Menuju konten utama

Mencari Bahan Cerita Terbaik

Benarkah tinju mengilhami cerita-cerita terbaik? Pemeriksaan atas hal itu rupanya sebuah urusan yang punya banyak cabang. Tapi, tentu saja, bekerja setengah-setengah ialah perbuatan tercela.

Mencari Bahan Cerita Terbaik
Ilustrasi tinju [foto/shutterstock]

tirto.id - Berapa banyak alasan yang diperlukan seorang pemalas agar berminat kepada sebuah cabang olahraga? Ada kalanya sebuah kalimat pendek sudah cukup: “Saya baru membaca buku itu [Million Dollar Baby karya FX Toole] dan saya pikir, bukan untuk kali pertama, tinju lebih sering mengilhami atau menjadi latar tulisan-tulisan terbaik ketimbang olahraga lainnya,” tulis Marcel Berlins di Guardian.

Menurut Berlins ada sejumlah alasan di balik hubungan istimewa antara tinju dan seni penulisan: tinju adalah pertarungan satu lawan satu, badan melawan badan, sonder embel-embel bola, raket, atau tongkat pemukul; saling hantam dan rasa sakit adalah keharusan, bukan penyimpangan; para petinju hanya dapat mengandalkan diri masing-masing dalam pertandingan, sebab tak ada rekan dan jiwa korsa yang mungkin jadi juru selamat andai dia keliru mengambil keputusan atau digilas nasib buruk; dan cerita-cerita boksen lazimnya tidak diakhiri dengan “ia berbahagia untuk selamanya.”

Joyce Carol Oates menulis dalam On Boxing: “Tinju adalah urusan purba sebagaimana kelahiran, kematian, dan cinta erotis, dan ia memantik pengakuan samar dari kita bahwasanya pengalaman-pengalaman paling mendalam dalam hidup adalah pengalaman-pengalaman fisik—meski kita beranggapan, dan memang, pada dasarnya kita adalah makhluk spiritual.”

Berlins menyebut beberapa nama penulis, baik dari kategori fiksi (Jack London, Leonard Gardner, O. Henry) maupun nonfiksi (Joyce Carol Oates, Norman Mailer, A.J. Liebling), yang menurut dia berhasil mengolah kisah-kisah tinju atau boksen menjadi tulisan-tulisan luar biasa.

Saya pernah membaca sebuah cerita pendek O. Henry tentang seorang petinju yang mencarikan buah aprikot untuk istrinya yang hamil muda. Ia berkeliling di malam buta dan terlibat sejumlah kesulitan, termasuk adu jotos, sebelum akhirnya mendapat buah tersebut. Namun, sesampainya dia di rumah, ternyata si istri sudah ganti mengidamkan buah lain lagi. Kisah itu bagus dan menghibur, tetapi tidak luar biasa.

Lalu saya teringat The Sun Also Rises. Dalam novel terbaik yang ditulis pada masa terbaik bagi kesusastraan oleh pengarang terbaik sepanjang masa itu, ada seorang karakter dengan latar belakang boksen, yaitu Robert Cohn, seorang juara tinju amatir middleweight di kampus Princeton. Dia adalah salah satu karakter yang paling penting dan menarik dalam kisah muda-mudi yang bertukar tangkap dengan lepas di Perancis dan Spanyol tersebut.

Cohn berkelahi dua kali sepanjang cerita—melawan Jake Barnes sang protagonis dan seorang pemuda keriting yang sukses menggaet perempuan yang ia cintai—dan selalu menang dengan gampang. Namun, setelah tiap-tiap perkelahian dia justru menangis tersebab rasa bersalah. Menurut Neil Heims dalam Critical Insights: Ernest Hemingway (Eugene Goodheart, ed.), Cohn sebenarnya bertinju untuk mengatasi rasa rendah diri dan malu karena mendapat “perlakuan untuk Yahudi” dari orang-orang di sekelilingnya, tapi tak pernah berhasil. Keunggulan fisik yang dia punyai malah berbalik jadi sumber penderitaan bagi hatinya yang polos dan membikin sakit mindernya jadi tambah mengenaskan. Cohn yang perkasa namun cengeng adalah oposisi biner Jake Barnes yang impoten tetapi tangguh dan senantiasa menahan perasaannya di bawah permukaan.

“Tulisanku bukan apa-apa. Boksenku adalah segalanya,” ujar Hemingway kepada Josephine Herbst dalam sebuah wawancara. Situs The Art of Manliness menyatakan bahwa pemenang Nobel sastra 1954 itu berlatih tinju sejak kecil dan pernah jaya sebagai petinju amatir. Pengarang asal Kanada sekaligus sahabat Hemingway, Morley Callaghan, menulis dalam memoarnya, That Summer in Paris: “Perbedaan kami ialah dia memakai waktu dan khayalannya untuk boksen, sedangkan saya benar-benar pernah bertanding melawan petinju-petinju yang gesit dan terampil semasa kuliah.” Tidak jelas apakah Hemingway benar-benar bisa main boksen, namun kecintaannya kepada olahraga itu terang belaka, setidaknya sebagai seorang afficionado, dan hal itu berkali-kali dia tunjukkan dalam tulisannya.

Pencarian tulisan nonfiksi nomor satu tentang tinju mengantarkan saya kepada tulisan A.J. Liebling di The New Yorker edisi 08 Oktober 1955, “Ahab and Nemesis.” Sampai di paragraf kesembilan, saya merasa ditelan paus. Sejumlah komentator menyebut tulisan Liebling mungkin tak terbaca karena ia boros acuan kepada kesusastraan dan “seni tinggi” seperti opera bel canto dan musik klasik Perancis, tapi bagi saya bukan itu soalnya, melainkan: saya mengertj jab dan hook dan straight dan uppercut adalah empat macam pukulan yang berbeda, dan cuma itu yang saya mengerti. Tentang sejarah boksen, saya mengenal Muhammad Ali sebagaimana sebagian besar orang mengenal Muhammad Ali: Sang Juara yang banyak omong soal apa saja dan bertarung dengan gaya dan doyan kawin dan berubah menjadi kangkung tumis di usia tuanya (semoga Tuhan memberikan tempat yang bersih dan terang untuk dia).

Pemeriksaan atas klaim Marcel Berlins ternyata sebuah urusan yang punya banyak cabang. Tentu saja itu tidak menyenangkan bagi pemalas mana pun, tetapi bekerja setengah-setengah ialah perbuatan tercela. Penyelidikan dari balik meja akhirnya sampai pada batas dan saya pun tergiring untuk mencari tahu tentang situasi tinju lokal dari lapangan.

Andrey Gromico, fotografer tirto.id yang pernah mengerjakan foto esai tentang sasana tinju, memberikan beberapa informasi yang saya perlukan. Setelah mengenakan setelan paling maskulin yang saya miliki—sesuai petunjuk Joyce Carol Oates: “Boksen ada untuk para lelaki, tentang para lelaki, dan adalah kelelakian itu sendiri”, saya berangkat ke

1. Sasana,

2. Pertandingan, dan

3. Kantor Persatuan Tinju Amatir Indonesia.

***

Baca juga artikel terkait TINJU atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Indepth
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti