Menuju konten utama

Jerit Lirih Pelaku UMKM di Tengah Beban PPN 12 Persen

Pelaku UMKM menjerit memikul beban PPN 12 persen. Mereka mengais pelanggan yang pergi. Pemerintah dengarkanlah suara rakyat.

Jerit Lirih Pelaku UMKM di Tengah Beban PPN 12 Persen
Aktivitas penjahit di usaha konveksi rumahan di Kota Bogor. Tirto.id/M Fajar Nur

tirto.id - Iwan kelimpungan bukan main saat sebuah panggilan telepon di akhir pekan lalu membawa kabar buruk. Panggilan itu datang dari seorang pelanggan setia bisnis konveksi milik Iwan. Si penelepon mengaku berencana membatalkan pesanan borongan yang sudah disepakati berlanjut hingga Hari Raya Idulfitri 2025. Pelanggan itu ternyata khawatir jasa konveksi Iwan semakin mahal imbas kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen tahun depan.

Pria yang memiliki bisnis konveksi skala rumahan atau biasa disebut Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) ini mengaku harus putar otak menenangkan kegelisahan pelanggannya. Iwan kini mencoba berbagai cara untuk meyakinkan beberapa pelanggan yang sudah mulai berpikir untuk membatalkan atau mengurangi pesanan. Terutama, kata dia, pelanggan yang memang sudah bersepakat untuk kerja sama hingga tahun depan.

“Pastinya saya bilang kalau opsi untuk menaikkan harga jual satuan belum ada. Mungkin ya paling ganti bahan baku yang lebih murah, tetapi tentu harganya jadi menyesuaikan, agak pusing juga,” ucap Iwan ditemui Tirto di sebuah warung kopi di Tanah Sereal, Kota Bogor, Kamis (21/11/2024).

Pria berusia 27 tahun ini memang sudah tiga tahun belakangan banting setir menjajal bisnis konveksi. Iwan biasa mendapat pesanan membuat seragam dan jaket bagi mahasiswa atau sektor industri. Belakangan, Iwan mengaku beberapa pelanggannya curhat terkait kebijakan pemerintah yang akan mematok tarif PPN menjadi 12 persen mulai 2025.

Menurut Iwan, mereka khawatir pesanan yang sudah dibuat bakal alami penyesuaian harga PPN 12 persen. Pelanggan dinilai belum siap dengan harga beli yang mendadak naik. Iwan sendiri resah kebijakan yang diambil pemerintah tahun depan itu bakal menggoyang bisnis yang sedang dirintisnya.

“Terutama pasti ada penyesuaian harga buat bahan baku kain segala macam. Pasrah saja namanya juga warga biasa,” ucap Iwan sambil terkekeh.

Kegelisahan yang sama juga diungkapkan Ian, seorang pengusaha rumah makan rumahan. Pedagang asal Kabupaten Bogor itu khawatir kebijakan tarif PPN 12 persen berimbas pada jumlah pelanggan yang semakin menahan diri untuk berbelanja. Ian mengaku, akhir-akhir ini saja bisnis rumah makan yang digelutinya tergolong semakin sepi pelanggan.

“Kalau misalkan lihat di medsos kan akhirnya orang-orang jadi hemat-hemat karena harga mahal yah. Saya takutnya memang untuk bisnis kayak gini [UMKM] yang asalnya emang jadi pilihan kedua orang, ya semakin ditinggal,” ucap pria berusia 33 tahun itu lewat telepon.

Sejauh ini, kata Ian, satu-satunya kekhawatiran adalah pelanggan di sektor UMKM yang jadi semakin sepi. Untuk harga bahan baku, Ian merasa tidak terlalu takut karena harga pangan masih belum mengalami kenaikan signifikan. Ian sendiri merasa berat jika harus menggenjot promo atau menurunkan harga menu di rumah makan miliknya.

“Memang turunin harga masuk akal yah kalau bertahan, tapi emang pemerintah ngejamin orang-orang kayak kita akan terus dapat pelanggan? Jangan semua lah dibebanin ke ‘orang kecil’ juga,” keluh Ian.

Kementerian Keuangan akan mulai menerapkan tarif PPN sebesar 12 persen pada awal 2025. Penyesuaian ini sesuai dengan keputusan yang telah diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dinyatakan bahwa tarif PPN 12 persen mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025. Pemerintah hingga saat ini masih bersikeras untuk menaikkan tarif PPN meski protes dari rakyat datang bertalu-talu.

Kekhawatiran dan aduan dari pelaku UMKM juga saban hari mulai diterima Ketua Umum Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), Hermawati Setyorini. Ia mengaku sedih mendengar jeritan pelaku UMKM yang ketakutan kalau bisnis semakin sepi imbas kebijakan PPN 12 persen. Hermawati memandang, tarif PPN yang naik dari 11 persen ke 12 persen ini tentu berimbas pada pendapatan pelaku UMKM.

“Belum digempur bersaing dengan produk impor yang nggak mungkin kekejar. Belum bahan baku di Indonesia, meskipun ada tetapi cukup mahal. Ini kayak mata rantai yang nggak bisa disambung sama pemerintah,” ujar Hermawati saat dihubungi reporter Tirto, Kamis.

Dia menilai kebijakan yang diambil pemerintah tidak bijak karena abai memikirkan imbasnya terhadap masyarakat luas. Pemerintah terkesan cuma mengandalkan pemasukan negara dari sumber pajak yang dibebankan kepada rakyat. Tarif PPN 12 persen memang terlihat seolah-olah hanya menyasar konsumen. Namun, kata Hermawati, di baliknya ada banyak pedagang dan pelaku UMKM yang gelagapan karena kebijakan ini.

Pelaku UMKM seperti berada di situasi terhimpit: mundur kena, maju kena. Jika menaikkan harga, tentunya pelanggan akan semakin berkurang. Di sisi lain, memangkas harga juga sama saja melubangi biaya produksi dan pendapatan mereka. Hermawati minta pemerintah sebaiknya menunda kebijakan tarif PPN 12 persen tahun depan, sampai situasi daya beli masyarakat sudah stabil.

“Negara yang sebenernya sudah mau maju ya tapi ini kan terpuruk lagi. Kita kayak kembali ke zaman sebelumnya, kitanya semakin mundur bukan Indonesia maju,” ujar Hermawati.

Berdasarkan data PricewaterhouseCoopers (PwC), tarif PPN 12 persen akan membuat kita berada di peringkat teratas negara ASEAN dengan pajak PPN tertinggi. Saat ini, Filipina jadi negara tertinggi dengan tarif PPN 12 persen. Indonesia berada di posisi kedua dengan tarif PPN saat ini sebesar 11 persen. Di bawahnya ada Kamboja dan Vietnam yang sama-sama menarik tarif PPN sebesar 10 persen. Lebih lanjut, terdapat Singapura yang memberlakukan tarif PPN 9 persen. Sementara Malaysia menetapkan PPN 8 dan 10 persen tergantung jenis pajaknya.

Asa UMKM di Dalam Gang-gang Sempit

Popi sedang menyiapkan pesanan pelanggan, nama usahanya adala 'Warung Pa Ate', di Jl. Karang Tineung, Gang Mamila, Kota Bandung. (Tirto.id/Dini Putri Rahmayanti)

Lebih Bijak Dibatalkan

Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan sempat menyatakan PPN naik menjadi 12 persen tahun depan didasari UU Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Padahal, kata Huda, selain pasal tentang kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen, terdapat Pasal 7 nomor (3) dan (4) yang memberikan kewenangan pemerintah untuk menetapkan tarif PPN di rentang 5 persen hingga 15 persen melalui Peraturan Pemerintah.

“Poin ini sekaligus membantah klaim Sri Mulyani “hanya” mematuhi undang-undang. Masih ada peluang pemerintah untuk membantu masyarakat agar tidak terbebani,” kata Huda kepada reporter Tirto, Kamis.

Beban berat ini menurut Huda berasal dari pelemahan daya beli masyarakat. Pertumbuhan konsumsi masyarakat melambat di triwulan III 2024 dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,91 persen (y-o-y). Sedangkan secara q-to-q, konsumsi rumah tangga turun -0,48 persen. Indonesia juga alami deflasi lima bulan secara berturut-turut (Mei-September).

Huda menyebut, pelaku UMKM turun omzetnya hingga 60 persen mengacu data dari BRI. Ia menaksir turunnya pendapatan sektor UMKM akan semakin parah jika PPN 12 persen mulai berlaku. Dampak ini dipengaruhi perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga hingga 1,6 persen.

Selain itu, PPN Indonesia yang saat ini sebesar 11 persen masih lebih tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya dan negara-negara OECD. Atas dasar tersebut, kenaikan tarif PPN di tahun 2025 menurut Huda wajib dibatalkan. Pemerintah sangat berpeluang membuat tarif PPN tidak membuat beban masyarakat lebih dalam. Pemerintah dinilai memiliki kesempatan untuk meringankan beban masyarakat.

“Saya sudah coba hitung secara kasar, ada potensi perlambatan pertumbuhan produksi UMKM hingga 2 persen jika diterapkan kenaikan tarif PPN ke 12 persen,” jelas Huda.

Direktur riset dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menyatakan menaikkan PPN dalam situasi ekonomi saat ini adalah bukti bahwa pemerintah pada dasarnya sangat berani menambah beban bagi kelas menengah dan bawah. Di sisi koin lainnya, pemerintah tidak punya nyali untuk memajaki kelompok kelas atas.

Menurut Andri, tarif PPN ini secara sekilas terlihat proporsional, terutama jika dibandingkan dengan pengeluaran perorangan. Namun, jika dibandingkan pendapatan, PPN jauh bersifat regresif atau menjadi beban berat terhadap masyarakat. Semantara, beban PPN bagi kelas atas hampir tidak ada rasanya bila dibandingkan dengan pendapatan mereka.

“Namun bagi mereka yang pendapatan dan pengeluarannya pas-pasan, 12 persen ini tidak hanya akan menurunkan konsumsi, namun juga tabungan,” kata Andri kepada reporter Tirto, Kamis.

Pelaku UMKM di Kota Bogor

Pelaku UMKM di Kota Bogor melakukan packing pesanan. Tirto.id/M Fajar Nur

Konsumsi dari kelas bawah dan menengah dinilai berkontribusi paling banyak bagi UMKM. Bila dikatakan banyak UMKM tidak dikenakan tarif PPN dari produk yang mereka jual, tetapi naiknya PPN menurunkan tingkat konsumsi masyarakat yang pendapatannya pas-pasan.

Mengacu data Mandiri Institute, indeks tabungan kelas menengah turun di kisaran 100 pada awal 2023 menjadi 94,8 per Juli 2024. Di kelas bawah, kondisinya jauh lebih parah, dari kisaran 90 di awal 2023 menjadi 47,9 di Juli 2024. Berbanding dengan kondisi kelas atas yang naik dari kisaran 90 di awal 2023 menjadi 106,2 di Juli 2024.

Andri menilai lebih bijak pemerintah membatalkan kebijakan tarif PPN 12 persen dan mulai mengkaji penurunan tarif. Jika tujuan kenaikan PPN adalah menaikkan pendapatan negara, maka sebenarnya masih sangat banyak ruang pajak dari kelas atas yang selama ini tidak mampu ditarik negara.

“Jika memungut 1 persen saja harta dari 50 orang terkaya Indonesia, maka nilainya Rp40,78 triliun atau sudah melebihi dari seluruh pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2023 [Rp33,27 triliun],” terang Andri.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, melihat kebijakan PPN 12 persen tidak hanya mempengaruhi harga jual, tetapi menyentuh rantai bisnis UMKM secara holistik. UMKM yang selama ini beroperasi dengan margin keuntungan tipis akan menghadapi dilema antara menyerap kenaikan biaya atau membebaninya kepada konsumen. Berdasarkan karakteristik pasar UMKM yang sensitif terhadap harga, kata Yusuf, konsumen dengan daya beli terbatas cenderung mengurangi konsumsi atau beralih kepada produk lebih murah.

Yusuf menilai pemerintah perlu mengambil langkah strategis guna melindungi UMKM. Salah satunya memberikan insentif fiskal khusus, seperti pengurangan tarif pajak penghasilan bagi UMKM atau subsidi bahan baku utama. Selain itu, penguatan akses pembiayaan dengan bunga rendah dapat membantu UMKM beradaptasi dengan kondisi ekonomi baru.

“Pendampingan teknis juga sangat penting, khususnya dalam meningkatkan efisiensi operasional dan mengadopsi strategi pemasaran digital. Program-program ini harus dirancang dengan baik, diterapkan secara terkoordinasi, dan diarahkan tepat sasaran,” ujar Yusuf kepada reporter Tirto, Kamis.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Deni Surjantoro mengatakan kenaikan PPN menjadi 12 persen tahun depan telah melalui pembahasan mendalam antara pemerintah dengan DPR RI. Ia mengeklaim, rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen juga telah memperhatikan kajian ilmiah yang melibatkan para akademisi dan praktisi.

“Pada dasarnya kebijakan penyesuaian tarif PPN 1 persen tersebut telah melalui pembahasan yang mendalam antara pemerintah dengan DPR dan pastinya telah mempertimbangkan berbagai aspek antara lain aspek ekonomi, sosial dan fiskal," kata Deni dalam keterangannya yang diterima Tirto, Kamis (21/11/2024).

Baca juga artikel terkait PPN 12 PERSEN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky