tirto.id - Obon Tabroni mendeklarasikan diri menjadi calon bupati Bekasi lewat jalur perseorangan, 28 Februari 2016. Deklarasi itu bermula dari keraguan. Bolak-balik tebersit dalam pikiran Obon saat rencana maju sebagai calon independen masih sebatas wacana. “Bisa enggak, ya?” ujarnya. Pertanyaan itu dijawab Obon sendiri, “Tapi kalau enggak dicoba, kita enggak pernah tahu.“
Dalam sejarah, belum pernah ada seorang buruh yang diusung sebagai calon bupati lewat jalur perseorangan.
Keputusannya untuk maju sebagai calon independen bulat setelah dukungan dari buruh menguat. Banyak buruh yang menawarkan diri menjadi relawan. “Okelah kita coba, memang harus ada yang memulai gerakan ini,” tutur Obon.
Dukungan buruh terkanalisasi dengan baik. Sebanyak 143.122 KTP buruh terkumpul sebagai syarat dukungan calon perseorangan, melebih syarat KPU yang hanya 130 ribu KTP. Jadilah Obon sebagai calon independen pertama di Indonesia yang diusung oleh buruh.
Keberhasilan itu tidak lepas dari peran serikat buruh di Kabupaten Bekasi yang dikonsolidasi dengan baik sejak 2012. Aksi massa menutup jalan tol pada tahun itu sukses membuat konsolidasi lintas serikat pekerja berjalan dengan baik. Sejak itu, serikat pekerja menggagas ide untuk mendorong buruh untuk berpolitik.
Pada 2013, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) mendeklarasikan dukungan terhadap calon legislatif dari buruh di Indonesia. Termasuk di Bekasi, ada lima calon anggota DPRD Kabupaten Bekasi yang diusung, yakni Suparno, Nurdin Muhidin, Aji, Masrul Zambak, dan Hendi Suhendi.
Lima orang itu didukung untuk menang dalam Pileg 2014 lalu. Hasilnya, Nurdin Muhidin yang menggunakan PAN sebagai kendaraan politik berhasil menang di daerah pemilihan 1, yang memang menjadi basis buruh. Di luar lima nama yang dideklarasikan, ada Nyumarno yang juga kader FSPMI. Ia menang di Dapil 6 dengan kendaraan politik PDI Perjuangan.
Keberhasilan itulah yang hendak diulangi oleh Obon, wakil presiden FSPMI. Ia menggandeng Bambang Sumaryono sebagai tandemnya.
“Kita pilih independen karena kita yakin bisa menggalang dukung tanpa parpol. Sebenarnya lewat partai bisa, tapi mereka sudah punya calon sendiri-sendiri yang bukan dari buruh,” ujar Obon.
Namun, apa daya, keinginan mengulang sukses itu kandas. Dalam Pilkada 2017 lalu, pasangan itu hanya meraup 207.940 suara atau 17,57 persen, jauh di bawah petahana Neneng Hasanah Yasin dan Eka Supria Atmaja yang mendapat 471.483 suara atau 39,83 persen.
Pecah Kongsi
Langkah politik Obon sebagai calon yang diusung buruh rupanya tidak lantas membuat elemen buruh bersatu. Buktinya, perbandingan jumlah KTP buruh yang terkumpul dan hasil suara hanya menambah sekitar 50 ribu. Ini terjadi karena buruh masih terfragmentasi ke sejumlah parpol. Dua perwakilan buruh yang sukses, Nurdin dan Nyumarno, enggan memberi dukungan kepada Obon. Sejumlah spanduk beredar mengenai dukungan Nyumarno kepada Meilina dan Abdul Kholik, sedangkan Nurdin mendukung Neneng dan Eka.
Fragmentasi wakil buruh di parlemen memang jadi persoalan dalam gerakan buruh di Indonesia. Hubungan dengan partai politik lebih menyiratkan kekosongan konstituen di kalangan buruh. Wakil buruh yang maju lewat sebuah parpol, sederhananya, buat menambah kursi parpol bersangkutan di parlemen. Para buruh yang terpilih di parlemen juga akan lebih mencirikan mobilitas personal, meninggalkan konstituennya dari kalangan buruh.
Nurdin Muhidin, misalnya, semula belum menentukan pilihan partai sebagai kendaraan pada Pileg 2014. “Saya ketemu Bang Obon, terserah mau pilih partai apa. Karena saya berjenggot, Bang Obon sarankan PKS, PAN, atau PPP. Saya pilih PAN,” ujar Nurdin.
Nurdin, yang dikenal orator ulung, melihat ada peluang menang jika maju lewat PAN di dapil 1. Daerah itu meliputi Cikarang Selatan, Cikarang Pusat, Serang Baru, Cibarusah, Bojongmangu, dan Setu. Mereka adalah basis buruh.
