tirto.id - Persidangan kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat memasuki babak akhir. Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada 16 Januari 2023, membacakan tuntutan terhadap terdakwa Kuat Ma'ruf dan Ricky Rizal. Masing-masing terdakwa dituntut 8 tahun bui.
Jaksa juga membacakan fakta persidangan yang mendasari tuntutan kedua terdakwa tersebut. Contohnya, jaksa menyebut Ricky dan Kuat mengetahui rencana pembunuhan Yousa yang dirancang oleh Ferdy Sambo, jenderal polisi bintang dua yang kala itu menjabat sebagai Kadiv Propam Polri.
“Bahwa benar untuk segera merampas nyawa korban Nofriansyah Yosua Hutabarat, maka saksi Putri Candrawathi turun ke lantai satu dan mengajak saksi Ricky Rizal Wibowo, kemudian juga mengajak Kuat Ma’ruf yang sudah mengetahui akan dirampasnya nyawa Nofriansyah Yosua Hutabarat, untuk pergi ke rumah Duren Tiga (nomor) 46 melakukan isoman,” ujar jaksa.
Informasi untuk menjalankan isolasi mandiri guna mengantisipasi COVID-19 biasanya dilaporkan oleh korban. Hal ini disimpulkan berdasar keterangan saksi Susi, Ricky, dan Kuat. Jaksa juga menyimpulkan peristiwa di Magelang adalah perselingkuhan antara Yosua dan Putri, bukan pemerkosaan seperti yang disebut kubu Sambo dan Putri.
Hal tersebut disimpulkan merujuk keterangan Putri, Kuat, dan ahli Poligraf, Aji Febrianto. Penuntut umum juga menyebut bahwa setelah Kuat mengetahui peristiwa tersebut, Kuat mengejar Yosua sembari membawa pisau dapur.
Dalam kasus ini, Kuat dan Ricky didakwa dengan Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Pertimbangan Tuntutan Jaksa
Jaksa menimbang hal yang memberatkan Kuat, yakni perbuatan dia mengakibatkan hilangnya nyawa Yosua dan duka mendalam bagi keluarga korban. Selain itu, Kuat juga berbelit-belit dalam memberikan keterangan, tidak mengakui dan tidak menyesali perbuatannya, perbuatan Kuat menimbulkan keresahan dan kegaduhan masyarakat.
Jaksa menduga Kuat mengetahui perselingkuhan Putri dan Yosua, maka Kuat meminta Putri agar melapor ke Sambo setelah peristiwa 7 Juli 2022 di Magelang. Kuat meminta istri bosnya itu mengadu “agar tidak ada duri dalam rumah tangga.” Hal inilah yang memicu nyawa Yosua melayang.
Kemudian, ketika di kediaman dinas Sambo di Duren Tiga, Kuat menutup-menutup pintu rumah. Jaksa menilai ini upaya mendukung rencana pembunuhan Yosua dan tindakan itu mencegah agar Yosua tak kabur saat rangkaian eksekusi. Tugas menutup pintu rumah biasanya dilakukan oleh Diryanto alias Kodir, si asisten rumah tangga.
Sedangkan hal yang meringankan, Kuat tidak memiliki motivasi pribadi dan hanya mengikuti kehendak jahat dari pelaku lainnya, belum pernah dihukum, dan berlaku sopan selama persidangan berlangsung.
Bagaimana dengan Ricky? Jaksa menilai hal yang memberatkan yaitu mengakibatkan hilangnya nyawa Yosua dan duka mendalam bagi keluarga korban, berbelit-belit dalam memberikan keterangan di persidangan dan tidak sepantasnya melakukan perbuatan seperti itu karena ia seorang penegak hukum.
Sedangkan untuk hal meringankan, jaksa menilai Ricky masih berusia muda dan ada harapan untuk memperbaiki perilakunya dan Ricky sebagai tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah.
Tepatkah Terdakwa Dituntut 8 Tahun Saja?
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho berpendapat, seharusnya jaksa bisa membedakan peran Kuat dan Ricky, sedangkan masalah 8 tahun hanyalah relativitas.
“Karena teori penyertaan itu hal objektif yang disubjektifkan. Jika si Kuat (dituntut) 8 tahun, maka si Ricky (bisa) 10 tahun karena dia sebagai penegak hukum,” kata dia kepada reporter Tirto, Selasa, 17 Januari 2023.
Sebagai polisi, kata dia, semestinya Ricky bisa mencegah rencana pembunuhan tersebut, tapi tak pernah ia lakukan. Sementara Kuat berstatus sebagai sopir, bukan anggota Korps Bhayangkara.
“Ini yang bagi pihak turut serta tidak ada perbedaan, tapi dipukul rata. Jaksa melihat peran (keduanya) sama,” sambung Hibnu.
Nantinya hakim yang akan memutuskan akan memvonis lebih tinggi atau lebih rendah. “Artinya hakim memutuskan tidak boleh melebihi ancaman dalam undang-undang. Misalnya sampai 20 tahun (kurungan) untuk turut serta, tapi ini hanya 8 tahun,” kata Hibnu.
Bahkan pertimbangan lain dalam sidang pembelaan bisa menjadi pengubah pikiran hakim, bisa saja mereka dihukum lebih rendah daripada tuntutan.
Sementara itu, Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra menilai, tuntutan 8 tahun terhadap Ricky jelas keliru dan mencederai rasa keadilan masyarakat, tak sensitif pada nilai keresahan yang jadi landasan publik, dan seolah memperuncing permasalahan.
“Tentu tuntutan ini dapat menjadi kontroversial karena jaksa tidak menerapkan ancaman pidana maksimal, padahal surat dakwaan yang disusun berupa pasal pembunuhan berencana, bisa dijadikan dasar dalam surat tuntutan,” ucap Azmi kepada Tirto.
Selain itu, kata Azmi, jaksa abai dalam menganalisis latar belakang keikutsertaan perbuatan Ricky, yang jelas tahu dan berkontribusi perihal insiden. Apalagi Ricky berstatus sebagai penegak hukum yang semestinya dapat lebih maksimal mencegah pembunuhan.
“Ini delik serius dan pelaku ikut melaksanakan niat dan perbuatan bersama, serta menunggu waktu yang tepat untuk membunuh korban,” terang Azmi.
Selanjutnya, kata dia, jelas tindakan Ricky dan Kuat merupakan hal-hal yang memberatkan dan keadaannya yang berbelit belit sejak awal ikut manipulatif, bahkan saat sidang. Hal ini semua kembali pada hakim yang merupakan perwujudan harapan masyarakat guna menegakkan hukum dan keadilan.
“Karena hakim dalam menjatuhkan putusan tidak terikat dengan tuntutan jaksa. Sebab putusan hakim yang berkualitas akan mengacu pada proses pembuktian, surat dakwaan, pertimbangan hukum dan keyakinan hakim, serta diterima dengan akal sehat serta guna menjaga muruah peradilan,” kata Azmi.
Dakwaan Pembunuhan Berencana, tapi Tuntutannya Ringan
Pasal 340 KUHP berbunyi, "Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun."
“Ini sebenarnya berbeda atau jauh dari ketentuan Pasal 340, yang benar bisa mengecewakan masyarakat dan keluarga korban. Sangat sulit sekali publik mengharapkan hakim akan memutus di luar tuntutan jaksa, karena itu jarang terjadi,” tutur peneliti bidang hukum The Indonesian Institute, Hemi Lavour Febrinandez, kepada Tirto.
Padahal dalam KUHAP tak ada ketentuan hakim harus memutus sesuai atau haram lebih dari tuntutan jaksa. Namun hakim bisa mengeluarkan ultra petita (penjatuhan putusan oleh hakim yang melebihi tuntutan atau dakwaan yang diajukan oleh jaksa atau menjatuhkan putusan terhadap perkara yang tidak diminta oleh jaksa), tapi ultra petita sangat jarang terjadi kecuali hakim memiliki pertimbangan lain.
Hemi berpendapat maksimal 8 tahun penjara bagi pelaku pembunuhan berencana itu agak sulit diterima akal sehat. Dasar bagi hakim untuk melakukan ultra petita, intinya tidak boleh melebihi ancaman pasal yang didakwakan; sementara Pasal 340 KUHP telah memberikan ancaman maksimal, walaupun hukuman mati tak bagus bagi perlindungan HAM di Indonesia.
“Tapi ada alternatif lain yakni hukuman maksimal 20 tahun atau seumur hidup. Itu yang dapat dipertimbangkan hakim dalam memberikan vonis akhir dengan melakukan ultra petita,” kata Hemi.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz