tirto.id - Dian Ambarwati, gadis asal Ngawi yang berusia dua puluh tahun, datang ke Surabaya untuk memulai lembaran baru dalam hidupnya.
Dua bulan setelah kepindahannya, ia ditemukan mati di bawah tanaman kol banda di suatu tempat yang sepi oleh seorang gelandang.
Siapakah yang menyudahi hidupnya?
Bekas pacarnya yang di Ngawi, yang ditinggalkannya setelah ramai bertengkar selama dua hari?
Ataukah kekasihnya yang baru, yang berusia sepuluh tahun lebih tua dan sudah bertunangan dengan gadis lain?
Mungkinkah juga ia dibunuh oleh tunangan kekasihnya yang pernah bersumpah akan mematahkan batang lehernya?
Kapten Polisi Kosasih dan sahabatnya Gozali dibuat bingung karena satu pers satu orang yang mereka curigai ternyata mempunyai alibi yang kuat.
Siapakah yang menghendaki kematian Dian Ambarwati?
Benarkah kematiannya hanyalah kasus penodongan biasa?
Benarkah Dian Ambarwati adalah gadis yang polos dan suci seperti yang disangka semua orang, ataukah dia mempunyai latar belakang yang lebih rumit daripada yang diduga?
Petikan plot teka-teki kematian itu menjadi jembatan yang memperkenalkan S. Mara Gd dengan pembacanya. Pada permulaan 1985 novel lacaknya yang pertama, Misteri Dian yang Padam, terbit. Novel detektif itu jadi barang baru di antara menjamurnya novel-novel romantis kala itu dan karenanya mendapat sambutan positif. Novel tersebut kemudian diikuti sederetan karya-karya fiksi pelacakan berlatar Kota Surabaya. Novel S. Mara Gd khas dengan judul yang selalu diawali kata “Misteri”.
Namanya kemudian melambung sebagai penulis fiksi detektif terproduktif selama dekade 1980-an hingga 1990-an. Harian Kompas (29/7/1988) menulis, “Dalam waktu tiga tahun saja sejak 1985, wanita pengarang ini telah menghasilkan suatu serial novel sebanyak 13 judul.”
Tak mengherankan, pada 2013, ketika novel-novel detektif terbaiknya diterbitkan ulang, penerbitnya menyematkan predikat “Penulis Thriller No #1 di Indonesia” di sampulnya.
Novel-novel S. Mara Gd menjadikan genre fiksi detektif Indonesia kembali jadi bacaan populer. Namun, tak banyak penulis yang menekuninya secara khusus meski sejak mulanya fiksi detektif selalu memiliki pembaca setia.
Tumbuh Lagi Usai Perang
Fiksi detektif masuk ke Indonesia sekitar awal abad ke-20. Para penerjemah Sino-Melayu lah yang berjasa memperkenalkan detektif Sherlock Holmes kepada khalayak pembaca Indonesia. Genre ini populer pada dekade 1920-an dan pada 1930-an serial-serial detektif asli Indonesia merajai pasaran bacaan di Hindia Belanda.
Semasa pendudukan Jepang dan revolusi kemerdekaan, penerbitan fiksi detektif, juga roman populer umumnya, mati suri. Penerbitan fiksi detektif mulai menggeliat lagi pada 1950-an. Kala itu, fiksi detektif menjadi tema selingan yang menarik minat pembaca selain tema percintaan dan perjuangan.
Pada awal 1950-an muncul nama Aryono Grandy. Kisah detektif Naga Mas-nya yang amat terkenal terbit di majalah Terang Bulan sejak Agustus 1952. Kompas (19/9/1991) menulis, “Sejak kemunculan pertamanya, kisah detektif yang sehari-hari memakai nama Dragono dengan profesi wartawan majalah Kriminologi tadi, segera saja digemari oleh masyarakat luas. Selanjutnya serial Naga Mas berturut-turut muncul sampai 13 jilid sebagai buku saku.”
Lalu muncullah nama Suparto Brata pada awal 1960-an. Istimewanya, dia menulis dalam bahasa Jawa. Pada 1961, melalui majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat, Suparto Brata pertama kali menerbitkan cerita detektif berjudul Tanpa Tlatjak.
Cerbung detektif dengan tokoh utama detektif Handaka itu mendapat sambutan yang baik dari pembaca. Detektif Handaka kemudian menjadi trademark Suparto Brata. Serial-serial petualangannya kemudian rutin mengisi majalah Panjebar Semangat dan Jayabaya.
Suparto Brata mendapatkan ide menulis cerita detektif dari kegemarannya membaca Agatha Christie, Georges Simenon, atau Erle Stanley Garner. Bacaan-bacaan itu didapat dari pasar loak dan dilahapnya sebelum memulai menulis fiksi berbahasa Jawa.
“Buku-buku rombeng itu ditinggalkan oleh orang-orang Belanda yang terusir dari Indonesia tahun 1956-1958. Terus terang, sejak penulisan Tanpa Tlatjak, terbit di Panjebar Semangat tahun 1961, pikiran saya untuk menulis cerita panjang cenderung meniru kisah-kisah detektif Penguin Books yang telah terukir di hati saya,” tulis Suparto Brata ketika menjawab pertanyaan pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI Dr. Apsanti Djokosujatno di situs pribadinya.
Kembali ke Masa Jaya
Dekade 1980-an adalah masa puncak ketenaran cerita detektif karya penulis Indonesia. S. Mara Gd adalah nama yang selalu disebut jika menyangkut fiksi detektif pada masa itu. Dia tenar berkat petualangan-petualangan Kapten Polisi Kosasih dan sekondannya, Gozali.
Beberapa nama lain yang cukup dikenal adalah Hino Mingo dengan Six Balax-nya, Arswendo Atmowiloto dengan karakter detektif cilik Imung, dan V. Lestari. Tetapi tak bisa dipungkiri, S. Mara Gd lah yang paling konsisten dan terkenal di antara mereka.
“Penulis lain bukannya tidak ada, tetapi hanya menghasilkan satu-dua karya fiksi detektif saja. Berbeda dengan S. Mara Gd yang terus menulis cerita detektif,” tutur Ibnu Wahyudi, dosen pengampu mata kuliah Sastra Populer di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, ketika saya temui pada Desember 2017.
Serupa Suparto Brata, S. Mara Gd awalnya adalah pembaca dan pengagum Agatha Christie. Lebih dari itu, S. Mara Gd juga menjadi penerjemah karya-karya Agatha Christie sejak 1984. Bahkan, kemudian pengaruh Agatha Christie sangat kentara dalam novel-novelnya.
“Kekagumannya kepada Agatha Christie itu tercermin benar dalam gaya ceritanya. Alur cerita disusun secara kronologis, sehingga pembaca bisa mengikuti secara cermat perkembangan kejadian dari waktu ke waktu. Tokoh-tokoh cerita pun diperkenalkan dulu di bagian awal, sehingga pembaca sudah mempunyai gambaran terlebih dahulu terhadap para tokoh cerita. Ini semua pola yang digunakan Agatha Christie,” tulis Kompas (13/12/1987).
Namun, S. Mara Gd tak mentah-mentah meniru idolanya. Kekhasan Agatha Christie adalah pada caranya memperlihatkan kemampuan deduksi sang detektif. Sementara S. Mara Gd lebih menitik pada plot-plot tak terduga dan motif kelam yang mendorong tokohnya melakukan tindak kejahatan keji.
Penulis lain yang hampir mendekati produktivitas S. Mara Gd adalah sang veteran Aryono Grandy. Sejak pertama kali menerbitkan kisah detektif pada 1952, serial detektif Naga Mas masih tayang sebagai kisah bersambung di beberapa media hingga 1980-an.
Ketika majalah Terang Bulan berhenti terbit sekitar 1982, Naga Mas pindah terbit dalam Harian Bhirawa dan Suara Indonesia di Surabaya (1982). Cerita Naga Mas juga muncul di harian Pikiran Rakyat Bandung (1982-1984), Majalah Liberty Surabaya (1984) serta majalah Detektif & Romantika Jakarta (1987).
“Tidak setiap tokoh bisa tetap digemari selama 39 tahun. Banyak rekan sezaman Naga Mas sekarang ini sudah lama mengundurkan diri. Kalau tidak akibat penciptanya meninggal dunia, mungkin juga karena mereka malahan sudah kehabisan bahan petualangan. Bisa kita tengok bagaimana dengan nasib Pacar Mas, Garuda Putih, Gagak Hitam, Elang Emas dan juga Gagak Lodra,” tulis Kompas (19/9/1991).
Kendati dekade 1980-an itu novel detektif laris manis di pasaran, nyatanya tak banyak penulis yang tertarik untuk menekuninya sebagai spesialisasi. Selepas S. Mara Gd dan Aryono Grandy, nisbi sedikit penulis yang mengikuti jejak mereka atau berhasil menerbitkan novel detektif yang jadi populer. Pamor fiksi detektif Indonesia pun meredup menjelang pergantian milenium ketiga.
Selalu Punya Pembaca
Fiksi detektif yang terbit pada 1980-an tumbuh bersama dengan genre novel pop pada umumnya. Pembaca terbesarnya adalah kalangan kelas menengah yang kala itu juga baru tumbuh di kota-kota besar. Pertumbuhan pembaca itu tidak bisa dilepaskan dari pengaruh majalah gaya hidup seperti Femina, Kartini, dan semacamnya. Jadi, segmentasi khusus pembacanya adalah wanita atau ibu-ibu kelas menengah yang mapan.
“Di rumah ada pembantu, suami bekerja dengan penghasilan cukup baik. Lalu para wanita yang rata-rata berpendidikan itu hanya di rumah. Lalu apa yang diperlukannya? Yang diperlukannya adalah hiburan, salah satunya melalui bacaan,” tutur Ibnu Wahyudi.
Di antara novel-novel populer bertema percintaan dan kehidupan keluarga, novel detektif menjadi karya pembeda. Seperti diakui S. Mara Gd sendiri, ia tidak ingin sekadar menulis cerita yang sudah banyak ditulis orang. Menulis novel detektif juga menjadi caranya untuk menggaet pembaca yang lebih luas daripada novel-novel romansa biasa.
“Dengan menyuguhkan tulisan yang bersifat suspense, saya berharap bisa menyediakan bacaan ringan bagi kaum pria yang mendekati selera mereka, sambil mengajak wanita pembaca untuk menyenangi juga pemikiran yang bersifat kritis rasional,” ungkap penulis asal Surabaya itu, dikutip Kompas (29/7/1988).
Meskipun kini seakan tenggelam dan sedikit penulis yang menekuninya, novel detektif lawas tidak pernah kehilangan penggemar. Tidak kalah dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang dihargai mahal, seri-seri novel detektif second hand juga ramai diburu. Di bursa buku lawas Blok M Square, misalnya, hampir setiap lapak memajang novel detektif karya penulis lokal maupun internasional.
Dewi, salah seorang penjual buku di basement Blok M Square, mengaku selalu ada saja pelanggannya yang mencari novel-novel S. Mara Gd. Penjualannya pun terbilang laris. Setiap datang kiriman dari pengepul buku bekas, ia biasa menyisihkan novel-novel pengarang Surabaya itu untuk pelanggan yang sudah memesannya.
“Kami selalu rutin nyetok sebenarnya, tapi selalu habis karena memang banyak juga yang mencari. Seperti pelanggan saya dari Palembang yang selalu menanyakan apakah sudah ada stok judul yang belum dia punya. Kalau ada dia pasti minta dikirim,” ujar Dewi di kiosnya, yang saya kunjungi pada Desember 2017.
Tak jarang ketika ada pelanggan yang datang langsung ke lapaknya, ia harus meminta maaf karena stok bukunya habis.
Imel, juga pedagang buku di Blok M Square, mengatakan bahwa penggemar-penggemar cerita detektif lawas yang datang padanya umumnya berumur paruh baya. “Kalau S. Mara Gd yang nyari orang-orang tua, kalau yang muda-muda enggak ngerti itu siapa. Atau kalau ada yang tahu biasanya mahasiswa untuk skripsi,” kata Imel.
Meskipun biasa dikategorikan sebagai bacaan pop dan sering dianggap bukan sastra, toh harga jual novel-novel detektif itu tidak kalah tinggi. Itu karena umumnya para pemburu novel detektif adalah kolektor.
“Kalau terbitan baru bisa saya kasih harga murah, tapi kalu yang second asli bisa saya jual lebih dari Rp100.000. Apalagi kalau judulnya langka,” lanjut Imel.
Kini, novel detektif Indonesia memang agak sulit meraih kejayaan seperti pada dekade 1980-an silam. Tetapi, sebagaimana pembacanya yang tetap ada, beberapa penulis juga mulai berkarya dalam genre ini.
“Sepuluh tahun belakangan saya dapati beberapa novel detektif karya penulis kita. Memang tidak seterkenal tahun 1980-an, tetapi tetap ada,” kata Ibnu Wahyudi seraya menyunggingkan senyum.
Editor: Ivan Aulia Ahsan