“Di Dapil itu ada enam kawasan industri. PAN belum pernah punya anggota dewan dari sana. Jadi ada peluang,” tutur Nurdin.
Nyumarno pun demikian. Bergabung dengan PDI Perjuangan, konsekuensinya, ia tidak berpihak kepada Obon dalam Pilkada 2017 lalu. Partai banteng bermoncong putih ini mengusung kadernya Meilina dan Abdul Kholik.
Di luar itu, ada kongsi serikat buruh dan parpol yang sulit disatukan dengan kepentingan buruh. FSPMI memiliki kedekatan dengan PKS. Beberapa kadernya menjadi pengurus FSPMI. Sedangkan beberapa serikat buruh lain seperti KASBI (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia) dan KPBI (Konfederasi Perjuangan Buruh Indonesia) cenderung berhaluan kiri.
Potensi Buruh di Bekasi
Berdasarkan data Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi, jumlah buruh di sana mencapai 496 ribu. Bekasi, sejak kawasan pabrik diperluas hingga ke Karawang, dan pengembangan infrastruktur makin gencar di bawah pemerintahan Jokowi, merupakan salah satu situs industri terpenting dan kantong massa buruh terbesar di Indonesia.
Jumlah buruh di sana tentu saja berpotensi besar buat digerakkan untuk kepentingan politik. Dengan asumsi satu kursi anggota DPRD Kabupaten Bekasi senilai 30 ribu suara, buruh bisa mendapat 16 perwakilan di parlemen. Jumlah buruh itu pun lebih banyak dari jumlah perolehan suara bupati pemenang Pilkada 2017 lalu.
Nurdin Muhidin mengatakan apa yang disebut "potensi kantong buruh" itu sangat sayang jika tidak dikelola dengan baik.
“SPMI saja anggotanya itu ada 50 ribu. Dalam bayangan saya, minimal setiap Dapil buruh bisa dapat satu kursi, atau dapat empat perwakilan saja sudah bagus. Tapi tidak semudah itu kalkulasinya,” ujarnya.
Masalah utamanya, menurut Nurdin, adalah konsolidasi. Ia berkata bahwa tidak sedikit anggota serikat buruh yang sudah bergabung dengan partai politik. Sulit menyalurkan suara buruh dalam satu partai atau mendukung figur tertentu.
“Saya sendiri, lebih banyak karena figur, bukan karena kekuatan partai. Bang Obon juga begitu. Ketokohan di daerah itu penting, tapi partai juga punya pengaruh karena itu pilihan masing-masing,” katanya.
Ujicoba Partai Buruh yang Gagal
Membangun basis suara buruh melalui calon independen di Kabupaten Bekasi seperti yang dilakukan Obon patut diacungi jempol. Serikat pekerja di pabrik mengenalkan Obon ke buruh-buruh secara langsung. Tetapi upaya ini harus menghadapi langkah pesaing lain yang turut menggarap suara buruh, sehingga suara mereka terpecah.
Upaya membuat partai buruh di Indonesia bukan barang baru. Pada masa Orde Baru, SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) dibentuk pemerintah sebagai satu-satunya wadah serikat buruh sekaligus alat penguasa meredam buruh. Pada April 1992, tokoh PDI seperti Sabam Sirait, Suko Waluyo, dan Muchtar Pakpahan mendirikan SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), organisasi buruh independen pertama di Indonesia.
Dalam perjalanannya, SBSI tertarik ke dalam pemerintahan Megawati. Namun, karena perbedaan pendapat soal outsoucing, Pakpahanmenarik SBSI dari PDI Perjuangan dan mendirikan partai sendiri.
“Karena sudah beda visi soal outsourcing, kami keluar dari PDI, bikin Partai Buruh,” katanya.
Partai Buruh pernah ikut Pemilu 1999 dan 2009. Pakpahan mengklaim kader partai se-Indonesia mencapai 1,7 juta orang. Namun partai ini tidak pernah membesar. Pada Pemilu 2009, Partai Buruh bahkan hanya mendapat 265.203 suara.
“Dua kali ikut Pemilu, tapi karena kita tidak punya uang, kita tidak bisa maksimal. Di Indonesia, partai itu kan harus punya uang,” tambah Pakpahan.
Kapitalisasi suara buruh melalui partai itu gagal. Pada Rakernas April 2017, SBSI memilih kembali bergabung dengan PDI Perjuangan. “Dulu keluar dan bikin partai sendiri karena outsourcing, sekarang sudah tidak ada. Karena itu keputusan Rakernas kemarin, SBSI akan menjalin kemitraan dengan PDI Perjuangan,” ujarnya.
Dua formula membuat partai sendiri dan maju lewat jalur independen terbukti sudah gagal. Keberhasilan itu hanya bisa diraih buruh ketika pentolan-pentolan mereka menyusup ke partai-partai. Kelemahan formula ini, buruh kembali terpecah dalam partai-partai dan ideologi politik.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam