tirto.id - Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berencana membangun 40 SMA Unggulan Garuda hingga 2029. SMA itudimaksudkan untuk memfasilitasi murid-murid unggulan berbagai daerah. Ia juga diharapkan menghasilkan talenta-talenta bidang sains dan teknologi bagi kemajuan Indonesia.
Tak hanya sekolah unggulan, pemerintah juga berencana membangun Sekolah Rakyat untuk anak-anak dari keluarga miskin ekstrem. Rencana ini mencuat usai Menteri Sosial, Saifullah Yusuf, menghadiri rapat koordinasi pemberdayaan masyarakat bersama Presiden Prabowo di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat, (3/1/2025) lalu.
Namun, ide pembangunan SMA Unggulan Garuda dan Sekolah Rakyat itu menuai kontra dari pengamat pendidikan Ubaid Matraji. Menurutnya, dua program itu justru berpotensi memperburuk ketimpangan dan diskriminasi dalam dunia pendidikan di Indonesia.
“Ini justru akan memperparah yang namanya ketimpangan pelayanan, kualitas pelayanan di dunia pendidikan," ujar Ubaid dalam Podcast For Your Politics di Kantor RedaksiTirto, Jakarta.
Menurut Ubaid, pemerintah lebih baik mengatur pelayanan pendidikan agar berkualitas, setara, dan berkeadilan bagi semua. Terlebih setiap anak Indonesia memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan berkualitas sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Tak hanya menyoroti soal masalah SMA Unggulan Garuda dan Sekolah Rakyat, Ubaid juga mengkritisi rencana pemerintah mendatangkan guru asing serta masalah sistem zonasi pendidikanyang selama ini menjadi keluhan bagi orang tua murid. Selengkapnya, simak obrolan Tirto dengan Ubaid berikut.
Sedang sibuk apa akhir-akhir ini, Mas Ubaid?Ya, biasa sedang mengamati beberapa kebijakan pemerintah terkait dengan pendidikan. Jadi, pendidikan memang enggak bisa dipahami dari satu sisi saja. Memang cocok dengan topik podcast kali ini, politik pendidikan. Bisa juga politisasi pendidikan.
Karena, kalau kita lihat kebijakan pendidikan dewasa ini, [yang bergerak] justru malah tidak hanya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Misalnya, Kemensos tiba-tiba ngomongin Sekolah Rakyat. Kemudian, Kementerian Keuangan tiba-tiba punya ide mata pelajaran saham. Kemudian, kemarin juga Wapres tiba-tiba pengen ada mata pelajaran coding. Dan banyak lagi soal kesehatan, makan bergizi. Jadi, politik pendidikan.
Berkaitan dengan wacana Presiden Prabowo yang ingin membangun sekolah unggulan, menurut Anda, urgensinya apa sih sebenarnya?
Kalau saya lihat, enggak ada urgensinya.
Lantas, Bagaimana?
Kalau aku melihatnya, misalnya, di dunia sepak bola kita ini terseok-seok, enggak bisa maju-maju. Bikinlah kebijakan instan, kita impor pemain yang kita sebut sebagai naturalisasi. Kita enggak kepikiran bagaimana meningkatkan skill para pemain bola kita. Jadi, pengennya instan.
Gelagat seperti itu saya lihat dipraktikkan juga di dunia pendidikan. Dari menteri ke menteri, dari tahun ke tahun, dari kurikulum ke kurikulum, kualitas pendidikan kita masih terseok-seok saja. Terbawah di Asia Tenggara, terburuk di dunia, mungkin begitu saja.
Nah, ini rupanya pemerintah terinspirasi dari dunia sepak bola kita menggunakan cara instan. Belakangan ini, juga ramai guru-guru Sekolah Garuda nanti diimpor. Lalu, supaya tahun depan ranking kita naik, maka harus ada Sekolah Garuda, sekolah unggulan. Yang masuk sekolah ini tidak semua orang karena harus diseleksi anak-anak yang hebat-hebat. Kira-kira gitu, instan.
Sehingga, pertanyaannya adalah bagaimana nasib anak-anak Indonesia yang lain, yang tidak di Sekolah Garuda ini? Kalau saya bayangkan, ada Sekolah Garuda, mungkin ada Sekolah Merpati, ada Sekolah Emprit. Jadi, kalau menurut saya, [Sekolah Garuda] justru memperparah yang namanya ketimpangan di dunia pendidikan.
Padahal, kita punya konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945, itu jelas [menyatakan]semua anak itu punya hak yang sama memperoleh layanan pendidikan. Pemerintah wajib membiayainya.
Kemudian, kenapa ada sekolah unggulan, ada sekolah yang enggak unggulan, ada yang khusus anak-anak miskin, dan seterusnya. Kenapa pemerintah tidak mengatur pelayanan pendidikan ini berkualitas, setara, berkeadilan bagi semua. Kenapa kok dipilah-pilah?
Nanti yang terjadi, kita akan kembali di era penjajahan. Anaknya pribumi [masuk] sekolah tersendiri. Anaknya keturunan Belanda, [masuk] sekolah khusus. Anak priyayi, anak bangsawan, [masuk] sekolah khusus. Dan itu layanannya beda.
Nanti juga begitu, sekolah unggulan apakah akan sama dengan layanan sekolah rakyat? Pasti beda. Sekolah yang pada umumnya, sekolah-sekolah negeri, pasti beda. Ini sama-sama anak bangsa, punya hak yang sama. Kenapa kok dibeda-beda?
Menurut saya, kebijakan ini harus dikaji ulang. Karena, kalau saya mengamati, justru ini bertentangan dengan amanat Undang-Undang Dasar 45. Jadi, enggak boleh ada diskriminasi dalam layanan pendidikan.
Lalu, siapa yang disebut anak-anak hebat [yang dimaksud pemerintah]? Anak-anak hebat adalah anak-anak yang tumbuh dengan fasilitas yang [serba] tersedia. Bisa kursus ini dan itu. Bisa les privat A, B, C, dan sebagainya. Itu butuh dana semua. Anak-anak orang miskin enggak mampu melakukan itu.
Sehingga, sekolah-sekolah unggulan itu pasti nanti akan dihuni oleh anak-anaknya orang kaya. Anak-anaknya orang kaya diberikan fasilitas yang mewah, sementara anak-anak Indonesia yang lahir dari keluarga miskin terdiskriminasi.
Belum lagi ada stigmatisasi. Nanti kalau ngobrol satu meja, “Kamu sekolah rakyat, kami ini sekolah unggulan.” Bisa di-bully nanti kan. Menurut saya, program ini pasti bermasalah kalau misalnya diteruskan.
Apa yang sebetulnya perlu pemerintah pikirkan dalam membangun sekolah unggulan maupun sekolah rakyat?
Kalau misalnya nanti ada sekolah unggulan dan sekolah rakyat, apa bedanya dengan sekolah-sekolah negeri yang sekarang sudah eksis? Nanti pemerintah bikin sekolah, Kemensos juga bikin sekolah. Apa bedanya dengan sekolah-sekolah negeri yang selama ini ada?
Menurut saya, tugas pemerintah itu justru sudah jelas, yakni menjalankan amanat konstitusi. Karena semua anak punya hak yang sama, maka pemerintah bisa [membangun sekolah untuk semua kalangan] menggunakan data yang sudah ada.
Pemerintah itu punya data, [mulai dari] berapa anak yang mau masuk SD, berapa anak yang lulus SD mau masuk SMP, dan seterusnya. Datanya ada. Ini anak-anak tinggalnya di mana? Jumlah bangku SD di daerah tertentu itu cukup atau kurang? Kalau cukup, ya sudah diatur bagaimana mereka bisa kebagian bangku sekolah semuanya. Kalau kurang, berarti bagaimana [solusinya]?
Jadi, enggak perlu juga membangun sekolah rakyat atau sekolah unggulan. Ya sudah, bangunlah sekolah negeri. Lalu, mereka mendapatkan layanan pendidikan yang sama.
Kalau tidak memungkinkan membangun sekolah negeri, bisa bekerja sama dengan sekolah-sekolah swasta. Tinggal sekolah swasta ini kan butuh gaji guru, butuh maintenanceinfrastruktur, itu di-cover oleh pemerintah. Sehingga, semua anak Indonesia punya kesempatan yang sama. Nah, itu namanya berkeadilan.
Kita [harus] punya dulu peta kualitas pendidikan dan asesmen nasional. Itu jadi baseline kita [menentukan], mana sekolah yang sudah unggulan danmana yang masuk grade B ataugrade C. Tugas pemerintah adalah menjadikan semua sekolah yang ada di Indonesia itu unggulan. Jadi, yang C naik ke B, B naik ke A. Nanti, lama-kelamaan semua akan jadi A.
Dengan begitu, anak Papua, misalnya, enggak perlu sekolah ke Jawa untuk menjadi pintar. Karena, kualitas sekolah di Jawa maupun di Papua, di Sulawesi, dan di Kalimantan semuanya sama.
Kebijakan Sekolah Garuda dan Sekolah Rakyat itu akan memperparah yang namanya kesenjangan. Dan yang diinginkan oleh rakyat Indonesia [adalah] anak-anak kita itu bisa sekolah yang mutunya bagus. Di mana itu? Di mana saja.
Jika memang sekolah unggulan tetap dibangun, bagaimana sebaiknya mekanisme untuk perekrutan gurunya?
Saya pernah menghitung dan didiskusikan dengan banyak pihak, dengan Panja Pembiayaan Pendidikan, Komisi X periode yang lalu, kemudian sekarang juga sedang proses di judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK), dan juga para ahli anggaran pendidikan.
Misalnya tahun 2024, [anggaran] Rp665 triliun. Itu lebih dari cukup. Apalagi, 2025 naik Rp700 triliun sekian. Sangat cukup, bahkan berlebih. Yang membuat [jadi] enggak jelas seakan-akan gak cukup adalah political will.
Ide untuk mendatangkan guru asing di Indonesia itu kok bisa cepat? Kok langsung ada dananya, sementara kemarin guru honorer di Jawa Barat demo di depan Gedung Sate soal kesejahteraan.
Di Jakarta, berapa guru-guru yang belum sejahtera? Yang kemarin terlibat kasus cleansing, dan seterusnya.
Guru yang sekarang ngajar di sekolah-sekolah kita itu gajinya ada yang Rp100 ribu, Rp200 ribu, Rp300 ribu. Kemarin, di Duren Sawit, sama Istana Negara paling 30 menit atau 1 jam paling lama. Gajinya Rp300 ribu di sekolah negeri. Kenapa kok gajinya Rp300 ribu? Apakah kita gak punya dana? Apakah Jakartaenggak punya dana? [Padahal] banyak banget. Apakah dari APBN gak punya dana? Banyak banget. Artinya lack of political willini harus ditegakkan.
Jadi, kalau ada keinginan sejahterakan guru, ya itu gampang. Datanya sudah ada. Berapa jumlah guru yang masih honorer. Dari sekian guru itu yang kualitasnya sudah grade A misalnya [berapa]. Sudah sangat bagus itu berapa. Bagaimana guru-guru ini bisa influence guru-guru yang lain. Bagaimana mereka bisa dilibatkan dalam capacity building. Pelatihan-pelatihan peningkatan kompetensi guru itu sangat penting sekali, daripada ujug-ujug solusi instan impor guru asing.
Apakah impor guru akan berdampak kepada peningkatan kualitas. Atau justru mengambil jatah kesejahteran guru-guru yang sudah ada. Ini bahaya sekali. Apalagi nanti menggeser guru-guru honorer yang saat ini masih saja demonstrasi berjuang menentukan keadilan upah yang layak itu.
Mungkin ya, saya gak berharap ini terjadi ya. Itu mungkin dianggap pemerintah gak penting lalu mendatangkan guru dari luar negeri. Menurut saya ini kalau benar-benar terjadi bisa jadi bencana.
Kita bergeser ke soalSekolah Rakyat yang digagaskan oleh Kemensos. MenurutAnda, apakah ini jadinya kebijakan yang tumpang tinggi dengan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kementerian Agama?
Ini pasti akan bermasalah di lapangan. Saat ini, yang jelas di beberapa statement terkait dengan Sekolah Rakyat itu kan jelas untuk anak-anak yang tidak mampu. Nah, sebelum sekolah ini diimplementasikan, ada program pemerintah untuk men-support anak-anak yang tidak mampu, yaitu Kartu Indonesia Pintar.
Dari sekian periode presiden menjalankan program Kartu Indonesia Pintar, masalahnya adalah salah sasaran, baik inclusion error maupun exclusion error. [Itu terjadi] sampai hari ini sehingga kemarin viral ada penerima KIP bawa iPhone. Ada yang punya KIP, tapi anaknya pegawai negeri ASN dan seterusnya.
