Menuju konten utama

Independensi Serikat Buruh di Balik Kemenangan Sadiq Khan

Apa yang bisa dipelajari dari relasi politik antara serikat buruh dan Partai Buruh dalam kemenangan Sadiq Khan?

Independensi Serikat Buruh di Balik Kemenangan Sadiq Khan
Sadiq Khan, saat berkampanye bersama buruh di Montgomery Square di Canary Wharf, London. FOTO/Press Association Images

tirto.id - "Ongkos PP akan lebih terjangkau berkat putra pengemudi bus”, “Anak rusun yang bakal membereskan krisis perumahan”, “Muslim Inggris yang siap tempur melawan ekstremis”.

Demikian beberapa slogan tim kampanye Sadiq Khan dalam pemilihan walikota London pada 2016. Kemenangan Khan, politisi dari Partai Buruh yang sempat mewakili distrik Tooting di selatan London itu, sempat dirayakan sebagai keoknya rasisme dan sentimen anti-muslim—yang secara aktif dimainkan oleh kampanye Zac Goldsmith, lawan Khan dari Partai Konservatif.

Strategi PR kampanye Khan lainnya adalah membangun citra sang kandidat sebagai karakter yang tegas dan gesit. Hasilnya cemerlang: Khan mendapat 1.148.716 (44,2%), sementara Goldsmith 909.755 (35%).

Namun di luar politik identitas dan PR, salah satu kunci kemenangan Sadiq Khan adalah dukungan serikat buruh. Bahkan sesungguhnya, kampanye Khan tidak berfokus pada isu agama atau etnis. Isu pokok yang terus diangkat oleh Khan adalah krisis perumahan dan transportasi, yang gagal diatasi walikota London sebelumnya, Boris Johnson.

Sentralitas dukungan dan pengorganisiran serikat buruh, dalam pemilihan-pemilihan lokal menjadi faktor yang perlu dicermati. Secara tradisional, mereka berafiliasi dengan Partai Buruh, bahkan hingga kini menjadi donatur terbesar partai. Namun begitu, aliansi didasarkan pada program dan sejauh pada serikat mampu mengintervensi partai—bukan sebaliknya, misalnya melalui patronase partai atas serikat.

Iuran anggota punya peran signifikan tidak saja penting dalam hubungan serikat dan partai, tetapi juga dalam menentukan arah dan program internal serikat. Tidak semua iuran buruh—minimal £3 per bulan—lari ke partai. Sebagian disisihkan untuk menjalankan program-program serikat.

Namun, tidak berarti pula partai tunduk pada serikat. Dikutip dari BBC, jika sebelumnya anggota serikat pekerja telah secara otomatis berafiliasi dengan Partai Buruh (kecuali sengaja memilih keluar), kini mereka harus mendaftar. Kebijakan yang berlaku sejak 2014 ini ditengarai sebagai cara partai untuk mencari sumber-sumber pendanaan di luar serikat. Kendati demikian, donasi dari serikat masih menempati prosentase tertinggi (58%) dari keseluruhan donasi yang diterima partai.

Laporan tentang relasi elite-elite parpol di Indonesia dengan petinggi serikat buruh:

Ketika Para Elite Serikat Buruh Berselingkuh dengan Parpol.

Krisis Perumahan dan Transportasi

Di pengujung masa jabatannya, karena gagal mengatasi krisis hunian, Boris Johnson jadi bulan-bulanan warga London. Kendati persoalan ini sudah muncul sebelum Johnson menjabat, politikus Konservatif itu memberikan izin bagi para pengembang properti untuk apartemen-apartemen mewah yang tak terjangkau lapisan ekonomi sulit dan menengah, yang kemudian dijual ke investor asing.

Pada 2015, rata-rata tarif sewa apartemen per bulan di London mencapai £1.500, hampir setengah penghasilan rata-rata warga kota (£34,000). Begitu tutup jabatan, data yang ia pegang terbukti salah. London butuh 49.000 unit rumah baru, alih-alih 42.000, bukan pula setengahnya—jumlah riil yang berhasil dibangun administrasi Johnson.

Menurut jajak pendapat yang diselenggarakan Ipsos Mori, separuh responden London (54%) menyebut perumahan ada di peringkat teratas masalah kota tersebut, menyusul transportasi (47%) lalu ekonomi (39%). Persentase ini berkebalikan dengan tren nasional, di mana perumahan ada di ranking kelima, kalah dengan imigrasi yang bertengger di posisi puncak.

Pada 2014, populasi London mencapai 8,4 juta dan meningkat sekitar 80.000 orang per tahun. Pada 2015, angka pertumbuhan penduduk naik empat kali lipat. Dengan uang sewa semencekik itu, para pekerja berupah rendah umumnya memilih tinggal di pinggir kota. Dus, masalah lagi: kekurangan fasilitas transportasi publik.

Ironisnya pada 2008, Boris menang di daerah pinggiran kota ini, mengalahkan petahana dari Partai Buruh Ken Livingstone, yang dianggap gagal mengurus transportasi dalam dan sekitar kota. Dirunut ke belakang lagi, Livingstone pun bisa duduk di kursi London Satu pada 2000 berkat dukungan buruh.

Tak Selalu Akur dengan Partai

Delapan tahun kemudian, para pekerja pinggiran kota, ada di belakang Khan. Anak sopir bus asal Pakistan itu sendiri tidak asing dengan serikat buruh, sebagaimana banyak anggota parlemen Partai Buruh berasal dari serikat.

“Saya kira menjadi anggota serikat buruh adalah hal yang baik. Sudah ratusan tahun mereka berjuang demi hal-hal yang kita anggap remeh hari ini; upah setara untuk perempuan, kesetaraan rasial di tempat kerja, serta perlindungan di tempat kerja. Dalam pandangan saya, serikat buruh adalah kekuatan yang berjuang demi kebaikan. Sayangnya, pandangan itu tak dimiliki pemerintahan Partai Konservatif,” tulis Khan melalui status Facebook pada Juli 2005, mengomentari pengesahan UU anti pemogokan yang disponsori kaum konservatif.

Di antara serikat buruh pendukung Khan adalah GMB (General, Municipal, Boilermakers and Allied Trade Union), salah satu serikat buruh tertua Inggris dengan lebih dari 600 ribu anggota, termasuk Khan. GMB telah menyokong Khan sejak ia berkampanye sebagai caleg Tooting pada 2005 dan 2011.

Dalam relasinya dengan Partai Buruh, GMB kerap dipandang sebagai organ loyalis Partai Buruh. Dukungan kepada Khan, oleh sebab itu, adalah lumrah belaka. Namun, posisi GMB yang tidak kritis dan tidak independen ini ditengarai menjadi penyebab keanggotaan serikat yang stagnan selama sepuluh tahun terakhir. Sebagai catatan, Partai Buruh sendiri bukannya tak bermasalah. Sejak kemenangan Tony Blair pada 1997, partai ini memoles gincu baru dengan nama New Labour dan sejak itu menjadi lebih ramah pada bisnis-bisnis raksasa.

Khan harus mengambil hati serikat buruh terbesar, Unite for Union (lebih dikenal dengan Unite), yang semakin hari makin kritis terhadap partai. Berturut-turut 2014 dan 2015, dua kali pimpinan Unite Len McCluskey mengeluarkan ultimatum kepada Partai Buruh: Unite akan mencabut dukungan untuk partai apabila gagal memenangkan pemilihan 2015. Tahun berikutnya, ketika David Milliband terbukti gagal di kota suara melawan David Cameron, ultimatum tersebut makin keras: ganti pimpinan partai, jangan pilih antek Blair atau trah Miliband, atau kami cabut betulan.

Belakangan Unite mendukung Jeremy Corbyn, veteran aktivis Partai Buruh yang populer di kalangan massa namun tak direstui sebagian besar internal dan elite partai.

Ketika menyorongkan dukungan kepada Khan, Unite mengajukan empat tuntutan: struktur pengupahan tunggal untuk seluruh jaringan bus London, pembangunan hunian sosial dengan tarif sewa terjangkau, pengadaan desk “economic fairness” di Balai Kota untuk memastikan kenaikan upah menjadi £10 per jam, serta sanksi tegas untuk perusahaan yang mengkriminalisasi anggota serikat buruh.

Ultimatum yang sama sempat terlontar dari serikat pendukung Sadiq lainnya, CWU (Communication Workers Union) yang beranggotakan 192.508 pekerja sektor pos dan komunikasi. Pada 2013, dua tahun menjelang pemilu, CWU mengancam menarik donasi rutin ke partai. Sebagaimana Unite, CWU pun memiliki peran signifikan dalam terpilihnya Corbyn di pucuk pimpinan Partai Buruh pada 2016.

Dukungan kepada Corbyn berarti serangan terbuka terhadap elit-elit Parbai Buruh. Namun bukan pertama kalinya serikat-serikat menyokong calon yang tak direstui partai. Pada 2000, Ken Livinstone, anggota Partai Buruh, maju sebagai calon independen dalam pemilihan walikota London dan menang akibat dukungan serikat. Pada waktu itu, partai menunjuk Frank Dobson yang tidak populer sebagai kandidat.

Selain kampanye mendukung Corbyn independensi gerakan buruh juga terlihat dalam isu-isu internasional. Unite, CWU, dan beberapa cabang GMB terlibat dalam Koalisi Stop the War, suatu gerakan yang bermula dari penentangan atas kebijakan Blair mendukung invasi ke Irak pada 2003. Unite berpartisipasi aktif dalam BDS (Boycott, Divestment, Sanction), sebuah kampanye global yang memperjuangkan pengakhiran pendudukan dan kolonisasi Israel terhadap Palestina. Adapun Unite, keluar dari tabu politik Partai Buruh dengan terang-terangan menyebut Israel sebagai negara apartheid.

Serikat Buruh yang Kritis pada Partai

Ketika publik London merasa puas dengan langkah-langkah Sadiq mengatasi krisis perumahan, apresiasi yang sama tidak dia dapatkan di ranah transportasi publik. Mengatasi krisis transporasi, Sadiq memperbanyak jumlah bus listrik. Kebijakan ini sejalan dengan komitmennya untuk mengurangi polusi di London, sekaligus lebih maju dari program Walikota Livingstone pada 2000 untuk mengoperasikan kembali bus tahun 1960an, yang emisinya besar dan membahayakan keselamatan pengemudi sepeda.

Pada Mei 2016, Khan bersumpah bahwa di bawah kepemimpinannya, tidak akan ada lagi pemogokan buruh kereta. Januari 2017, sumpah itu terbukti mentah. Pasalnya, akibat seorang buruh kereta dipecat, RMT, serikat buruh transporasi, melakukan aksi mogok selama 24 jam yang membuat London nyaris lumpuh total. Dibandingkan dengan CWU atau Unite, Keanggotaan RMT terbilang kecil (hanya 83.854 personil) namun militan, terorganisir, sangat independen, dengan daya tawar yang tinggi.

Ketika pimpinan RMT Bob Crow meninggal dunia pada 2014, mantan Walikota London Ken Livingstone berkomentar “Satu-satunya kelas pekerja yang masih bergaji tinggi di London adalah buruh-buruh serikatnya Crow”. Serikat Crow sempat mengisi faksi kiri Partai Buruh.

Pada 2004, RMT dikeluarkan dari Partai Buruh karena mendukung Partai Sosialis Scot, yang dalam banyak platformnya bertentangan dengan Partai Buruh. Misalnya, mendukung kemerdekaan Skotlandia, mengecam Perang Irak, serta menolak pemangkasan anggaran publik dan privatisasi di bawah Blair.

Independensi serikat, partisipasi aktif buruh dalam isu-isu yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan di tempat kerja pendek, perlawananan atas elit-elit partai, serta kritik-kritik terhadap kandidat yang mereka calonkan, pada akhirnya menjadikan serikat buruh pemain penting dalam demokrasi elektoral sebagai corong kepentingan publik, khususnya ketika para legislator dinilai gagal merepresentasikan konstituen mereka.

Lalu bagaimana dengan nasib Khan? Itu terserah buruh.

INFOGRAFIK HL Serikat Buruh inggris

Pelajaran untuk Indonesia

Gambaran ringkas di atas mencerminkan relasi antara serikat buruh dengan partai yang satu sama lain cenderung punya posisi tawar yang setara. Relasi berlangsung dengan perekat ideologi kaum buruh namun pengelolaan relasi itu dilakukan bukan dengan membangun patronase yang membuat serikat buruh tersubordinasi oleh partai.

Serikat buruh membangun kontak, bahkan membangun blok politik, dengan partai jelas tidak terhindarkan. Serikat buruh bahkan harus mampu mempengaruhi partai untuk meloloskan atau mendesakkan agenda-agenda buruh, juga kepentingan publik lainnya. Dan untuk itu, sampai taraf tertentu, membangun deal-deal politik dengan partai sebenarnya menjadi kebutuhan strategis.

Hanya saja, lagi-lagi berkaca dari kasus di London, menjadi penting agar serikat buruh tidak terikat dalam patronase dengan elit-elit partai. Hal itu akan menyulitkan serikat untuk bersikap kritis terhadap partai. Kesepakatan politik, termasuk dalam momentum elektoral, hendaknya tidak membuat serikat buruh tersubordinasi secara permanen, apalagi hingga terseret dalam agenda-agenda sempit nan sektarian.

Prof. Olle Tornquist, yang banyak meneliti gerakan sosial di Indonesia, termasuk riset tentang kejatuhan PKI, menilai serikat buruh di Indonesia banyak yang terjebak agenda-agenda elite politik yang menjadi patron petinggi serikat buruhnya.

"Alih-alih berusaha membentuk blok politik otonom yang menjangkau tuntutan meluas atas dasar perubahan hak ekonomi dan sosial serta kebijakan kesejahteraan di kalangan serikat pekerja, plus kelompok sejenis seperti kaum miskin kota, petani, dan kelas menengah lain yang bekerja dalam kondisi rentan, banyak serikat buruh terlibat dalam gerakan populis jangka pendek dari politik transaksional kaum elite lawas," kata Olle, penulis buku Dilemmas of Third World Communism: The destruction of PKI in Indonesia.

"Dari perspektif orang luar, beberapa serikat ini bertindak hampir serupa kelompok-kelompok yang menyokong politik nasionalis sayap kanan di Eropa dan Amerika Serikat," kritik Olle lagi (baca wawancara lengkap dengan Prof. Olle Tornquist: "Banyak Serikat Buruh Terlibat dalam Politik Transaksional").

Serikat-serikat buruh di Indonesia, lanjut Olle, kehilangan strategi jangka menengah dalam haluan dan pendirian mencapai politik demokratis yang transformatif. Kepentingan buruh, juga kepentingan publik yang lebih luas, termasuk kelompok-kelompok yang termarjinalkan, mesti menjadi isu utama dan selalu menjadi titik pijak serikat buruh dalam menyikapi dinamika politik negeri ini.

Baca juga artikel terkait SERIKAT BURUH atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Politik
Reporter: Windu Jusuf
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Fahri Salam