tirto.id - Perdana Menteri (PM) Sementara Nepal, Sushila Karki, menggantikan KP Sharma Oli yang mengundurkan diri. Ia menduduki jabatan tersebut setelah kelompok Generasi Z (Gen Z) memimpin demonstrasi besar-besaran menentang korupsi dan pelarangan media sosial pada awal September 2025, lalu memilihnya sebagai PM Sementara/Interim Nepal.
Menyusul pengangkatan Karki sebagai PM Interim, Presiden Nepal, Ram Chandra Poudel, pun telah membubarkan parlemen. Ini dia nyatakan pada Jumat (12/9/2025) malam, beberapa jam setelah dia mengumumkan Karki akan memimpin Nepal sementara waktu.
Mengutip Reuters (13/9/2025), Karki ditunjuk setelah dua hari negosiasi intens antara Poudel, panglima militer Ashok Raj Sigdel, dan para pemimpin protes (Gen Z). Tak hanya itu, Poudel juga menetapkan tanggal 5 Maret 2026 sebagai waktu penyelenggaraan pemilu untuk pemimpin yang baru, menggantikan Karki yang hanya sebagai PM Sementara Nepal.
Update Terkini setelah Penetapan PM Interim Nepal dan Pemilu 5 Maret 2026
Kondisi Nepal yang bisa dibilang kacau beberapa waktu belakangan ini tak heran jika membuat banyak hal yang terjadi seolah tiba-tiba. Diawali kemuakan Gen Z atas korupsi dan nepotisme yang sering terjadi di negara itu, ditambah pelarangan media sosial, demonstrasi besar-besaran terjadi hingga pembakaran gedung parlemen.
Pergolakan baru mereda setelah PM KP Sharma Oli mengundurkan diri. Kemudian, disusul dengan penetapan PM Interim Nepal, Sushila Karki, setelah pemilihan di antara nama-nama tokoh lain.
Baru kemudian, Presiden Poudel membubarkan parlemen. Kendati demikian, langkah yang disebut Paudel atas rekomendasi PM Interim Sushila Karki menuai polemik.
Mengutip BBC, partai-partai politik utama Nepal telah menuntut presiden negara itu untuk mengembalikan parlemen yang dibubarkannya menyusul protes antikorupsi yang mematikan. Dalam sebuah pernyataan, delapan partai—termasuk Kongres Nepal, CPN-UML, dan Pusat Medis—mengatakan Presiden Poudel bertindak inkonstitusional.
Namun, Poudel membubarkan DPR pada Jumat (12/9/2025) atas rekomendasi PM Interim Sushila Karki. Itu pun merupakan tuntutan utama dari gerakan protes.
Tak berhenti sampai di situ, kedelapan partai tersebut juga mengatakan bahwa tuntutan para pengunjuk rasa, termasuk pemilihan umum baru yang diumumkan akan dilaksanakan pada 5 Maret 2026, harus ditangani melalui lembaga yang dipilih rakyat.
Esok harinya, Sabtu (13/9/2025), Presiden Poudel mendesak semua pihak untuk menahan diri dan membantu menyelenggarakan pemilu. Bahkan, dalam sebuah pernyataan, dia mengatakan bahwa resolusi damai sedang dicapai dalam “situasi yang sangat sulit dan menakutkan”.
“Konstitusi masih hidup, sistem parlementer masih hidup, dan republik demokrasi federal masih ada. Rakyat memiliki kesempatan untuk maju di jalur demokrasi yang lebih efisien dengan menyelenggarakan pemilu dalam waktu enam bulan,” ungkap Presiden Poudel, dikutip dari BBC (13/9/2025).
Di sisi lain, Sushila Karki mengaku dirinya akan segera menyerahkan jabatan begitu pemilu baru dilaksanakan, yakni pada 5 Maret 2026. Dia mengatakan, tidak akan menjabat lebih dari enam bulan.
“Saya tidak menginginkan pekerjaan ini. Setelah mendengar suara-suara dari jalanan, saya terpaksa menerimanya,” kata Karki setelah dilantik, dikutip dari BBC (14/9/2025).
Protes massa yang dimulai pada 8 September ini dipicu oleh pelarangan media sosial. Selama dua hari, demonstrasi berubah menjadi kekacauan dan kekerasan.
Rumah-rumah politisi dirusak dan parlemen dibakar. Jumlah korban tewas pun dikabarkan lebih dari 70 orang, termasuk tiga personel polisi.
Saat ini, setelah kerusuhan, Nepal secara bertahap kembali ke keadaan normal. Tentara Nepal yang telah dikerahkan untuk berpatroli di jalan-jalan Kathmandu pun kembali ke pangkalan mereka setelah Karki mengambil sumpah jabatan.
Toko-toko kembali dibuka dan kendaraan kembali ke jalan setelah beberapa perintah larangan yang berlaku sejak Selasa (9/9/2025) itu dicabut. Di sisi lain, keluarga korban berkumpul di luar kediaman resmi Perdana Menteri di Kathmandu, menuntut status martir bagi mereka yang terbunuh saat demonstrasi, saat mengabdi kepada negara, serta kompensasi. Bahkan, beberapa menolak mengambil jenazah kerabatnya dari kamar mayat sampai tuntutan mereka dipenuhi.
“Saudara saya harus dinyatakan sebagai martir karena ia gugur demi negara, dan pemerintah harus memberikan kompensasi kepada orang tua saya,” kata Sumitra Mahat, saudara perempuan Umesh Mahat (21) yang terbunuh dalam protes tersebut, dikutip dari Reuters (13/9/2025).
Kini, kabinet Karki akan menghadapi berbagai tantangan, termasuk memulihkan hukum dan ketertiban, serta membangun kembali parlemen dan gedung-gedung penting lainnya yang diserang. Selain itu, dia juga harus meyakinkan para pengunjuk rasa Gen Z yang menginginkan perubahan.
Pembaca yang ingin membaca artikel sejenis terkait demo Nepal dapat mengakses tautan berikut ini:
Penulis: Umu Hana Amini
Editor: Yantina Debora
Masuk tirto.id







































