Menuju konten utama

Mewaspadai Serangan Fajar dalam Pilkada Serentak 2024

Salah satu persoalan pilkada adalah politik uang. Bagaimana agar praktik serangan fajar di Pilkada 2024 ini bisa diatasi?

Mewaspadai Serangan Fajar dalam Pilkada Serentak 2024
Warga melintas di depan mural bertema Anti Politik Uang di kampung Sondakan, Laweyan, Solo, Jawa Tengah, Senin (17/2/2020). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/aww.

tirto.id - Praktik politik uang atau yang lazim dikenal sebagai 'serangan fajar' menjadi fenomena umum dan membudaya di negara kita. Praktik ini seringkali muncul dalam dinamika kontestasi politik, termasuk pada gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang digelar pada 27 November 2024.

Para calon kepala daerah (cakada) berusaha meraih suara dengan cara tidak jujur. Mereka biasanya membagi-bagikan uang atau dalam bentuk sembako kepada pemilih sebelum hari H pencoblosan. Harapannya tentu saja dapat mempengaruhi pilihan mereka.

“Soal serangan fajar ini, saya kira sih peluangnya terbuka seiring dengan ketatnya persaingan antar kandidat di daerah-daerah,” ujar Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, kepada Tirto, Jumat (22/11/2024).

Pasangan calon dengan nafsu besar jelas akan terganggu dengan angka elektabilitas menurut survei yang mengkhawatirkan. Kondisi inilah, menurut Lucius, berpotensi membuka peluang bagi aksi serangan fajar itu. Ditambah lagi dengan lemahnya pengawasan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

“Maka lahan bagi serangan fajar menjadi semakin mendapatkan tempat untuk dijadikan senjata pamungkas pasangan calon yang keukeuh ingin menang di hajatan pilkada kali ini,” ucap dia.

Meskipun sudah diatur dalam hukum sebagai bentuk pelanggaran pemilu, tapi serangan fajar sulit untuk diberantas sepenuhnya. Karena meskipun ada komitmen kuat dari Bawaslu dan aparat keamanan untuk memperketat pengawasan selama masa tenang dan hari H pemilihan, praktik-praktik ini tetap terjadi.

Ini karena masyarakat kita yang tingkat kesulitan ekonomi cukup parah akan sangat terbuka dengan berapapun uang atau barang yang akan diberikan oleh pasangan calon menjelang puncak pemungutan suara. Kebutuhan pemilih ini berbanding lurus dengan keinginan para calon untuk menang.

“Maka nyaris tak ada hambatan untuk aksi money politics ini,” imbuh Lucius.

Kontrol sendiri, lanjut Lucius, hanya mungkin bisa terjadi kalau publik semakin sadar akan dampak aksi serangan fajar ini bagi integritas pemimpin yang terpilih. Kontrol dari pemilih ini mungkin sedikit membantu walau tetap saja kebanyakan pemilih tak bisa disangkal membutuhkan uang atau barang dari para kandidat.

“Semoga kesadaran untuk menolak aksi serangan fajar itu sampai pada pemilih, sehingga mereka yang tergoda hanya karena keinginan mendapatkan uang segar dalam sekejap bisa sadar untuk menolak uang yang hanya akan merusak pemimpin yang dipilih sejak dini,” ujar dia.

Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), serangan fajar jelas adalah kegiatan yang dilarang oleh hukum karena dapat merusak demokrasi. Terdapat beberapa pasal dalam UU Pemilu yang mengatur sanksi bagi pemberi uang atau imbalan tertentu kepada pemilih.

Dalam Pasal 515 UU 7/2017 menyebutkan “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih agar tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu, sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000.”

Sementara dalam Pasal 523 ayat (2) UU tersebut menyatakan “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada pemilih secara langsung atau tidak langsung, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000.”

“Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,” bunyi Pasal 523 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017.

Membatasi Dana Kampanye

Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, menilai cara paling efektif untuk mengurangi serangan fajar adalah membatasi biaya kampanye masing-masing cakada. Aturan pembatasan ini bahkan sudah lebih dulu dilakukan oleh Jepang.

Karena dengan adanya batasan dana kampanye, kandidat akan berlomba menggunakan anggarannya seefektif dan seefisien mungkin. Berbeda dengan sekarang yang berlomba banyak-banyakan dana kampanye.

“Tapi menerapkan aturan memang ada banyak kendala teknis, khususnya terkait luas dan jumlah yang diawasi. Sementara kita tahu, Bawaslu selama ini jadi macan ompong, ada tapi tidak terasa,” ujar Musfi kepada Tirto.

Musfi sendiri ragu bagaimana Bawaslu dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengecek secara riil setiap anggaran kampanye cakada jika benar-benar dibatasi. Belum lagi soal cakada nakal yang tidak melaporkan anggaran riil nya. Kasusnya mirip dengan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN), sering kali kekayaan yang dilaporkan bukanlah kekayaan riil.

Dengan kompleksitas itu, maka akar menyelesaikan serangan fajar ada pada ideologisasi di partai politik. Sebagai institusi resmi demokrasi, partai juga harus secara berkelanjutan dan masif menekankan ke kadernya untuk menyadari betapa tidak efektifnya serangan fajar.

Karena dalam banyak survei, misalnya temuan Indikator, masyarakat yang memilih karena serangan fajar hanya 30 persen. Artinya, kalau ada 1.000 amplop, hanya 300 amplop yang berpotensi jadi suara.

“Kenapa tidak efektif? Sederhana, karena cakada lain juga melakukan serangan fajar. Di sisi lain, masyarakat melihat serangan fajar hanya sebagai rezeki nomplok, tidak mungkin ditolak. Banyak masyarakat yang hanya mengincar menerima amplop atau sembako yang diberikan,” jelas Musfi.

Maka, fakta ini yang sebenarnya harus disadari politisi secara luas. Dan tugas itu sebenarnya ada di partai politik. Partai, dalam hal ini jangan hanya jadi institusi demokrasi yang memberi tiket untuk maju di pemilu. Partai harus menjalankan perannya sebagai institusi edukasi demokrasi.

“Ini yang jarang dan mungkin tidak pernah dilakukan oleh partai politik,” sebut dia.

Bawaslu Akan Patroli Antisipasi Serangan Fajar

Untuk meminimalisasi terjadinya serangan fajar, Bawaslu akan melakukan patroli pengawasan. Ini menjadi salah satu upaya dilakukan Bawaslu untuk menjaga ketertiban dan memastikan masyarakat tidak terjerumus dalam pelanggaran hukum menjelang hari pencoblosan, termasuk politik uang.

“[Kami] akan patroli teman-teman untuk menjaga alur masa tenang ini supaya baik dilakukan oleh masyarakat dan tidak dilakukan hal-hal yang melanggar peraturan perundang-undangan,” ujar Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, saat ditemui awak media di Kantor Bawaslu RI, Jakarta Pusat, Jumat (22/10/2024).

Patroli ini akan melibatkan Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam) dan aparat keamanan setempat, serta kolaborasi dengan tokoh masyarakat untuk melakukan sosialisasi dan penyadaran kepada warga. Upaya ini bertujuan untuk menghentikan segala bentuk serangan fajar, termasuk pemberian uang atau barang kepada pemilih menjelang pencoblosan.

“Jadi proses penyadaran juga penting untuk tidak kemudian meminta serangan fajar. Meminta serangan-serangan yang non-fajar juga banyak,” ujarnya.

Dalam hal pengawasan, Bawaslu juga melakukan pemetaan daerah-daerah mana rawan pelanggaran. Jika ditemukan praktik serangan fajar, Bagja tindak lanjutnya akan dilimpahkan ke pihak kepolisian karena kasus tersebut masuk dalam ranah pidana pemilu.

Pengamat bidang politik dari The Indonesian Institute, Arfianto Purbolaksono, justru meragukan patroli pengawasan dilakukan oleh Bawaslu. Mengingat dalam perkembangannya praktik serangan fajar tidak lagi dilakukan secara terang-terangan namun menggunakan model uang digital.

“Ini juga akan tentunya akan sulit diawasi dengan perkembangan saat ini. Bawaslu selama ini dalam hal pengawasan belum cukup progresif ya,” ujar dia kepada Tirto, Jumat (22/11/2024).

Selain pengawasan, Bawaslu juga dinilai belum cukup progresif melihat adanya temuan-temuan dari masyarakat. Bahkan pelaporan yang dilakukan oleh masyarakat seringkali dianggap tidak memenuhi syarat formil dan juga material.

“Ini yang menjadi problem pada akhirnya ketika pengawasan dan juga pelaporan yang dilakukan oleh masyarakat pada akhirnya terbentur dengan syarat-syarat tersebut gitu,” pungkas dia.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2024 atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz