tirto.id - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak seharusnya membawakan menu yang sama di seluruh Indonesia. Co-inisiator Nusantara Food Biodiversity, Ahmad Arif, mendorong agar MBG dapat menyuguhkan pangan lokal agar pelajar bisa mengenalnya sedari dini.
"MBG itu harusnya jadi medium untuk mengenalkan anak-anak sejak dini [kepada] makanan lokal yang ada di daerah dia, dan dia harus didorong untuk bangga dengan itu," kata Arif dalam diskusi Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta, Jumat (13/6/2025).
Arif menekankan, standar makanan sebaiknya tidak disamaratakan, seperti menu MBG yang menyajikan nasi atau roti. “Yang itu [sajian MBG] jangan disamain. Sekarang di mana-mana beras lagi. Di mana-mana sekarang pakai roti,” tambah dia.
Selain bertujuan untuk mengenalkan budaya pangan lokal, Arif mengatakan upaya tersebut bisa mengurangi pengeluaran biaya pangan, sekaligus mempercepat pergeseran hegemoni pola konsumsi di masyarakat Indonesia.
"[Menu MBG] disesuaikan dengan kondisi daerah yang masing-masing, dikenalkan kembali ke anak-anak. Jadi kita kan bangsa yang beragam, jangan disamakan orang Papua dengan orang Jawa makannya karena cost [Biayanya] akan terlalu mahal," terang Arif.
Sebagai contoh, Arif memberikan perkiraan konsumsi beras 270 juta masyarakat Indonesia dengan kebutuhan 0,24 kilogram per hari bagi tiap orang. Hasilnya, ada kebutuhan 64.800 ton beras per hari. Sementara dengan desentralisasi menggunakan pangan lokal, kata Arif, Indonesia dapat lebih menghemat konsumsi beras.
Selain itu, mengingat Indonesia negara kepulauan, Arif menilai konsep pangan berbasis keragaman ekologi, sumber daya, dan budaya lebih tepat untuk diimplementasikan.
"Konsep negara kepulauan tadi, yang itu endemisitas maupun lingkungan yang beragam, dan kemudian melahirkan budaya yang beragam itu seharusnya menjadi legacy sistem pangan kita," jelasnya.
Apabila jenis pangan terus diseragamkan seperti saat ini, Arif khawatir akan lahir hegemoni dan gastro kolonial. Akibatnya bisa terjadi kegagalan pangan ataupun kesenjangan antar-wilayah dalam biaya pengeluaran untuk makanan.
Dia menambahkan, banyak jenis makanan lokal mempunyai daya tahan yang baik dalam menunjang ketahanan pangan. Misalnya, lanjut Arif, sukun dapat ditanam dan dipanen di berbagai kondisi iklim.
Peserta diskusi lainnya, co-founder NUSA Indonesia Gastronomy sekaligus juru masak kondang, Ragil Imam Wibowo, berpendapat program MBG dapat berhasil ketika melibatkan pengurus Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Dia menilai pengurus PKK bisa terlibat dalam produksi menu MBG di daerahnya masing-masing.
"Karena mereka yang tahu keperluan anaknya. Kalau ibu-ibu dikasih tahu atau dikasih training untuk gimana caranya [terlibat di] MBG, pasti mereka memberikan makanan yang bagus. Itu enggak mungkin mereka memberikan makanan yang enggak bagus," kata dia.
Editor: Addi M Idhom
Masuk tirto.id


































