tirto.id - Gadis itu datang pukul setengah sebelas siang. Setelah mempersiapkan tubuhnya dengan senam peregangan, ia melakukan shadow boxing. Gerakan dasar muaythai ia lancarkan satu demi satu, berulang-ulang, dengan daya dan kecepatan yang terkesan diatur berdasarkan sebuah pola.
Sekitar pukul satu, menjelang acara mulai, seorang anggota panitia menghampiri dia dan pria kekar berkaus merah ketat yang datang bersamanya. Mereka bercakap-cakap sebentar. Gadis itu kemudian didaftarkan untuk pertandingan tinju, bukan muaythai. “Ingat, jangan menendang,” kata pria berkaus merah. Gadis itu tersenyum. Airmukanya mengesankan kesungguhan sekaligus keriangan.
Gadis itu bernama Paula, 16 tahun, dan ia tampil dalam satu-satunya partai perempuan dari dua puluh pertandingan boksen dan muaythai di Bangrajan Gym, Pamulang, Tangerang Selatan, pada Minggu, 29 Mei silam. Peserta kegiatan itu adalah para penghobi yang tergabung di sejumlah sasana, kelab tarung, dan pusat kebugaran di Jakarta dan Tangerang. Sebagian besar peserta datang dalam rombongan yang dipimpin oleh pengelola sasana atau pelatih masing-masing.
Saya tahu tentang acara itu dari Misyanto alias Pak Hom, pengelola sekaligus pelatih sasana tinju Komunitas Penyanyi Jalanan (KPJ) Bulungan yang saya jumpai pada malam sebelumnya. Dia bilang tidak ada pertandingan untuk atlet tinju, baik profesional maupun amatir, dalam waktu dekat di Jakarta. “Tapi nanti kamu bisa lihat sendiri,” katanya. “Kalau dilatih dengan benar, member [anggota sasana atau gym non atlet] juga bisa tampil bagus.” Pak Hom berulangkali menanyakan kesediaan saya untuk hadir dan saya berulangkali menyatakan minat. “Sampai jumpa besok,” katanya saat saya pamit pulang.
Sesuai petunjuk dari Pak Hom, saya tiba di perumahan Pamulang Permai blok B 12 pada pukul sepuluh dan langsung mendatangi keramaian pertama yang terlihat. Sejumlah mobil dan sepeda motor terparkir di halaman sebuah rumah dan tepi jalan di dekatnya. Ada pula beberapa lelaki bercelana pendek, mungkin pemilik kendaraan-kendaraan itu, terparkir di terasnya yang sempit.
“Sudah mendaftar ulang?” tanya seorang pria di balik meja dekat pintu. Saya bilang saya penonton. “Oh, saya kira fighter,” katanya.
Bagian dalam rumah itu dibagi terutama jadi dua ruangan luas. Situasi di ruangan pertama serupa dengan di teras: orang-orang bercelana pendek duduk di lantai dan mengobrol dengan suara keras, tetapi tanpa rokok. Di ruangan kedua ada sebuah cermin raksasa yang tertempel di dinding, sejumlah sansak, sebuah ring setinggi satu meter, dan beberapa orang yang sedang melakukan pemanasan. Kedua ruangan itu berbau keringat basi.
Saya bercokol di rumah itu selama tujuh jam dan menonton semua pertandingan. Hingga acara rampung sekitar pukul enam sore, saya tidak berjumpa Pak Hom. Tapi dia berkata benar: meski bukan atlet, hampir setiap penampil bersungguh-sungguh dan tampak mengerti betul apa yang mereka kerjakan dan menyajikan pertandingan-pertandingan yang menerbitkan kegembiraan. Salah satu pertandingan paling menarik ialah partai kedua, yakni antara Paula dari BSA Martial Arts Center (BSA) dan Nala dari Cinere Fight Club (CFC).
Paula berkitar-kitar selangkah di luar jangkauan Nala yang bertubuh lebih besar dan sedikit lebih tinggi darinya. Sesekali ia melompat maju sembari mengayunkan straight atau hook kanan, lalu kembali ke jarak semula. Paula jarang menggunakan jab, namun tidak terlihat kesulitan mengukur jangkauan. Ia juga menimbang gerak lawan dengan cermat. Alih-alih menjotos udara, Paula berkali-kali menarik pukulan yang menurutnya tak bakal sampai.
Sebagian pukulan Nala diterima Paula dengan block, dan sebagian yang lain, terutama pukulan-pukulan berat, dia elakkan dalam gerak luwes yang mengundang tepuk tangan penonton. Begitu hindaran itu tersambung dengan pukulan-pukulan balasan yang keras dan tepat sasaran, tempat itu tenggelam dalam tempik-sorak dan hidup terasa begitu indah dan saya jadi ingin menangis karenanya. Paula menang TKO dalam dua ronde.
Gadis itu mengaku baru sebulan berlatih muaythai di BSA. Sebelumnya, semasa bersekolah di SMP, ia pernah belajar taekwondo dan capoeira. “Tapi muaythai lebih seru,” katanya membandingkan. Saya memuji penampilannya dan bertanya apakah dia juga mendapat materi tinju dalam pelatihan, sebab ia tampak tidak kesulitan menyesuaikan diri di ring. Dia tersenyum dan mengangguk.
Itu sejalan dengan informasi yang saya terima dari Pak Hom. Tersebab jarang mendapat kesempatan bertanding, beberapa petinju didikannya sehari-hari bekerja sebagai pelatih untuk para penghobi seperti Paula, baik secara privat maupun di pusat-pusat kebugaran, di Jakarta dan sekitarnya.
“Mereka melatih muaythai juga? Kenapa tidak tinju saja?” tanya saya kepada Pak Hom.
Kemudian, alih-alih mengangguk-angguk penuh simpati kepada orang tua yang mengeluhkan sistem dan sebagainya, saya malah melihat adegan berikut: Dalam keadaan duduk, Pak Hom menaruh kedua tangannya pada posisi “siap” muaythai, lalu melakukan beberapa ayunan kecil dengan kaki kanannya. “Pak! Pak!” ujarnya menirukan bunyi tendangan yang mendarat di sansak.
“Seru, kan?” tanyanya sambil terkekeh. “Mereka bisa melatih, ya sudah melatih saja. Anak pertama saya mengerti tinju, tapi dia atlet muaythai. Dia juga melatih,” ujarnya.
Menurut Johnny Nguyen di situs expertboxing.com, setiap praktisi olahraga beladiri perlu belajar tinju untuk meningkatkan kualitas pukulan, kecepatan reflek, kelincahan, serta membiasakan diri dengan pertarungan intensitas tinggi. “Kami [petinju] sanggup melepaskan sepuluh pukulan beruntun dengan tenaga yang jauh lebih hemat ketimbang petarung jenis lain,” tulisnya.
Penggabungan teknik dari disiplin-disiplin yang berbeda bukanlah hal asing dalam seni beladiri. Jet kune do, misalnya, diciptakan oleh Bruce Lee dengan bahan-bahan dasar yang dipetik dari wingchun, tinju, anggar, muaythai, taekwondo, dan jujutsu. Demikian pula mixed martial arts (MMA) yang kini populer lewat kompetisi Ultimate Fighting Championship (UFC), lazim menampilkan hasil padu-padan tinju, muaythai, jiu-jitsu Brazil, judo, gulat, karate, taekwondo, dan wushu sanda.
Popularitas MMA sampai ke Indonesia dan mengundang minat banyak orang. Berkat hal itu, sejak 2013 pusat-pusat pelatihan beladiri lintas disiplin bermunculan di kota-kota besar, termasuk Jakarta. Umumnya mereka membuka kelas tinju, muaythai, dan jiu-jitsu Brazil. Dua cabang pertama untuk pertarungan “berdiri” dan yang belakangan untuk pertarungan lantai serta adu kuncian.
Namun, terlepas dari urusan penciptaan ilmu beladiri “baru” seperti jet kune do atau keperluan olahraga tarung campuran seperti MMA, sejarah boksen profesional juga mencatat nama petinju-petinju hebat yang berlatarbelakang ilmu beladiri lain. Salah satunya ialah Khaosai Galaxy. Mantan juara dunia kelas terbang super versi WBA yang membikin kandas “The Exocet” alias Ellyas Pical pada 1987 itu pada mulanya adalah seorang atlet muaythai.
Khaosai memenangkan 49 (43 KO) dari 50 pertandingan dan mempertahankan gelar sebanyak 19 kali sepanjang kariernya. Mengingat bahwa ia tak mempunyai pengalaman tinju amatir, para pengamat menganggap keterampilan Khaosai banyak dibentuk selama ia menjadi petarung muaythai. Teknik andalannya yang mendapat nama mengerikan dari pers Thailand, “tinju kidal pengebor usus”, bahkan merupakan bawaan dari periode tersebut.
Sebaliknya, Ramon Dekkers, mantan juara dunia muaythai profesional untuk lima kelas berbeda, dikenal kerap memanfaatkan keterampilan boksen yang dipelajarinya sejak muda dalam pertandingan. Pada situs fightingmaster.com tertulis: “Tendangan Ramon jelas luar biasa, tapi kesukaannya adalah teknik-teknik pukulan. Salah satu senjata terkuatnya adalah hook kiri. Dia tak sembarang mengayunkan bogem di atas ring. Dia adalah teknisi berdarah dingin yang bertujuan membikin habis lawan-lawannya.”
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti