Menuju konten utama
Bondan Andriyanu:

"Kalau Diperketat, Nanti Perusahaan Banyak yang Masuk Penjara"

Kalau aturan baku mutu emisi diperketat, nanti perusahaan banyak masuk penjara, kerugian ekonomi akan tinggi dan harus pasang filter.

Header Wansus Bondan. tirto.id/Tino

tirto.id - Polusi udara di Jakarta menjadi sorotan. Fenomena ini kian mencuat ketika Rusunawa Marunda, Jakarta Utara dicemari polusi udara dengan bentuk debu batu bara oleh PT Karya Cipta Nusantara (KCN).

Pemprov DKI pun menyatakan PT KCN terbukti bersalah, sehingga izin operasionalnya dicabut pada 17 Juni 2022. Meski PT KCN ditutup, tapi debu batu bara masih menghantui kawasan Marunda yang diduga berasal dari cerobong industri yang berada di sekitar.

Akibat hal tersebut, sebanyak 100 warga diduga terdampak berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan tertanggal 9 sampai 11 Januari 2023 oleh Puskesmas Cilincing, Jakarta Utara: di antaranya 63 orang gatal-gatal; tiga orang dengan keluhan sakit mata; dan dua orang campak.

Tak hanya itu, polusi udara di kawasan Marunda, juga semakin diperparah dengan adanya asap kenalpot dari kendaraan besar seperti kontainer, dump truk pengangkut pasir, hingga debu jalanan berbentuk pasir.

Sementara itu, Jakarta pernah mengalami kualitas udara terburuk sedunia versi IQAir saat peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) DKI ke-495. Pada 20 Juni 2022, tepat pukul 06.00 WIB, data situs pemantau udara IQAir melaporkan kadar polusi Jakarta mencapai 205 US AQI yang masuk ke level sangat tidak sehat (very unhealthy).

Dalam membahas masalah ini, reporter Tirto, Riyan Setiawan dan Reja Hidayat pada Sabtu, 14 Januari 2023 melakukan wawancara khusus dengan Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu selama satu jam setengah.

Bondan selama ini intens melakukan penelitian tentang polusi udara. Ia juga merupakan bagian dari Koalisi Ibu kota yang melakukan gugatan kepada Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengenai polusi udara di Jakarta.

Bagaimana Anda melihat kebijakan kualitas udara Pemprov DKI dalam 10 tahun terakhir?

Kalau 10 tahun terakhir, kualitas udara mengacu pada baku mutu udara ambien (BMUA) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No 41/1999. Pada 2017, Greenpeace melakukan kampanye dan mengkritisi aturan yang sudah usang. Akhirnya di 2022 baru diperbaharui di bawah omnibus law.

BMUA itu ada dua; rerata 24 jam dan tahunan. Untuk rerata 24 jam konsentrasi PM2.5 yang dulunya 65 µg/m3 menjadi 55 µg/m3, sedangkan yang tahunan tidak berubah 15 µg/m3. Baku mutu ini sebagai acuan udara Jakarta tercemar atau enggak.

Kalau kita lihat laporan Pemprov DKI pada 2021, BMUA masih di atas 15 µg/m3, artinya statusnya tercemar. Kalau ditarik 10 tahun terakhir, maka selalu di atas 15 µg/m3. Artinya, status udara Jakarta masih tercemar. Bagaimana kaitan dengan langkah-langkah pemerintah untuk mengatasi masalah ini?

Kualitas udara Jakarta itu naik turun. Namun, pada 2018-2019 rerata konsentrasi PM2.5 tertinggi. Ini disebabkan dengan musim kemarau yang panjang. Pada 2020, 2021, dan 2022 musim kemaraunya sedikit dibandingkan musim penghujan sehingga polutan tersapu. Penurunan angka tahunan itu bukan karena upaya pemerintah untuk mengontrol sumber polutan, tetapi karena faktor eksternal yaitu cuaca.

Dalam laporan Pemprov DKI Jakarta mengenai polusi udara tahunan, ketika hujan tinggi konsentrasi PM2.5 menurun. Yang saat ini terjadi, Desember-Januari angin lagi tinggi, hujan lumayan banyak, alhasil menyapu polutan sehingga tidak terbaca oleh alat ukur. Sumber polutannya masih ada? Masih.

Kenapa saya bilang tidak ada perubahan signifikan? Kita lihat saat masuk musim kemarau April, Mei Juni, itu PM2.5 tinggi sekali angkanya. Sekarang alat ukur sudah ada dari berbagai pihak; ada data KLHK [Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan] dan swasta seperti Nafas Indonesia. Kalau data swasta, kita bisa lihat arah angin dan kecepatan angin langsung. Biasanya kalau indikator hijau (bagus), anginnya lagi tinggi 10-20 km/jam. Kalau anginnya rendah dan tidak ada hujan PM2.5 tinggi sekali.

Ketika temperatur tinggi/panas, tapi enggak ada angin. Itu biasanya ada yang namanya secondary air pollutants. Secondary air pollutants dari mana? Polutan ini hasil reaksi kimia antara gas, SO2, ketika panas tertentu dia naik ke atas dan bereaksi menjadi PM2.5.

Jadi ketika enggak ada angin, itu polutannya dua; PM2.5 hasil pembakaran langsung kendaraan, bakar sampah dan industri. PM2.5 hasil reaksi kimia. Kalau isi bensin kayak ada fatamorgana, itu namanya VOC. Bayangkan jam 12 siang ada ratusan orang ngantre, lalu dibuka tutup bensin, itu zatnya naik ke atas, kemudian bereaksi menjadi PM2.5. Begitu juga ozon hasil dari gas tertentu juga.

Di Jakarta, Pemprov DKI dan KLHK sudah mengetahui polutan utama adalah debu, PM10, PM2.5 dan ozon. Hanya sedikit SO2. Dari mana sumbernya, tentu kendaraan, industri, pembangkit listri batu bara, pembakaran terbukan dan debu jalanan. Kalau bicara sumber kita bisa lihat, apakah pengambilan signifikan oleh Jakarta.

Apakah semakin berkurang enggak industri? Enggak juga. Kendaraan yang digadang-gadang ganjil-genap mengurangi polusi, laporan DKI Jakarta bilang disebutkan butuh riset lain untuk menyatakan mengurangi polutan. Termasuk uji emisi. Apa yang digadang car free day, ganjil genap untuk menurunkan polusi itu tidak ada data saintifiknya.

Terus lowemisizone di Kota Tua, cek laporan tahunan DKI Jakarta agak lucu karena diambil datanya hanya berapa bulan dan di musim hujan. Lalu mereka sebut low emisi zone berhasil menurunkan polusi, akan tetapi datanya tidak diambil secara tahunan, tetapi fluktuaktif. Ini tricky banget. Bahkan laporan Pemprov DKI Jakarta untuk menyatakan polusi udara tinggi atau rendah harus ada 43 alat pantau yang harus dipasang. Realitanya hanya 5 alat pantau kualitas udara, tentu saja angka tersebut sangat kecil.

Standar baku mutu udara provinsi maupun pusat melebihi WHO yakni 15 µg/m3 per hari. Tapi pemerintah tetap menganggap standar baku mutu mereka sudah bagus. Menurut Anda, apa yang membuat pemerintah tetap mempertahankan standar tersebut?

Saya ingat, dulu pas pertama kampanye polusi udara itu, head to head sama KLHK. Kami minta perketat baku mutu emisi PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap). Kalau baku mutu emisi bisa diperketat, maka baku mutu udara ambien juga bisa sehingga melindungi masyarakat. Kalau standar ketat, otomatis perusahaan harus mengikuti sehingga udara yang baik bagi kita dan masa depan anak. Ini jawaban mereka, ‘jangan Pak, nanti perusahaan bakal ngamuk-ngamuk.’

Kita pertanyakan kembali, niat pemerintah buat standar baku mutu udara ambien untuk apa? Kalau niatnya melindungi masyarakat serta memberikan masyarakat udara yang sehat, melindungi kelompok sensitif, harusnya pemerintah mengacu pada standar Badan Kesehatan Dunia (WHO). WHO sudah memperbaiki standar baru 2021, seharusnya pemerintah mengikuti standar tersebut.

