tirto.id - Delapan bulan lamanya Supriyani berjuang bolak-balik ruang sidang melawan tuduhan telah memukul anak anggota polisi. Guru honorer dari SD Negeri 4 Baito, Konawe Selatan, itu tak kuasa menahan tangis haru setelah majelis hakim Pengadilan Negeri Andoolo, menjatuhkan vonis bebas kepadanya, Senin (25/11/2024).
Hakim Vivi Fatmawaty Ali menyatakan, dalam fakta-fakta persidangan, Supriyani tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang telah didakwakan jaksa penuntut umum.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menganggap alat bukti yang dihadirkan penuntut umum tidak bersesuaian dengan dakwaan. Majelis hakim menilai keterangan saksi anak tak sesuai dengan alat bukti dan fakta persidangan. Adapun kesaksian orang tua atau pelapor, dipandang sebagai keterangan bersifat testimoni yang layak dikesampingkan.
Sebelumnya, guru honorer Supriyani dituduh memukul seorang murid kelas IA dengan sapu ijuk sehingga siswa mengalami memar di bagian paha. Kasus pemukulan itu disebut pelapor terjadi pada Rabu (24/4/2024), pukul 10.00 Wita. Siswa yang dipukul merupakan anak dari Kepala Unit Intelijen Polsek Baito, Ajun Inspektur Dua (Aipda) Hasyim Wibowo. Supriyani lantas dilaporkan ke Polsek Baito hingga ditahan dan diseret ke pengadilan.
Dalam persidangan sebelumnya, jaksa penuntut bersikukuh menyebut Supriyani bersalah. Meski begitu, jaksa meminta Supriyani divonis lepas. Jaksa juga tak dapat membuktikan niat jahat Supriyani dalam melakukan tudingan pemukulan. JPU juga menilai terdakwa Supriyani selama persidangan bersikap sopan, dan sudah mengabdi sebagai guru honorer sejak 2009 sampai sekarang. Supriyani juga memiliki dua anak kecil dan tidak pernah dipidana.
Kuasa Hukum Supriyani, Andri Darmawan, menduga terjadi rekayasa kasus dalam perkara Supriyani oleh pihak kepolisian. Saat ini, Andri masih menunggu keputusan etik terhadap anggota polisi yang diduga terlibat dalam kasus tersebut. Ia meminta nama baik Supriyani dipulihkan dan direhabilitasi. Andri akan menuntut kerugian yang dialami Supriyani selama perkara bergulir dan berencana melaporkan balik pihak Aipda Hasyim Wibowo.
“Kalau misalnya di sini ada rekayasa, termasuk keterangan saksi, ini yang masih kita kumpulkan dulu, tapi nanti kita lakukan setelah putusan ini apakah dia sudah berkekuatan hukum tetap atau tidak, karena ini masih ada diberi waktu jaksa untuk , misalnya dia kasasi atau bagaimana,” kata Andri seperti dilansir Antara, Senin (25/11/2024).
Selama perkara Supriyani bergulir, memang terjadi kejanggalan yang diduga dilakukan oleh aparat penegak hukum. Supriyani diduga pernah dimintai uang Rp50 juta untuk uang damai. Selain itu, guru honorer ini juga pernah dimintai uang Rp2 juta agar tidak ditahan oleh polisi. Ia sempat memberikan uang sebesar Rp1,5 juta karena hanya punya biaya segitu. Dugaan permintaan uang juga datang dari Kejaksaan Negeri Konawe Selatan sebanyak Rp15 juta dengan iming-iming Supriyani tidak ditahan.
Kepala Bidang Advokasi dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, menilai apa yang dialami oleh Supriyani merupakan bentuk kriminalisasi terhadap guru. Dia menyayangkan dugaan aparat penegak hukum yang berusaha memeras Supriyani dengan meminta uang selama penanganan perkara. Iman melihat hal ini sebagai bentuk lemahnya implementasi perlindungan profesi guru saat berhadapan dengan hukum.
Kriminalisasi terhadap profesi guru akan berdampak langsung terhadap kesejahteraan guru. Upah guru yang berperkara dengan hukum tentu bakal terganggu sebab harus bolak-balik persidangan. Belum lagi guru itu ditahan karena tuduhan yang disangkakan terhadapnya.
Iman menjelaskan bahwa profesi guru seharusnya dilindungi hukum sebagaimana mandat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pasal 39 dalam UU Guru dan Dosen menyebut bahwa profesi guru wajib mendapatkan perlindungan dalam bertugas.
Perlindungan tersebut meliputi: perlindungan hukum, profesi, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Perlindungan terhadap profesi guru juga diatur PP Nomor 19/2017 tentang Perubahan atas PP Nomor 74/2008 tentang Guru. Serta dalam Permendikbud Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
“Saya kira dari undang-undang hingga aturan di bawahnya sudah lengkap. Persoalannya adalah bagaimana posisi undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan guru, apakah efektif atau tidak dalam pelaksanaan,” ujar Iman.
Iman menilai, orang tua dan guru perlu mempunyai kesepahaman terkait hak guru dalam melakukan pendisiplinan dan memberikan tindakan tegas terhadap murid. Ia memandang konsep hukuman dalam pengajaran pendidikan sudah tidak relevan. Sebab tidak ada bukti bahwa hukuman akan mengubah karakter dan kebiasaan siswa. Maka, perlu ada sosialisasi mengenai tindakan pendisiplinan dan tegas yang tidak melanggar hak anak.
Berdasarkan Pasal 39 ayat (1) dan (2) PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru dijelaskan bahwa guru punya kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didik sejauh pelanggaran yang dilakukan memenuhi ketentuan. Seperti siswa didik tersebut melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis atau tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan perundang-undangan selama pembelajaran yang berada di bawah kewenangan guru.
Sedangkan mengenai sanksi yang diberikan harus mengacu pada ketentuan ayat (2), yaitu teguran dan/atau peringatan, secara lisan maupun tulisan. Serta hukuman bersifat mendidik sesuai kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
“Jadi perlu diterangkan tidak perlu lagi ada kekerasan,” ungkap Iman.
Perlu UU Perlindungan Guru
Ketua Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis (APKS) Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Sumardiansyah, menilai perlindungan guru dalam UU Guru dan Dosen serta berbagai peraturan turunannya belum rigid mengatur mekanisme perlindungan bagi profesi guru. Tidak mengherankan, kata dia, banyak kriminalisasi terhadap guru, sebab masalahnya UU Guru dan Dosen serta turunannya sering kali tak berdaya saat berhadapan dengan UU Perlindungan Anak dan UU KUHP.
Ia menilai perlu UU khusus untuk mengatur mekanisme perlindungan profesi guru atau RUU Perlindungan Guru. Tentu bukan bermaksud membenturkan UU Perlindungan Anak, namun justru untuk memberikan perlindungan untuk seluruh pihak di satuan pendidikan.
“Kita, kan, enggak mau saat mendidik itu dibawa ke ranah pidana. Maka harusnya bisa selesai di dewan kehormatan guru sehingga tidak perlu ada litigasi atau pidana yang makan biaya,” ucap Sumardiansyah kepada Tirto, Selasa (26/11/2024).
Pasal 41 Ayat (2) dan Pasal 42 Huruf c UU Guru dan Dosen menjelaskan bahwa salah satu fungsi dan kewenangan organisasi profesi adalah memberikan perlindungan profesi guru. Sumardiansyah menilai, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) perlu membentuk Komisi Perlindungan Guru yang berfungsi dan bertugas menegakkan hukum perlindungan guru. Pemerintah perlu memberikan dukungan dan bantuan hukum terhadap guru yang tengah berhadapan dengan kasus kriminalisasi.
Sumardiansyah menilai kekerasan dan kriminalisasi terhadap guru sudah ada di level tidak biasa (extraordinary). Ia menilai kriminalisasi terhadap guru sering kali terdapat unsur relasi kuasa yang timpang dengan orang tua murid, seperti Supriyani berhadapan dengan polisi (pelapor). Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap independensi guru saat mengajar.
Selain itu, pemerintah wajib meningkatkan kualitas guru lewat pelatihan dan sosialisasi soal pemahaman hukum. Termasuk mengenai hak asasi manusia, hak anak, hingga hak guru. Ia menyatakan bahwa guru harus mengajar sesuai dengan zaman sehingga tidak kolot dalam memberikan sanksi.
“Secara humanislah dan sebaiknya yang fisik itu dikurangi,” ucap Sumardiansyah.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai guru sangat rentan dikriminalisasi karena tidak dapat perlindungan kuat dari sekolah dan pemerintah. Ubaid menilai, tidak ada pihak yang kebal hukum, termasuk guru yang memang melakukan kekerasan terhadap murid.
Imunitas guru adalah jaminan rasa aman yang diberikan untuk menjalankan profesi sesuai koridor yang dimandatkan dalam UU Guru dan Dosen. Apapun sebabnya, kata dia, tindakan kekerasan tidak boleh dijadikan pendekatan dalam pendidikan. Dengan begitu, kata dia, kasus Supriyani tidak akan terjadi jika sekolah dapat menyelesaikan masalah lewat satgas yang menangani kasus dugaan kekerasan di sekolah.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, mengaku berkomitmen menjamin keamanan guru agar dapat bekerja dengan tenang dan terbebas dari segala bentuk intimidasi dan tindakan kekerasan. Bahkan, dia menyebut, pihaknya akan menandatangani nota kesepahaman perjanjian kerja sama dengan Polri demi melindungi guru.
Selain itu, dia juga menyampaikan upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas guru agar sejalan dengan visi pendidikan Indonesia. Dia mengatakan, tengah mempersiapkan tiga program prioritas: misalnya program pemenuhan kualifikasi guru. Kemendikdasmen berupaya meningkatkan kompetensi guru, termasuk pada kompetensi akademik, pedagogik, moral, dan sosial.
‘[Nota kesepahaman] di dalamnya memuat kesepakatan agar masalah-masalah kekerasan dalam pendidikan diselesaikan secara damai dan kekeluargaan atau restorative justice sehingga guru tidak menjadi terpidana,” kata Abdul Mu’ti dalam sambutannya pada Hari Guru Nasional, di Halaman Kantor Kemendikdasmen, Jakarta, Senin (25/11/2024).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz