion Air Group Danang Mandala Prihantoro berkata pandemi COVID-19 telah memukul perusahaan. Dari rata-rata 1400-1500 penerbangan per hari, hanya tersisa 10-15 persen penerbangan di masa pandemi.
Untuk menjaga keberlangsungan perusahaan dan perampingan organisasi, Lion Air Group tidak memperpanjang kontrak pegawai yang telah habis; selain itu, mengakhiri kontrak karyawan yang bekerja kurang dari dua tahun.
Namun, untuk karyawan berusia di atas 55 tahun, mereka tidak di-PHK melainkan “dirumahkan” dengan alasan mencegah penularan COVID-19, kata Danang.
“Poin utama kami mengutamakan aspek kesehatan dan keselamatan. Di usia itu, menurut informasi, rentan, dan kami memikirkan hal itu,” kata Danang kepada Tirto pada Rabu, 8 Juli, pekan lalu.
Danang berkata Lion Air Group membuka kesempatan bagi karyawan yang telah diakhiri hubungan kerjanya untuk kembali bergabung dengan mengacu pada tren atau pertumbuhan produksi. Kendati begitu, ia tak menjelaskan mekanismenya. (Berdasarkan keterangan karyawan, untuk bekerja lagi mereka harus mengulang proses rekrutmen dari awal, dari menyerahkan curriculum vitae.)
Terkait hak karyawan, Danang berkata Lion Air Group menjamin akan membayar THR ketika kondisi penerbangan sudah normal kembali, tapi ia tak menjelaskan mekanisme pembayaran THR. (Pekerja berkata kepada Tirto merasa khawatir hak ini bisa lepas karena kemungkinan komunikasi antara perusahaan dan eks-karyawan telah terputus kala situasi penerbangan membaik—yang belum tahu kapan).
Demikian pula pembayaran uang ganti rugi kontrak, pesangon, BPJS Ketenagakerjaan, dan tiket pesawat yang dijanjikan.
Mengenai hak-hak itu, “Saya belum bisa memberi keterangan detail,” kata Danang.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Fahri Salam