tirto.id - Siang itu di bawah terik matahari begitu menyengat di kawasan Glodok, Jakarta Barat, Maryono (42) menghampiri sebuah meja panjang di kedai teh bernama Pantjoran Tea House. Di atas meja itu, terdapat delapan teko berwana hijau berisi teh dan gelas kecil sekali pakai.
Teko itu terdapat gantungan berwarna merah dengan tulisan Mandarin berwarna kuning. Lalu di kanan kiri dinding terlihat lampu lampion menggantung bak menyambut hari Imlek.
Saat itu, sekitar pukul 13.00 WIB, Kamis (18/1/2023), Maryono disambut oleh Riski Via Saraswati (26) yang bertugas sebagai koordinator event and marketing Pantjoran Tea House. Kala itu Via mengenakan kemeja putih dengan celana bahan dan kerudung krem.
“Silakan pak tehnya. Gratis untuk diminum," sambut hangat Via kepada Maryono.
"Boleh mba saya coba," jawab Maryono sambil mesem.
Via menuangkan teh ke dalam gelas kecil, lalu memberikan kepada Maryono. Ia pun mencicipi. "Rasa tehnya enak, segar. Bisa nambah lagi?" ucapnya bertanya.
Pria yang berprofesi sebagai supir itu mengaku teh yang disajikan cukup membantu melepas dahaga dan menemaninya di kala menunggu bosnya tengah berbelanja kebutuhan Imlek di kawasan Glodok. "Jadi kalau saya nunggu di parkiran nggak bosen. Bisa ditemani minum teh," ujarnya.
Via menuturkan Pantjoran Tea House memang memiliki tradisi unik, yaitu memberikan teh secara gratis setiap harinya untuk siapa saja yang melintas di kedai tehnya tersebut. Tradisi itu diberi nama "Patekoan."
Pantjoran Tea House berlokasi di Jalan Pancoran Nomor 4, Pinangsia, Tamansari, Jakarta Barat. Letaknya tak jauh dari Pasar Glodok Jakarta dan Gapura Chinatown kawasan Pancoran.
Setelah itu, saya diajak oleh Via ke dalam kedai teh Pantjoran Tea House. Lampion bernuansa Imlek menghiasi setiap atap kedai tersebut. Suasana kedai juga seperti berada di sebuah Klenteng, tempat beribadah kepercayaan umat Tionghoa.
Saya naik ke lantai dua. Dipersilahkan untuk duduk. Disajikan teh hangat khas Pantjoran Tea House. Via mulai bercerita tentang awal mula tradisi Patekoan.
Sejarah Patekoan
Via menjelaskan tradisi Patekoan bermula ketika Kapitan keturunan China, Gan Djie bersama istrinya selalu meletakkan delapan teko teh di depan kantor pemerintahannya pada 1663. Kapitan merupakan kepala golongan penduduk China (pada zaman pemerintahan Belanda).
Delapan teko teh itu, Gan Djie jajakan untuk pedagang, warga yang berbelanja, hingga masyarakat yang kelelahan dan sekadar berteduh di kantor administrasinya tersebut.
“Kaya pedagang keliling juga, orang kelelahan, hawa panas pas siang hari jadi minum di tempat kapiten Gan Djie secara gratis. Karena, kan, pada era itu susah cari air minum. Apalagi buat kalangan menengah ke bawah," kata Via.
Tak hanya dari masyarakat kecil, kata Via, kala itu kalangan priyayi hingga orang Belanda juga ikut menikmatinya.
Delapan teko teh itu disajikan oleh si Kapitan dan sang istri setiap hari. Warga yang melintas kala itu secara silih berganti mencicipi teh yang telah dijajakan di atas meja. Mereka secara mandiri menuangkan teh ke dalam gelas untuk dinikmati secara gratis.
Namun, penyajian teh itu hanya bertahan sampai tiga tahun saja. Pada 1966, Kapitan Gan Djie tutup usia. "Setelah itu istirnya tidak melanjutkan lagi," imbuhnya.
Ia menuturkan kenapa tradisi itu diberi nama Patekoan. Kata "pat" dalam bahasa Mandarin artinya delapan, sementara "tekoan" itu berarti teko.
Tradisi Patekoan ini memiliki makna solidaritas, keberagaman antarmasyarakat, membangun nilai-nilai keharmonisan hingga toleransi. Kemudian angka 8 sendiri memiliki filosofi merupakan angka yang tak pernah putus.
"Makanya maknanya membawa keberuntungan yang tak pernah putus. Mau melanjutkan nilai-nilai toleransi itu sih, karena kan meaning full banget kan, bermakna banget. Jadi kan bisa semua orang bisa menikmati teh," terangnya.
Dilakukan Lagi 2015
Berabad-abad telah berlalu. Pantjoran Tea House coba kembali mengembalikan tradisi yang pernah dilakukan oleh Kapitan Gan Djie bersama istrinya itu.
Awalnya, bangunan yang digunakan sebagai kedai teh itu merupakan sebuah apotek bernama Apotheek Chunghwa pada 1920-an. Akhirnya seiring berjalannya waktu, tempat itu mereka sulap menjadi Pantjoran Tea House pada 2015.
Mereka menggelar meja berukuran dua meter tepat di depan kedai tehnya. Di atas meja terdapat delapan teko teh. Di antara teko tersebut terdapat tumpukan gelas kecil sekali pakai.
Selain Maryono yang berprofesi sebagai supir, Via mengatakan banyak masyarakat lain yang sering menikmati teh secara gratis di Petekoan. Seperti pedagang, juru parkir, ojek online, hingga masyarakat yang melintas di sekitar Glodok.
"Sekarang banyak juga dari tukang bangunan yang minum karena kan lagi ada proyek MRT [Moda Raya Terpadu]. Mereka kalau haus atau mau coba bisa minum teh," kata Via.
Saat ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memang tengah melakukan pembangunan fase 2A MRT Jakarta Bundaran HI—Kota. Proyek itu kini masih dalam proses pengerjaan.
Halaman Pantjoran Tea House juga kerap kali menjadi tempat berteduh masyarakat ketika datangnya hujan. "Jadi masyarakat juga bisa neduh sambil minum teh di sini," ucapnya.
Sesekali Petekoan di Pantjoran Tea House juga dijadikan tempat kunjungan wisatawan jika datang ke kawasan Kota Tua. Para tour guide atau pemandu mengajak para tamunya untuk menyicipi teh secara gratis di tempat itu sambil menjelaskan sejarahnya.
Tak hanya itu, lantaran memiliki keunikan tradisi Patekoan ini, membuat Content Creator asal Amerika Serikat, Zach King mengunjungi Pantjoran Tea House pada Oktober 2019. Zach juga mencoba teh yang disajikan dan mengaku menikmatinya.
"Jadi siapa saja bisa menikmatinya secara gratis, dari kalangan atas hingga bawah. Kalau kurang, bisa nambah," tuturnya.
Via mengatakan minuman yang dihidangkan merupakan teh hitam tanpa gula agar rasa dan aromanya lebih alami. Ia menjamin teko dan gelas yang digunakan steril.
Dalam sehari, Pantjoran Tea House menghabiskan 2-3 kotak teh untuk tradisi Patekoan ini. Tersedia 20-30 gelas yang tersusun. Bagi yang ingin menikmatinya, teh biasa dihidangkan pada Senin-Jumat pukul 08.00-18.00 WIB. Sedangkan Sabtu-Minggu mulai pukul 07.00-18.00 WIB.
"Setiap hari biasanya teh selalu habis. Biasanya sore. Tapi kalau habis tidak kami isi lagi," ujarnya.
Via menjelaskan alasan pemilik bernama Lesley dan keluarganya membuat kedai teh Pantjoran Tea House karena kecintaannya teh dan ingin melanjutkan tradisi dari Kapitan Gan Djie.
"Mereka tidak ada keturunan sama Kapitan Gan Djie. Tapi mereka ingin tetap meneruskan tradisinya," kata Via.
Bagi masyarakat Tionghoa, saat momen Imlek selain dirayakan dengan ibadah, juga menggelar tradisi minum teh bersama keluarga. Biasanya, tradisi ini dilaksanan usai sembahyang Imlek dari tempat ibadah.
Tradisi minum teh ini dilakukan dengan memberikan sulangan secangkir teh kepada orang tua, yaitu ayah dan ibu yang dilakukan oleh anak-anaknya. Hal ini sebagai simbol memohon maaf apabila ada kesalahan-kesalahan yang diperbuat.
“Ya, lebih bersama minum teh dan menikmati hidangan bersama keluarga," imbuhnya.
Saat perayaan Imlek, Via mengatakan Pantjoran Tea House membagikan selebaran berisi katalog voucher promo minum teh dengan potongan harga.
"Khususnya buat yang ingin coba masuk datang ke Pantjoran tapi masih ragu," imbuhnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz