Menuju konten utama
2 Januari 2006

212 adalah Bastian Tito dan Wiro Sableng, Bukan yang Lain

Memanah bulan. 
Si tua gila lenggang 
ke pucuk awan.

212 adalah Bastian Tito dan Wiro Sableng, Bukan yang Lain
Ilustrasi Bastian Tito. tirto.id/Gery

tirto.id - "Segala apa yang ada di dunia ini selalu terdiri atas dua bagian. Dua bagian yang berlainan satu sama lain tapi yang menjadi pasangan-pasangannya. Misalnya, ada laki-laki, ada perempuan. Bukankah itu dua bagian yang berlainan tapi merupakan pasangan? Misal lain: ada langit ada bumi. Ada lautan, ada daratan. Ada api, ada air. Ada panas, ada dingin. Ada hidup, ada mati. Ada miskin, ada kaya. Ada buta, ada melek [...] Semuanya selalu begitu. Kemudian: ada susah, ada senang. Ada tertawa, ada menangis. Di atas semua itu ada satu yang tertinggi. Yang satu ini ialah penciptanya."

Petuah panjang itu bukan datang dari Kierkegaard, Sartre, atau Nietzsche, melainkan dari Bastian Tito. Bagi para penggemar cerita silat Wiro Sableng, petuah itu tentu tak asing. Itu adalah momen saat Sinto Gendeng, seorang pendekar sakti mandraguna, akan menurunkan Kapak Naga Geni 212 pada sang murid, Wiro Saksana. Kisah itu menjadi awal pengembaraan Wiro Sableng, karakter legendaris ciptaan Bastian.

Jika Marvel dan DC punya universe-nya sendiri, begitu pula Wiro Sableng. Dalam pengembaraannya, pembaca bisa bertemu dengan berbagai macam karakter dan jurus. Semisal Dewa Tuak, Datuk Rao Basaluang Ameh, Kakek Segala Tahu, Tua Gila, Bujang Gila Tapak Sakti, hingga Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga.

Pengembaraan Wiro juga tak hanya di tanah Javadwipa, tapi juga ke Andalas, Tiongkok, bahkan sampai ke Jepang. Dari perjalanan panjangnya, pembaca bisa menemukan berbagai pukulan dan jurus sakti mandraguna. Mulai Kunyuk Melempar Buah, Pukulan Sinar Matahari, Benteng Topan Melanda Samudra, hingga jurus Membuka Jendela Memanah Rembulan.

Bastian lahir pada 23 Agustus 1945. Di berbagai forum penggemar Wiro Sableng, Bastian disebut mulai menulis sejak kelas 3 SD. Ia mulai menerbitkan karya-karyanya menjadi buku pada 1964. Tiga tahun kemudian, cerita silat (cersil) Wiro Sableng lahir.

Baca juga:Usaha Menyilatkan Dunia dan Menduniakan Silat

Buku pertama Wiro Sableng berjudul "Empat Brewok dari Goa Sanggreng". Di jilid pertama ini, pembaca diajak mengetahui asal-usul Wiro, bagaimana ia diselamatkan oleh Sinto Gendeng, bagaimana pendekar perempuan yang telah lama menghilang itu mendidik Wiro untuk menjadi pendekar sakti, dan apa makna angka 212 yang dirajah di dada dan telapak tangannya itu.

Baca juga: Jangan Kaitkan Saya dengan Demo 212

Dalam cersil Wiro Sableng, Bastian menampilkan banyak nilai filosofis. Termasuk pemahaman tentang keesaan dan pencarian jati diri seorang pendekar. Wiro sendiri ditampilkan tak sempurna amat. Ia bukan tipikal pendekar yang benar-benar "lurus". Sesuai namanya, Wiro banyak cengengesan. Terkadang emosional. Lain dari itu, Wiro juga punya banyak kisah indehoi dengan perempuan yang ditemui di pengembaraannya. Meski begitu, Wiro hanya mengungkapkan cinta pada dua orang perempuan saja.

Cersil Wiro Sableng disukai banyak pembacanya. Ia hadir di seantero kios buku. Tersebar dari pasar hingga toko kaset. Satu jilid cersil ini biasanya terdiri dari 90 hingga 100-an halaman. Tipis, karenanya bisa dibanderol murah meriah. Hal ini turut membantu penyebaran cersil Wiro Sableng. Produktivitas Bastian juga teruji. Cersil Wiro Sableng terdiri dari 185 jilid.

Saat ia meninggal pada 2 Januari 2006, tepat hari ini dua belas tahun lampau, kisah Wiro Sableng diteruskan oleh penulis bernama Mike Simons hingga jadi sepanjang 191 jilid. Hingga sekarang, cersil Wiro Sableng tercatat sebagai serial silat terlama dan terpanjang di Indonesia.

Baca juga: Mencari Bahan Cerita Terbaik

Lahir dari Tangan Penulis Berbakat

Dalam dunia sastra Indonesia, cersil Wiro Sableng menempati posisi yang menarik. Ia bukan tipikal karya sastra yang banyak dikaji secara akademik, bahkan mungkin dianggap remeh—sama seperti dunia Barat memposisikan buku-buku paperback. Tapi tak ada yang bisa menyangkal bahwa cersil Wiro Sableng punya banyak penggemar. Jangkauan distribusi yang luas juga turut membantu popularitas cersil ini. Maka tak heran kalau para penulis di buku Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan (2009) memasukkan Wiro Sableng ke dalam daftar itu.

Sebagai seorang penulis, Bastian tidak hanya mengandalkan imajinasi. Ia memakai cara kerja wartawan: riset dan merekam. Bastian tak segan datang ke sebuah tempat untuk riset latar belakang cersilnya. Tak heran jika penggambarannya terasa akurat. Ia sedikit berbeda dengan, katakanlah, Karl May yang tak pernah menginjakkan kaki di Amerika era Wild West saat menulis kisah petualangan Old Shatterhand dan Winnetou.

Meski memakai pendekatan riset, itu tak lantas mengurangi kadar imajinasi Bastian sebagai penulis. Contoh paling mudah: tengok saja nama jurus atau nama karakter. Dari sana, pembaca tahu bahwa imajinasi Bastian nyaris tak terbatas. Ia tahu bagaimana menggambarkan sebuah jurus sehingga bisa membuat pembaca turut membayangkan.

infografik mozaik wiro sableng

Yang juga patut diacungi jempol adalah bagaimana cara Bastian mempopulerkan satuan ukuran tak lazim untuk menggambarkan jarak maupun waktu. Untuk memerikan jarak, panjang, tinggi, atau lebar, Bastian biasa memakai ukuran tombak. Misal seperti yang dideskripsikan dalam jilid "Dendam Orang-Orang Sakti":

Dalam jarak dua tombak, dengan satu sentakan keras maka kuda Tapak Luwing melompat ke muka. Dua anak buahnya menyusul. Tiga golok berkelebat di bawah cahaya redup bulan sabit. Lima golok menyambutinya!

Untuk menunjukkan satuan waktu, Bastian sering memakai ukuran sepenanakan nasi atau sepeminuman teh. Di berbagai cersilnya, tersebar durasi yang digambarkan dalam metafora itu. Misalkan seperti yang ia pakai di "Hidung Belang Berkipas Sakti":

Berlari selama kira-kira sepenanakan nasi sampailah keempat orang itu ke tempat yang dituju yaitu Teluk Segara Anakan. Suasana tampak tenang. Ombak bergulung-gulung dari tengah lautan menuju pantai dan memecah teratur di pasir, di antara batu-batu karang yang banyak bertebaran di sana-sini.

Sepanjang karier Bastian, ia tak hanya menulis Wiro Sableng. Berbagai forum penggemar menyebut ia pernah menulis Kupu-kupu Giok Ngarai Sianok yang berlatar Minangkabau—yang juga pernah dipakai sebagai bagian dari Wiro Sableng. Lalu ada pula Boma Si Pendekar Cilik. Tapi tak ada yang bisa mengalahkan kepopuleran Wiro Sableng.

Tampil di Layar Lebar dan Layar Kaca

Saking populernya Wiro Sableng, karakter ini diangkat ke layar lebar dan layar kaca. Tercatat tiga orang aktor pernah memerankan Wiro. Yakni Tony Hidayat, Herning "Ken Ken" Sukendro, dan Abhie Cancer. Dari tiga pemeran itu, Ken Ken yang dianggap paling ikonik. Sinetron Wiro Sableng yang ditayangkan sejak 1995 turut membantu mendorong popularitasnya ke generasi anak-anak dan remaja era 1990-an.

Bahkan akhir tahun 2017, jagat Twitter diramaikan oleh tagar #SiapSableng dan #WiroSableng2018. Ini adalah euforia yang disebabkan cuplikan film Wiro Sableng yang diproduksi LifeLike Pictures dan 20th Century Fox. Film ini rencananya akan ditayangkan pada 2018. Seolah takdir, pemeran Wiro adalah Vino G. Bastian, yang merupakan anak dari Bastian Tito.

Kehadiran Wiro Sableng di layar lebar 2018 kelak, jelas merupakan bukti bahwa karakter pendekar hobi cengar-cengir itu bisa menjembatani jurang generasi. Wiro Sableng adalah gambaran bahwa karya Bastian membawa nilai universal yang akan terus relevan hingga sepenanakan nasi jadi bubur. Karena itu, ia patut kita kenang sebagai salah satu penulis paling berpengaruh di Indonesia.

Baca juga artikel terkait WIRO SABLENG atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Humaniora
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Ivan Aulia Ahsan