Kalau melihat hasil gugatan warga, hakim jelas memerintahkan presiden menyusun baku mutu udara ambien untuk melindungi kelompok rentan. Artinya seharusnya BMUA 2022 itu harus direvisi lagi. Bicara kelompok rentan ini banyak; anak-anak, balita, ibu hamil, komorbid COVID-19. Kelompok rentan semakin banyak.

Kalau niatnya melindungi masyarakat, maka buat riset sendiri dan turunannya kepada menkes (menteri kesehatan). Yang buat riset penurunan kesehatan akibat polusi udara itu menteri kesehatan. Itu disebutkan dalam putusan hakim terkait gugatan polusi udara. Kemendagri dan KLHK juga disuruh monitoring penanganan polusi udara wilayah Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta.

Pemerintah harus melibatkan partisipasi warga terkait pengendalian polusi udara. Bukan sepihak membuat kebijakan seperti buat ERP untuk mengendalikan polusi. Kalau sekarang ini terbalik, buat kebijakan publik sendiri, tapi publik tidak tahu.

Rencana transportasi massal seperti KRL mau dinaikin, kendaraan pajak dipermudah, mobil listrik disubsidi. Bilangnya mau bikin enggak macet, mau kurangi polusi udara, tapi kebijakannya kontradiktif.

Bisa dibilang kebijakan standar baku mutu udara ambien kemarin ini kompromi dengan pelaku usaha?

Harus dicek lagi ke pemerintah dalam buat kebijakan seperti apa. Kalau kebijakannya mendudukkan semua stakeholder, artinya kita sudah melakukan perannya untuk meminta kepada pemerintah perketat baku mutu. Bisa jadi dengan perusahaan ada duduk bareng. Kami pernah satu panel dengan ESDM dan PLN, waktu itu tidak ada perusahaan PLTU.

Saat itu kita minta data baku mutu emisi PLTU. Dari PLTU sekarang berapa persen melebih baku mutu? dan berapa persen yang tidak melebihi baku mutu? Ternyata peraturan baku mutu PLTU 2019 itu dibuat dengan cara seolah-olah peraturan diperbarui, tapi tanpa harus perusahaan PLTU melakukan effort apa pun sehingga tidak ada yang melanggar. Datanya seperti itu. Dibuat aturan biar enggak melanggar.

Mereka bilang untuk apa diperketat, kalau diperketat masuk penjara semua PLTU. Dibuat aturan seolah-olah menyenangkan semua. PLTU ini digarap negara-negara besar; China, Korea [Selatan] dan Jepang. Tiga negara itu mendanai PLTU Indonesia. Ternyata dengan teknologi yang sama, Jepang investasi di Indonesia, tapi baku mutu di Jepang jauh lebih ketat. Double standar. Kalau teknologinya sama, kenapa baku mutunya tidak sama.

Knalpot kendaraan Jepang dan Indonesia, beda enggak? Kalau beda berarti di kita saja aturannya yang longgar. Persis kayak standar Euro 4, kita masih negara tertinggal menggunakan standar Euro 4. Kalau negara lain pakai standar itu, kita memakai standar yang sama. Jangan sampai kita dumping teknologi mereka. Di sana sudah enggak dipakai teknologinya, kita malah masih pakai. Bagaimana kita melindungi masa depan anak kita kalau aturannya masih longgar.

Kalau diperketat, nanti perusahaan banyak masuk penjara, kemudian kerugian ekonomi akan tinggi dan harus pasang filter. Padahal akibat polusi udara biaya ekonominya juga tinggi. Bahkan Pemprov DKI Jakarta sudah buat perhitungan estimasi biaya orang ke rumah sakit akibat polusi udara mencapai Rp50 triliun. Itu baru hitungan DKI Jakarta. Artinya kalau hitung biaya ekonomi kita mendingan investasi di awal lebih mahal atau masyarakat dibebankan dengan biaya ke rumah sakit. Jangan-jangan orang ke rumah sakit banyak pakai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Duit negara lagi, kan, habis.

Jakarta Utara, wilayah yang berdekatan dengan PLTGU Pluit, PLTGU Tanjung Priok dan manufaktur terbanyak kedua di Jakarta yakni 439 perusahaan. Seberapa besar dampak kesehatan bagi warga dengan lokasi industri yang berdekatan dengan pemukiman warga?

Jakarta mengklaim tidak punya PLTU batu bara ya, tapi justru data yang di-publish Pemprov DKI Jakarta ternyata ada sumber PM2.5 hasil pembakaran batu bara. PM2.5 ditemukan di beberapa titik, ada 14% dari pembangkit listrik batu bara. Artinya, ada polusi udara lintas batas yang tidak mengenal batas administrasi. Apalagi PM2.5 bisa traveling 300 km. Kalau bicara polusi udara kesampingkan dulu batas, kita lihat dulu arah angin, kecepatan angin dan kita dapat sumber pencemarnya.

Di Marunda ini, memang kasusnya mulai saling menyalahkan. PT KCN tutup ternyata masih ada polusi batu bara, bahkan perkumpulan tenaga kerjanya PT KCN melakukan demo. Kok perusahaan kita saja yang ditutup. Sementara polusi masih ada, kita sudah enggak kerja. Harus dipertanyakan DLH DKI Jakarta. Mereka bilang pada Oktober tidak hanya PT KCN, tapi pas ditanya hasil riset, yang punya kewenangan KLHK. DKI itu ada alat pantau di 5 titik dan bisa dilihat arah angin dari mana, sumbernya dari mana. Itu sebenarnya bisa dibuat.

Bicara dampak kesehatan, dalam jurnal 2002, saya lupa nama penelitiannya, disebutkan untuk menemukan dampak PM2.5, ozon enggak perlu tunggu 24 jam. Cukup 10 menit saja kita hirup PM2.5 dan ozon dengan level tidak sehat itu sudah ada tanda-tanda pembengkakan arteri. Itu satu.

Debu Batubara Marunda

Debu Batubara Kembali ke Marunda: 63 Gatal hingga 2 Sakit Campak. tirto.id/Riyan Setiawan

Kedua PM2.5 bisa masuk ke plasenta ibu hamil, itu berdasarkan riset di China. Bayangkan dengan polusi udara Jakarta, PM2.5 bisa masuk loh. Artinya bicara dampak, apalagi Marunda, itu sudah pasti masuk pernapasan, jantung dan paru-paru, tinggal pembuktian.

Kalau di Marunda, kita bisa melihat debunya dengan mata; debu besar, debu kecil 2,5 enggak bisa dilihat. Isinya apa di debu batu bara; silika, sulfur, almunium dan besi. Ketika masuk ke dalam tubuh pasti punya dampak berbeda di masing-masing tubuh tergantung orangnya. Kalau kuat, orang ini baru merasakan dampak kesehatan dalam waktu lama. Sedangkan kelompok sensitif langsung merasakan dampaknya seperti kulit gatal-gatal dan ganggu pernapasan. Jangka panjang bisa kanker paru-paru, stroke.

Beberapa sumber polusi Jakarta berasal dari cerobong asap, transportasi, kontainer. Berdasarkan penelitian Greenpeace, partikel apa aja yang ada di cerobong asap dari pembakaran batu bara dan dampak kesehatan bagi masyarakat sekitar?

Khusus cerobong batu bara, tergantung dia pasang control air pollution nggak? Ini fungsinya untuk filter debu-debu dan gas. Kalau enggak salah ada peraturannya untuk PLTU di atas 200 Mega Watt (MW) harus pasang control air pollution. Kalau mereka pasang, artinya debu dan gas yang dikeluarkan seminimal mungkin. Ini masalahanya hanya perusahan dan Tuhan yang tahu. Soalnya enggak ada data yang kita dapatkan.

Kalau dipasang filternya, ada perawatannya, dibersihkan ada treatmen khusus. Di bawah omibus law, debu hasil pembakaran itu bukan maba atau limbah B3-beracun. Tapi gak dianggap beracun padahal masih beracun.

Apa aja yang dikeluarkan; gas SO2, NO2 kemudian paling menarik mercury berupa gas. Kenapa menarik? Karena aturan standar baku mutu merkuri dalam cerobong PLTU itu baru diatur dalam baku mutu pada 2019.

Artinya, di bawah 2019 sampai 1980, sudah ada PLTU, bisa jadi kita hirup merkuri sebenarnya. Tapi enggak ada alat ukur dan tidak punya standar. Baru 2019 dibuat standarnya dalam Permen LHK No 15/ 2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal.

Baku mutu PLTU yang diatur memang tidak ada PM2.5, hanya mengatur debu besar, SO2, NO2 dan mercury, CO2. Kenapa baru 2019 dibuat standar baku mutunya? Artinya dulu kita bisa menghirup merkuri. Kemudian merkuri ini tidak ada alat ukur. Indonesia baru ada alat ukur PM2.5, enggak ada alat ukur ambien merkuri.

Sampai sekarang enggak ada yang bisa ukur validasi mengeluarkan merkuri. Apa dampak merkuri luar biasa, terutama kecerdasan ketika terhirup sama anak-anak. Merkuri itu sangat seram. Pertama alat ukur sangat jarang, jadi kita sulit validasi, kemudian untuk riset orang hirup merkuri harus diambil darahnya untuk validasi.

Yang jadi pertanyaan, kenapa baru 2019 aturannya, sementara PLTU Suralaya sudah ada sejak 1980. Bisa jadi kita hirup PLTU Suralaya. Ahli mengatakan radius 1 km belum terlalu kena dampaknya karena dia kena angin, dia satu saat akan jatuh tidak dekat, di atas 2 km baru terasa dampaknya.

Pada 2017 kita buat silent killer, Jakarta Ibu Kota yang dikelilingi batu bara terbanyak di dunia. Dalam radius 100 km, kita dikelilingi oleh PLTU dibandingkan dengan Ibu Kota negara lain. Kenapa 100 km, karena ini kaitannya dengan PM2.5.

Bila keluar dari cerobong, itu bisa sampai radius 100 KM. Kok bisa ada PM2.5 di Jakarta, bisa jadi PLTU Suralaya atau Babelan. Dominan angin Jawa ini, angin barat dan timur. Selain dari transportasi, ada polusi tambahan dari industri sekitarnya.

Asap cerobong yang dihasilkan dari pembakaran pabrik itu sama bahayanya nggak sih?

Sama, sederhanya dia akan mengeluarkan gas dan debu. Jadi kalau sudah mulai berbau, ini bisa jadi mengeluarkan sulfur, berbau belerang, mengeluarkan asap. Berarti CO2 tinggi, tergantung apa yang dibakar, kan, itu saya baru bilang untuk emisi PLTU batu bara, nah ada lagi emisi untuk industri, lihat Permen LHK Nomor 15/2019 itu sudah diatur semuanya.

Tapi pertanyaan, apakah itu sudah dibuka datanya? Jadi setiap industri, Jakarta katakanlah enggak punya industri, tapi kan ada pinggir-pinggiran Jakarta, cerobong, siapa yang nggak tahu kalau cerbong itu mengeluarkan apa dan datanya apa, kita kan enggak tahu. Makanya itu yang sedang kami pikir bersama Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) dan teman-teman lain agar itu menjadi data publik.

Kalau di China sana sudah bisa dibuka di sana, ada semacam aplikasi isinya sebaran industri, begitu diklik, industri itu terlihat mengeluarkan cemaran CO2 berapa dan standarnya berapa, berarti dia melebihi.

Tapi kan kalau kita enggak punya data itu, sekalipun ada websitenya KLHK mengumumkan data ini sudah terkoneksi atau belum ke jaringan Dinas LHK, tapi kita lihat belum, dia mengemisikan berapa CO2, harusnya itu menjadi data publik. Misalnya, di dekat rumah saya ada industri nih, terus saya bilang pabrik itu mencemari saya, tapi kita enggak punya kan bukti datanya, yang punya hanya industri tersebut dan KLHK. Jadi kita harus akses dulu data tersebut, jadi bukan informasi publik, harusnya ketika ada industri, harusnya ada monitor besar lah industri itu mengeluarkan emisi berapa. Sekalipun datanya sudah online di situ dikasih kipas dengan alatnya bersih, akal-akalan lagi industri itu sebenarnya.

Bukan hanya di daerah penyangga. Sebenarnya di Marunda saja banyak daerah industri yang pakai cerobong asap. Katanya ada 20 cerobong di situ. Gimana tanggapannya?

Nah, pertanyaannya itu legal apa ilegal [cerobong industrinya]. Kalau legal, kita minta keterbukaan informasi publiknya, harusnya dikasih kita minta datanya a, b, c, d, kita minta datanya, sesuaikah sama baku mutu. Kalau enggak salah, kan, dia wajib mendata tiga bulan sekali.

Kalau merkuri itu, kan, harus pakai alat khusus. Kalau Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) apa bisa dipakai buat mengukur merkuri?

Enggak ada, SPKU enggak ada mengukur merkuri, dia hanya mengukur PM10, PM2.5, makanya saya bilang sangat sulit memvalidasi merkuri. KLHK pun nggak punya ahli yang mengukur merkuri. Yang ahli itu ada Bu Yuyun Isnawati [peneliti merkuri], kebetulan dia lagi riset itu tentang debu merkuri itu, diambil darahnya itu masyarakat di daerah. Harus diambil darahnya itu ada mercuri-nya kah di darahnya. Sangat ngeri, kan, daerah kita ternyata ada.

Kalau terkait dengan PT KCN ini, kan, karena debunya variatif, dari yang paling besar sampai kecil. Kalau debu itu, kan, dampaknya dari fisik kita mata sampai kulit, makanya jangan heran kalau ada warga yang matanya sampai buta, nah itu karena debu. Kalau debu, kan, yang bahaya kristalin-nya, dia tajam-tajam, ketika nempel di lapisan kulit kita apalagi halus, kita langsung gatal-gatal, yang paling bahaya itu mata, retina kita bisa buta kena debu itu.

Kampung Rusunawa Marunda

Kampung Rusunawa Marunda dan Marunda Pulo. (tirto.id/Riyan Setiawan)

Kalau PT KCN, kan, debunya besar, kalau dari industri cerobong, kan, lebih halus. Itu lebih bahaya kah?

Lebih bahaya, itu kan ada yang namanya ultra vellfire, itu di bawah PM2.5, sangat kecil itu, berarti kan bisa lebih jauh lagi. Bisa jadi PLTU-nya di Suralaya, bisa sampai ke mana, enggak tahu. Belum ada standarnya lagi kita ngukur, kita kan standar ngukurnya PM2.5, kalau di Eropa itu sudah 0,1 mikron, jadi mengukur ultra fiber partikular, sangat sensitif dia. Jadi bayangkan dampak terhadap tubuh kita.

Itu, kan, dampak terhadap manusia, kalau terhadap lingkungan gimana kalau dari cerobong asap?

Kalau dia debu-debu kecil, kalau sedikit nggak akan kelihatan. Tapi kalau lama-lama numpuk dia akan menjadi tumpukan debu dan besar kan, itu akan menutup tumbuhan dan dia akan menutup daun-daun kapiler-kapilernya, dampaknya pasti akan ada. Kemudian terutama ke makhluk hidup ya, kalau ke bangunan dia kotor-kotor, tapi mungkin kalau dia nanti debunya kasar bisa jadi mobil terkena jadi lecet perlahan, ini kan debu saja.

Kalau ke tumbuhan bisa jadi mati gitu?

Kalau tidak ada hujan dan bertumpuk terus dan daunnya ketutup, ya kaya kita hidungnya tertutup saja sih gimana, enggak napas. Karena dia kan harus mengeluarkan oksigen dan menghirup CO2, kalo nutupin kulit tumbuhannya kan gitu. Kayak kasus PLTU Buleleng Bali, itu kan paling dekat dengan pohon kelapa masyarakat. Pas terkena debu PLTU mereka langsung terdampak kok kelapanya, produktivitasnya berkurang.

Kalau terhadap penangkaran ikan seperti empang yang menjadi habitat ikan?

Nah, ini menarik, kalau debu, kan, ke udara terbang nempel di pohon, daun, sampai suatu saat dia akan menumpuk ke bawah, terbawa hujan, itu partikel debu yang arsenik yang sama, merkuri yang sama, jadi kalau di dalam itu ada merkuri, ikan terkontaminasi, jadi ikan yang kita makan ada merkuri. Tapi itu butuh riset lagi. Tapi yang punya keahlian meriset itu sangat sedikit dan butuh waktu lama. Akan ada dampaknya, siapapun yang mengkonsumsi pasti terdampak.

Bisa mati juga biota laut?

Ikan itu kan mati karena kekurangan oksigen atau badan ikan sudah mengandung zat beracun. Nah, kalau ikan makan debu itu yang mengandung arsenik, merkuri, jadi ikan bisa saja terdampak. Sama seperti warga Marunda, kan enggak langsung mati, tapi enggak nyaman. Jadi nanti bisa dibandingin ikan yang ditaruh di empang Marunda dengan yang tak kena polusi.

Air yang dikonsumsi masyarakat juga bisa tercemar dengan adanya debu?

Kalau air tanah bisa saja sudah terfilter sama tanah. Kalau debu batu baranya itu karena dia ada limbah fly ash dan bottom ash (FABA) nya batu bara yang sudah dibakar bisa jadi dia masuk ke dalam air tanah dan kita minum bisa saja, karena debu batu bara itu kan lumayan besar debunya, memang paling besar kelihatan di permukaan, tapi dia bisa masuk ke dalam dan bisa terjadi itu.

Saya dapat data pengecekan baku mutu dari LH DKI beberapa industri termasuk di Marunda, tapi anehnya laporan mereka itu dalam catatannya mayoritas upnormal. Tapi narasinya meski itu upnormal, mereka mengaku sudah memenuhi baku mutu. Nah, ini Pemprov DKI serius enggak sih mengawasi ini? Kan ada juga yang enggak pakai batu bara, tapi temuan ini juga ada. Gimana pengawasan industri ini?

Kalau enggak salah, ada yang namanya CEMS (continuous emission monitoring system). Nah, ini harus kita lihat data CEMS-nya, bukan dilihat dari laporannya saja, kita harus lihat data CEMS dia di puncak jam berapa, saya menarik justru dengan data itu, ada datanya kah? Kalau ada berburuk sangka dia ambil pas sudah dibersihkan tuh cerobong, kan jadi pas diteliti bagus, harusnya bisa dilaporkan terus ke CEMS.

CEMS itu ada datanya di KLHK. Kita harus buka tuh data dari situ, kalau tentang itu, ya kita harus buka data CEMS nya itu, bisa nggak sih diakses publik, itu datanya itu bisa per bulan, bisa kita tahu berapa sih per bulan. Bahkan kalau continuous per detik, menit, jam. Di jam ini berapa dia keluarin CO2, SO2-nya. Data CEMS itu yang kita kejar.

Sampai sekarang belum dibuka?

Enggak ada, belum dibuka datanya. Pernah dibilang ada di KLHK. Tapi pas kita masuk ke lokasi server-nya, "Ini loh data CEMS di sini." Saya bilang oke. Mana datanya? "Enggak ada." Bisa enggak sih kita klik perusahaan A, dia ngeluarin apa, tapi saat itu, kan harusnya bysystem harus bisa dong.

Datanya real time berarti ya?

Harusnya real time, namanya CEMS. Nah, sejauh mana perubahan itu mengaplikasikan itu dan sejauh mana realiable, itu yang harus dilanjutkan. Kalau mas bisa akses data CEMS dari KLHK terkait itu, menarik juga. Jadi harus kita buka datanya. Ada apa saja sih di situ. Kalau enggak data CEMS berarti dia melanggar UU. Nah UU Omnibus Law yang baru itu mewajibkan industri menyetorkan data ke KLHK lewat CEMS.

Terkait merkuri tadi sebenarnya kita sudah ada belum sih untuk mengukur itu?

Sebenarnya kalau alat untuk ukur itu, kalau ceritanya itu ada, tapi enggak ada yang bisa pakai.

Terus ngapain itu alat ada, tapi enggak berfungsi?

Waktu itu dia punya proyek untuk mengukur merkuri, setelah beli alatnya, dikira akan ada banyak data, pas dilihat kok alatnya masih pada posisi yang sama, katanya "enggak ada yang bisa pakai.” Akhirnya dipinjam lagi sama Bu Yuyun untuk bikin riset. Emang belum ada resource-nya di KLHK yang bisa ukur itu.

Berarti walaupun sudah ada peraturannya, gimana itu?

Iya, itu kan regulasinya dibebankan ke perusahaan, untuk emisi PLTU batu bara, jadi emisi PLTU-nya yang memasang alat untuk mengukur merkuri, nanti KLHK tinggal bagian datanya, gitu, kan regulasinya di situ.

Jadi cerobong itu nanti banyak yang tersensor di situ. Ngukur Co2, SO2, mercuri, itu harusnya setelah control air pollution, di bawahnya itu baru ada filter dan merkuri-nya, setelah itu baru ada lagi mercuri yang terlarut ke air atau tanah, jadi ada mercuri apa gitu, itu bisa masuk ke dalam tumbuhan dan tubuh kita.

Makanya kita sayangkan di dalam Omnibus Law yang baru ini, FABA dikeluarkan pada limbah B3. Padahal sebenarnya di dalam itu ada merkuri, malah dikeluarkan dari limbah B3, dicampur ke semen, aspal, bahkan ada juga jadi pupuk, ditanam singkong, padahal singkongnya enggak subur-subur banget dipakai itu.

Kalau itu dibebankan ke perusahaan, ada enggak sih perusahaan yang menerapkan itu?

Yang saya bilang tadi, air polution-nya saja hanya PLTU dan Tuhan saja yang tahu, dia pasang atau tidak. Apalagi merkuri, dia pasang atau tidak, yang harus cek kan orang KLHK.

Apa langkah jangka pendek atau jangka panjang yang harus dilakukan dalam mengatasi polusi udara ini?

Jangka pendeknya sebenarnya melaksanakan perintah hakim yang digugat warga negara itu. Itu detail banget sih, mengontrol polutan sumber bergerak dan tidak bergerak, kemudian kasih sanksi bagi pelanggarnya, dan libatkan masyarakat dalam partisipasi publik untuk mengendalikan pencemaran udara, dan buat baku mutu yang ketat. Sebenarnya Jakarta lebih bisa menerapkan baku mutu yang tetap dibanding nasional, bisa banget, bukan lebih longgar.

Katakan tadi di nasional PM 2.5 nya 55, Jakarta bisa banget jadi 40, lebih ketat boleh banget, lebih longgar enggak boleh. Kalau lebih ketat seharusnya turunannya lebih ketat dong, industrinya, kendaraan juga lebih ketat.

Kalau standarnya diperketat, lebih enak. Terakhir, kan, Jakarta punya master plan untuk pengendalian pencemaran udara tuh, dan di dalam master plan itu sampai 2030 akan menurunkan baku mutu ambien ke 2.5 sekitar 30 persen, artinya bisa dijamin sampai 2030 kita akan menghirup udara yang tercemar, kita masih belum, ya paling 30persen berapa sih, kalau turun 30% paling jadi 25 ya.

Artinya kan jauh banget dari 15, jadi targetnya masih jauh. Jadi bisa saya pastikan dengan planningDKIofficial ya, yang sudah di-planning kita masih menghirup udara yang tercemar di Jakarta dengan planning yang ada. Karena planning-nya yang official seperti itu karena pemerintah sudah seperti itu.

Baca juga artikel terkait PENCEMARAN UDARA atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan & Reja Hidayat

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan & Reja Hidayat
Penulis: Riyan Setiawan & Reja Hidayat
Editor: Abdul Aziz