tirto.id - Bagi warga Desa Mekarsari, Kecamatan Patrol, Kabupaten Indramayu, kegagalan panen terus menerus dan punahnya pohon kelapa di desa mereka sudah cukup menjadi bukti bahwa kehadiran PLTU batu bara yang jaraknya hanya beberapa kilometer dari permukiman itu cuma membawa mudarat.
Rodi, salah seorang warga dan ketua dari Jaringan Tanpa Asap Batu Bara Indramayu (Jatayu), menceritakan bagaimana kala itu warga hanya menjadi penonton ketika proyek PLTU masuk ke desa mereka. Semua terjadi pada 2007.
"Awalnya, enggak ada penolakan dari warga, karena tidak ada cerita sosialisasi dari PLN. Nggak cerita juga ini akan dibangun PLTU 1," ucapnya.
Mega proyek itu pun telah berdiri pada tahun 2010. Setelah melalui masa percobaan, akhirnya pada tahun 2012, mimpi buruk warga dimulai ketika PLTU I Indramayu beroperasi secara penuh.
Pada 2015 warga mulai merasakan produksi pertanian mereka menurun. Awalnya warga menduga hal itu terjadi karena hama. Tetapi jika karena hama sekalipun, dampaknya tidak terlalu besar.
Dahulu sejumlah Desa yang berada di sekitar PLTU I ditumbuhi ratusan pohon kelapa lantaran daerahnya berada di pesisir pantai. Berdasarkan pantauan Tirto, Rabu (17/8), pohon kelapa sama sekali tidak ada yang tumbuh.
Setelah lahan pertanian, nelayan yang sehari-hari menangkap ikan dan menambak udang rebon di dekat pantai juga terdampak lantaran air laut juga ikut tercemar. Lokasi PLTU I memang terletak di pinggir pantai. Terlihat juga tongkang batu bara yang berjejer di tengah laut.
"Dulu nelayan cuma butuh 10 liter solar saja buat melaut. Setelah tercemar, akhirnya mereka pergi agak jauh ke tengah laut dan menghabiskan sekitar 25 liter," terangnya.
Rencana PLTU II & Konsolidasi Warga
Belum kelar dengan PLTU I, mimpi buruk lainnya datang ketika pemerintah berencana membangun PLTU II berkapasitas 1x1000 MW yang lokasinya hanya berjarak beberapa kilometer dari PLTU I. Skema ekspansi ini direncanakan oleh pemerintah pusat untuk mengejar kebutuhan 35.000 GW untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarakat Jawa hingga Bali.
Lahan pertanian warga yang berdiri di atas tanah PLN pun mulai diratakan untuk dibangun PLTU II.
Akhirnya pada Oktober 2015 warga dari Desa Mekarsari membentuk Jatayu yang beranggotakan ratusan warga, untuk bersolidaritas menolak pembangunannya PLTU II. Namun kini tinggal tersisa 145 anggota.
Sebagai gerakan awal, pada tahun 2016 Jatayu menggelar aksi unjuk rasa ke Kantor Bupati dan DPRD Indramayu. Pada tahun yang sama, mereka juga berdemonstrasi di Istana Negara selama tiga hari untuk menolak keberadaan PLTU II.
Selama melakukan aksi, Jatayu melakukan audiensi dengan Sekretariat Negara dan Kantor Staf Presiden (KSP). Awalnya Setneg menyampaikan jika tanah PLTU II dibangun untuk kepentingan negara.
"Warga bilang kepentingan negara bukan hanya PLTU saja, tapi warga negara yang perlu dilindungi dari pencemaran lingkungan," kata Rodi.
Sementara KSP mendapatkan laporan bahwa tanah di lahan yang akan digunakan sebagai PLTU II itu sudah tandus, sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk pertanian dan difungsikan untuk membangun proyek pembangkit listrik.
Jatayu sontak membantahnya. Mereka menunjukan bahwa tanah di lokasi tersebut produktif. "Akhirnya kami bisa mengelola lagi menjadi pertanian," tuturnya.
Perjuangan Jatayu untuk menolak kehadiran PLTU II bukan hanya sampai di situ. Perwakilan Jatayu didampingi oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) juga sampai terbang ke Jepang untuk bertemu dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) sebagai investor PLTU II agar proyek tersebut dihentikan.
Selanjutnya pada tahun 2017, Jatayu mengajukan pertemuan dengan PLN untuk membahas rencana pembangunan PLTU II. Namun saat itu diwakili melalui Polsek Patrol. Beberapa pertemuan tersebut pun sayangnya tidak membuahkan hasil.
Selanjutnya Jatayu melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung mengenai izin analisis dampak lingkungan (AMDAL) PLTU II. Alhasil, Majelis Hakim PTUN Bandung pada 6 Desember 2017 telah memutuskan mencabut Surat Keputusan Izin Lingkungan PLTU II.
Perjuangan Terus Bergulir
Seiring berjalannya waktu, gugatan warga di PTUN Bandung masih berlanjut. Setelah kalah di PTUN, kata Rodi, PLN mengajukan banding ke Mahkamah Agung (MA).
"Kami tidak menyaksikan, tiba-tiba setahun [kemudian mendengar] bahwa gugatan warga ditolak MA, banding PLN menang," kata Rodi.
Meski telah kalah, perjuangan Jatayu terus berlanjut. Pada tahun 2019, Rodi bersama tiga anggota Jatayu didampingi WALHI kembali terbang ke Jepang untuk kedua kalinya. Mereka kembali mendesak JICA untuk menghentikan pembiayaan.
Saat itu JICA menjelaskan jika Jepang dan pemerintah Indonesia belum memiliki kesepakatan apa pun. Hanya PLN yang meminta modal secara terburu-buru.
Memasuki tahun 2020, gerakan Jatayu cukup terhalang dengan adanya COVID-19 yang menyerang Indonesia. Meski begitu, Jatayu tetap bergerak secara daring dan melakukan pertemuan dengan JICA dan pihak lainnya melalui Zoom.
Jatayu juga sempat melayangkan surat audiensi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kemudian Jatayu melakukan aksi di Kedutaan Besar Jepang di Jakarta pada Oktober 2020 untuk mendesak JICA agar membatalkan kerjasama pembangunan PLTU II.
Selama berdirinya PLTU I, Rodi menjelaskan warga tak hanya berdampak di sektor pertanian dan nelayan, tetapi juga kesehatan.
Rodi menuturkan sekitar 10 warga Desa Mekarsari yang menderita Inspeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) hingga terdapat matanya yang mengalami iritasi akibat asap PLTU sehingga harus dioperasi selama lima kali.
Sementara berdasarkan investigasi Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Barat, sebanyak 20 anak dan beberapa lansia menderita ISPA di Desa Tegal Taman, Kecamatan Sukra, Indramayu.
Meski pemerintah Jepang akan menyetop investasi, Rodi menyatakan bahwa batal atau tidaknya pembangunan PLTU II berada di pihak pemerintah Indonesia.
Oleh karena itu, Jatayu akan terus menyuarakan keberatan serta menyampaikan penolakan jika pemerintah Indonesia akan membangun PLTU II di Indramayu.
"Kami tidak bisa membayangkan jika di kampung kami ada lagi PLTU II, yang utama mata pencaharian kami akan hilang dan kondisi lingkungan akan semakin buruk," tegasnya.
Rodi menilai rencana ekspansi pembangunan PLTU di Indramayu sudah bukan lagi kebutuhan yang mendesak.
"Hal mendesak saat ini adalah menyelesaikan masalah kerusakan lingkungan dan melakukan upaya mitigasi serta adaptasi terhadap perubahan iklim yang mulai terjadi di Indonesia," tegasnya.
Sementara itu manajer advokasi dan kampanye WALHI Jawa Barat, Wahyudi selaku pendamping warga menyampaikan bahwa rencana pembangunan PLTU II ini telah berulang kali mengalami penundaan dan meleset dari target yang telah ditentukan.
"Artinya tanah, air, udara dan Yang Maha Esa tidak menghendaki rencana perluasan pembangunan energi kotor tersebut," kata Wahyudi.
Menurutnya, pembangunan PLTU dengan bahan bakar batu bara ini akan mengubah bentang pesisir dan wilayah pertanian warga. Jika hal itu terjadi, dampak yang dirasakan warga tidak hanya kerusakan lingkungan di laut maupun darat, tetapi juga akan pada hilangnya mata pencaharian warga yang menjadi nelayan dan petani.
"Belum lagi pencemaran asap dari cerobong PLTU akan menimbulkan gangguan kesehatan bagi warga yang tinggal sekitar PLTU," tuturnya.
Dirinya menjelaskan, mengacu pada komitmen Jokowi di Perjanjian Paris (Paris agreement) yang berkomitmen untuk menurunkan Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 25%, hal ini tidak bisa diwujudkan jika PLTU yang berbahan bakar batu bara terus dibangun.
Ancaman dari pemanasan global yang berujung pada perubahan iklim akan semakin terasa, khususnya di Indonesia.
"Maka dari itu kami mendesak pemerintah segera keluarkan pernyataan resmi batalnya pembangunan PLTU II Indramayu kepada publik sehingga masyarakat mendapat kejelasan secara resmi," pungkasnya.
Terkait keluhan warga di atas, redaksi Tirto sudah menghubungi PT PLN sebagai penanggung jawab proyek PLTU Indramayu. Kami diarahkan untuk menulis daftar pertanyaan lewat pesan WhatsApp. Namun hingga artikel ini rilis, pertanyaan tertulis yang disampaikan belum juga direspons.
Jepang Akhirnya Menyetop Pembiayaan
Pada Juli tahun ini, kabar menggembirakan sampai ke telinga warga yang tergabung di Jatayu. Pemerintah Jepang akhirnya memutuskan untuk menyetop pembiayaan PLTU Indramayu II. Mundurnya Jepang dari proyek ini karena negara tersebut tak lagi ingin mendukung aktivitas yang berhubungan dengan batu bara seiring percepatan transisi energi.
Keputusan tersebut diumumkan pertama kali oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Jepang Hikariko Ono dalam sebuah konferensi pers Juni lalu. Tak hanya di Indonesia, Jepang juga menghentikan pembiayaan untuk proyek serupa di Bangladesh.
"Kami memutuskan bahwa kami tidak dapat melanjutkan lebih jauh dengan proyek-proyek ini sebagai subjek pinjaman yen," kata Hikariko Ono dikutip dari Nikkei Asia, Kamis (30/6).
Menanggapi hal tersebut, Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Wanhar, mengatakan proyek PLTU Indramayu sejauh ini memang masih dalam tahap rencana pembangunan.
Sejak tahun lalu pun proyek ini sudah tidak masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Apalagi saat ini sistem kelistrikan di Jawa Madura Bali (Jamali) cenderung kelebihan kapasitas.
Indonesia Dikepung PLTU dan Mangkraknya Puluhan Proyek
Redaksi Tirto berkolaborasi dengan Trend Asia, organisasi masyarakat yang fokus pada penelitian dan advokasi di ranah lingkungan dan energi, untuk memetakan jumlah keseluruhan unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) se-Indonesia dan mengklasifikasikannya berdasar status kondisi. Dari data per Mei 2021, setidaknya kami menemukan ada 620 unit PLTU di seluruh Indonesia.
Ratusan PLTU itu terbagi menjadi tiga kepemilikan: PLTU milik perusahaan pelat merah PLN—yang listriknya untuk publik, PLTU milik perusahaan swasta—sebagian listriknya untuk publik, sebagian lagi dijual ke PLN, dan PLTU milik perusahaan industrial—yang listriknya hanya untuk mereka sendiri.
Dari angka itu, unit PLTU yang beroperasi hanya 285—tak sampai setengahnya. Sisanya: 102 unit dibatalkan, 86 unit dalam tahap konstruksi, 40 unit dalam tahap perizinan, 28 unit berganti energi, 26 unit dalam tahap pemberitahuan—penyampaian rencana ke publik namun belum membangun apapun—hingga 26 unit ditunda.
Sisanya lagi, ada 9 unit proyek lama yang tak jelas nasibnya. Ada juga 6 unit dalam tahap Power Purchase Agreement (PPA), yang artinya proyek belum dibangun namun sudah bikin perjanjian pembelian listrik oleh PLN. Biasanya berlaku untuk PLTU milik perusahaan swasta. Ada juga 4 unit dalam tahap pendanaan, artinya masih mencari pemodal.
Sisanya yang lain, ada 3 unit yang statusnya berhenti. Semuanya adalah PLTU milik perusahaan industrial yang energinya sangat kecil: totalnya hanya 52 megawatt. Ada juga 3 unit yang statusnya disesuaikan, atau proyeknya masih ditahan untuk sementara waktu oleh PLN. Dalam industri ketenagalistrikkan, lazimnya disebut “diparkir”. Sedangkan 2 unit terakhir telah digabung dengan energi lainnya.
Tahun lalu, Pemerintah memang sempat mewacanakan untuk moratorium pembangunan PLTU baru. Namun, wacana tersebut tak dibarengi dengan langkah konkret hingga hari ini. “Tidak ada regulasi atau aturan teknis lanjutan yang mengatur secara formal terkait dengan hal tersebut hingga saat ini,” kata Manajer Riset dan Program Trend Asia, Andri Prasetiyo, kepada Tirto (21/8).
Tak hanya di situ, Andri juga menyoroti Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN terakhir yang berlangsung pada Oktober tahun lalu. Negara mengklaim bahwa RUPTL tersebut “lebih hijau” karena mencoret sejumlah rencana pembangunan PLTU.
“Namun, faktanya sekitar 4 gigawatt pencoretan ini kemudian digantikan oleh sumber energi fosil lain yang secara emisi juga begitu besar, yaitu pembangkit listrik gas,” kata Andri.
Andri juga menyoroti bagaimana Omnibus Law UU Cipta Kerja yang disahkan pada Oktober 2020 lalu ikut menutup akses publik terhadap proyek-proyek PLTU di Indonesia. Kewenangan yang tersentralisasi ke Pemerintah pusat menjadi faktor sulitnya publik memastikan proyek-proyek PLTU berjalan transparan dan akuntabel.
“Paling baru, salah satu pembangkit listrik dengan kapasitas 2 gigawatt di kompleks PLTU Suralaya, Banten—salah satu proyek PLTU baru yang paling besar dalam pipeline global saat ini—tetap dipaksakan dibangun walau dengan ketiadaan izin yang jelas,” kata Andri.
Data jumlah total unit PLTU se-Indonesia tersebut sebagian di antaranya merupakan PLTU yang terlambat dipensiunkan. Padahal, rata-rata usia komersial sebuah PLTU hanya berumur 25-30 tahun. Beberapa di antaranya seperti: PLTU Suralaya 1-4, PLTU Ombilin, PLTU Bukit Asam, termasuk juga PLTU Paiton.
“Secara historis, Pemerintah belum pernah memiliki catatan untuk tepat waktu menjalankan operasi PLTU batubara selama kurun waktu tersebut,” tambah Andri.
Editor: Adi Renaldi