Jadi, kalau pemerintah membuat program khusus untuk anak-anak dari keluarga tidak mampu [sebenarnya] selama ini sudah terjadi, tapi hasilnya masih belum maksimal.
Kemarin, di beberapa wilayah kami mendampingi anak-anak yang punya Kartu Indonesia Pintar yang gagal [ikut PPDB]. Bahkan, di Jakarta mereka punya Kartu Indonesia Pintar kemudian punya KJP Plus. Ini artinya mereka ekonominya prasejahtera. Mereka gagal PPDB di Jakarta. Jadi, sebenarnya sekolah ini buat siapa?
Sampai hari ini, per Desember 2024, masih ada sekitar 4 juta anak Indonesia yang enggak bisa sekolah. Itu angka yang menurut saya sangat besar sekali ya. Padahal, dalam prinsip Undang-Undang Dasar 1945 dan Sustainable Development Goals itu mestinya no one left behind.
Nah, ini kok 4 juta [tak bisa sekolah]. Ini penting dan mestinya bisa diselesaikan oleh pemerintahan yang baru, menteri yang baru, presiden yang baru itu.
Menurut saya, cara yang paling efektif adalah menyediakan bangku sekolah sejumlah anak-anak yang mau sekolah. Dan enggak usah dipilah-pilah yang miskin masuk sekolah Kemensos atau yang berprestasi atau anaknya orang kaya [masuk sekolah unggulan]. Jangan begitu.
Hari ini, di dunia pendidikan kita ada dikotomi sekolah umum dan madrasah. Guru yang mengajar di sekolah dengan guru yang mengajar di madrasah, kesejahteraan jomplang. Sangat parah dansangat beda. Ini sudah eksis lama.
Lalu, nanti akan ditambah lagi dengan ada sekolah unggulan dan sekolah rakyat. Nanti gaji gurunya juga tersendiri. Jadi, tidak hanya ketimpangan di sisi kualitas, nantiketimpangan kesejahteraan guru, ketimpangan sekolah, ketimpangan capaian pembelajaran akan jadi semakin kronis.
Menurut saya, daripada memikirkan hal yang repot-repot tadi, mending kita manfaatkan sekolah yang sudah ada. Kalau belum ada, di mana yang gak ada atau kurang, maka dibangun di situ sekolah negeri.
Misalnya, zona tertentu peserta didiknya banyak, tapi jarak ke sekolahnya jauh, sampai 5 km bahkan 10 km. Maka harus dibangun di sekolah terdekat. Jadi, [cari cara] bagaimana sekolah itu dekat dengan anak-anak. Hari ini kan, terutama di daerah-daerah yang agak jauh dari Jakarta, terutama di SMA, itu kalau mau sekolah SMA itu pasti ke kota.
Gak usah jauh-jauh Jakarta, di Bogor saja, atau di Bekasi, atau di daerah Banten, itu kalau mau sekolah SMA pasti ke kota. Karena, jumlah sekolah SMA ini kecil, sangat terbatas. Nah, ke kota butuh ongkos, butuh jauh dari orang tua, dan seterusnya. Pemerintah [cari cara] bagaimana menghadirkan sekolah-sekolah yang berkualitas unggulan ini di mana-mana dekat dengan anak-anak.
Sekarang, masalah yang masih sangat rumit mungkin adalah masalah zonasi. Itu mestinya dibenahi dulukah sebelum beranjak ke pembenahan masalah lain?
Zonasi itu bermasalah karena setidaknya aturan yang dibikin oleh pemerintah itu adalah kompetisi rebutan kursi. Sehingga, orang tua itu bingung anaknya itu nanti keterima di mana. [Padahal] mestinya pelayanan hak itu ya harus jelas. Ini gak masuk akal.
Misalnya, dalam dunia politik, semua warga negara punya hak untuk memilih presiden. Maka ditetapkan DPT. Lalu, DPT nomor ini punya jatah nyoblos di TPS ini. Jelas kan? Jadi, waktu hari pemilihan, warga negara Indonesia gak perlu pusing masuk TPS mana.
Sama halnya dengan sekolah. Itu adalah hak semua anak Indonesia. Tugas pemerintah adalah [memastikan] kalau [anak] sudah umur 7 tahun itu sudah tahu bisa masuk SD di mana.
Kemarin 2024, katanya sistem [PPDB]online. Itu kalau mau daftar PPDB, jam 4 sebelum subuh itu sudah di depan sekolah orang tua ngantri [untuk ambil formulir]. Dan itu bukan kejadian di Papua, tapi di sekitar Jakarta, di Bogor, di Banten.
Karena apa [kok bisa jadi seperti itu]? Ya tadi, zonasi kok [sistemnya seperti] rebutan kursi. Sekolah itu [seharusnya]enggak perlu rebutan kursi karena negara menjamin semua orang yang masuk usia sekolah dapat sekolah.
Negara [seharusnya] menjamin anak-anaknya sekolah. Anaknya tinggalnya di mana, nanti dapet zona A atau ada opsi lain bisa memilih salah satu di mana. Kalau penuh, maka bisa ada opsi yang lain di SD sebelah mana. Karena, pemerintah sudah ngitung berdasarkan zona. Yang dihitung apa? Berapa jumlah anak di zona itu dan berapa bangku yang tersedia di zona itu. Kalau jumlahnya klop, ya aman.
Apakah Anda setuju kalau misalkan pemerintah itu harusnya memikirkan bagaimana anak bisa betah dulu di sekolah. Karena, kebanyakan anak yang tadi miskin ekstrem itu mereka terpaksa untuk putus sekolah karena sudah lebih nyaman mencari nafkah. Nah, menurut Anda, apakah pemerintah seharusnya juga fokus ke masalah itu?
Iya. Karena, data anak itu bukan data mati. Ini adalah calon pemimpin masa depan Indonesia. Karena itu, harus fokus. Pemerintah mulai dari pendidikan anak usia dini. Itu [seharusnya] sudah dikawal. Sehingga, [kalau] ada yang ketinggalan, misalnya ada anak usia sekolah belum masuk sekolah, itu sudah masuk radar data pemerintah.
Maka yang kita pertanyakan adalah kenapa data itu [hanya]ditaruh di laci? Kenapa enggak taruh di atas meja, lalu dicarikan solusi bagaimana? Jadi, data pemerintah itu real timeupdate.
Pemerintah itu tahu berapa bulan ini yang left behind. Berapa tahun depan, 2025, yang ketinggalan. Siapa anak Indonesia yang sekolah aja enggak pernah? Banyak loh. Jadi, ada yang putus sekolah, ada yang sekolah aja enggak pernah.
Bagaimana upaya pemerintah seharusnya membuat anak-anak betah sekolah, meskipun sudah ada sekolah unggulan maupun sekolah rakyat?
Itu kan harus dipastikan. Dipastikan soal apa? Yang pertama, mereka bisa bersekolah dengan aman, nyaman, bahagia.
Hari ini, banyak survei menunjukkan bahwa salah satu kebutuhan yang dianggap berat oleh keluarga Indonesia selain sembako adalah biaya pendidikan. Jadi, kalau orang kaya, gak mikir mau anaknya sekolah di mana pun tugasmu adalah belajar danbapak-ibu support.
Nah, kalau anaknya orang prasejahtera, orang miskin ekstrem, ini anak sekolah jantungan. Bentar lagi study tour, bentar lagi beli seragam, bentar lagi kurikulum baru, ada buku baru. Jantungan orang tua dari kelompok tidak mampu ini.
Kemarin, viral ada anak-anak gara-gara belum bayar iuran suruh belajar di tanah. Kemarin waktu penerimaan rapot, rapotnya gak bisa diambil karena uang wisuda belum dibayar, uang study tourbelum dibayar. Itu di sekolah negeri, bukan di sekolah swasta. Jadi, orang tua itu kepikiran biaya sekolah ini sangat memberatkan.
Negara sudah [seharusnya] menjamin [akses pendidikan] karena ini amanat konstitusi. Undang-Undang Sisdiknas Pasal 34 [menyatakan] “pendidikan tanpa dipungut biaya”. Gak ada [bunyi] ayat yang debatable.Bunyinya [jelas] “tanpa dipungut biaya”. Apa yang bisa kita tafsir dari kata-kata “tanpa dipungut biaya”?
It meansgak perlu ada biaya macam-macam. Semua [seharusnya] di-cover oleh pemerintah. Karena, pemerintah bikin program namanya Wajib Belajar 9 Tahun, lalu dipanjangkan jadi 12 tahun. Karena itu, pemerintah wajib menyediakan sekolah, wajib menyediakan guru, wajib menyediakan biaya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi