Menuju konten utama

"Persoalan Saat ini Adalah Uang"

Dana, sarana, dan prasarana adalah faktor terpenting untuk menciptakan para petinju hebat. Tanpa ketiga hal itu pembinaan tinju akan sulit untuk dilakukan.

Sekjen Pertina Martinez dos Santos. [foto/pp pertina]

tirto.id - Martines dos Santos, pengamat tinju Indonesia dan mantan Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Persatuan Tinju Amatir Indonesia (PP Pertina), menyatakan bahwa dana, sarana, dan prasarana adalah faktor terpenting untuk menciptakan para petinju hebat. Menurut dia, sekalipun melibatkan pelatih-pelatih yang mumpuni, tanpa ketiga hal itu pembinaan akan sukar sekali.

Berikut wawancara Tirto.id dengan Martines pada Selasa (13/07/2016), mulai dari perkara kompetisi, hubungan antara dunia amatir dan profesional, hingga kesukaran yang melanda para petinju di Indonesia saat ini.

Tinju amatir sangat penting. Selain untuk mewakili negara dalam kompetisi-kompetisi olahraga internasional (Asian Games, Olimpiade), ia juga kerap dijadikan fase belajar sebelum memasuki tinju profesional. Sejumlah pihak mengeluhkan jumlah pertandingan tinju amatir yang minim. Ajang Monthly Boxing Championship, misalnya, sudah tidak ada. Bagaimana pendapat Anda?

Kalau bicara kompetisi tinju amatir, empat tahun terakhir ini malah banyak sekali. Jadwalnya sangat padat. Seluruh kompetisi kejuaraan nasional (Kejurnas) yang merupakan tanggung jawab Pertina Pusat sudah dilaksanakan semua. Justru tinju profesional yang tidak punya kompetisi.

Begitu TVRI berhenti menyelenggarakan, pertandingan tinju pro tidak ada lagi. Tidak ada kompetisi, tidak ada promotor. Itu memprihatinkan.

Tinju pro mati suri, sedangkan amatir jalan terus dan jadwalnya padat, mulai dari junior dan youth, nasional, Piala Presiden, dan lain-lain. Kepengurusan [Pertina] yang lalu penuh dengan kompetisi, bahkan daerah-daerah sampai kewalahan mengirimkan atletnya ke kompetisi tinju nasional karena dana yang terbatas.

Apa saja kompetisi dalam empat tahun itu? Setahun ada berapa banyak?

Pertandingan tinju amatir ada bermacam-macam, seperti Kejurnas dan Kejurda [kejuaraan daerah] Junior dan Youth, Kejurnas Tinju Amatir Elit, Sarung Tinju Emas, Piala Wakil Presiden, serta Piala Presiden. Piala Presiden itu kegiatan internasional dan penyelenggaraaannya butuh dana besar. Membuat acara tinju itu tidak gampang.

Apakah kegiatan tinju amatir bisa mencapai 20-50 kompetisi dalam setahun?

Enggak, dong, itu butuh biaya besar. Satu kegiatan tingkat nasional saja kurang-lebih perlu dana 600-700 juta rupiah. Tidak boleh asal bikin karena sifatnya kompetisi. Wakil dari seluruh daerah datang. Akomodasi untuk mereka, kan, juga perlu disiapkan. Berbeda dari tinju pro yang satu pertandingan selesai, kompetisi tinju amatir paling tidak butuh waktu sampai seminggu.

Di tiap-tiap daerah, Pertina provinsi/kabupaten juga menyelenggarakan kompetisi. Kejurda Tinju Amatir Junior dan Youth, PON Remaja, dan lain-lain. Itu semua dilaksanakan setiap tahun.

Bagaimana dengan petinju-petinju amatir yang berminat masuk ke dunia pro? Apakah ada bantuan dari Pertina, misalnya, supaya mereka lebih mudah mendapatkan pertandingan?

Kalau profesional, urusannya sudah beda. Profesional punya organisasi sendiri yang mengatur, jadi amatir tidak ikut-ikutan. Begitu juga profesional, tidak bisa ikut-ikutan urusan amatir.

Jadi, tidak ada kaitan antara tinju amatir dan profesional?

Keterkaitan ada, tapi sedikit.

Ada anggapan umum bahwa petinju amatir yang menjadi petinju pro itu seperti “naik tingkat”. Bagaimana menurut Anda?

Tidak begitu. Orang bisa saja langsung masuk tinju pro dan belajar di sana, tidak harus lewat amatir. Petinju amatir yang mau masuk ke profesional pun boleh. Jadi, bukan naik tingkat.

Sejumlah pihak memuji dunia tinju di Thailand. Para petinju Indonesia kerap diundang bertanding di sana. Terkait peran negara untuk memajukan tinju, apa bedanya Thailand dan Indonesia?

Selain perhatian pemerintah, mereka juga punya banyak sponsor. Perlu diketahui, yang banyak diundang ke Thailand adalah petinju pro. Hampir setiap bulan ada petinju pro kita yang dikirim ke sana. Kalau untuk tinju amatir, selama saya menjabat sebagai sekjen [Pertina], baru satu atau dua kali dapat undangan dari Thailand. Belakangan ini, tinju amatir mereka kurang dapat perhatian juga. Kalau bicara tentang tinju di Thailand, umumnya yang dimaksud adalah tinju pro. Amatir jarang.

Pertina mendapat udangan dari Thailand untuk kompetisi apa?

Piala Raja, tapi pertandingannya batal. Mungkin di sana sedang ada masalah.

Berapa banyak Pertina daerah yang aktif mengirimkan petinju untuk kompetisi-kompetisi yang dikelola Pertina Pusat?

Pembinaan tinju amatir dilakukan di kabupaten, kota, dan provinsi. Pertina daerah mengirim petinju atas nama provinsi masing-masing ke kompetisi nasional. Mereka tidak membawa nama sasana, berbeda dari tinju profesional.

Tinju amatir itu dibiayai oleh negara, sementara profesional tidak, sebab tinju profesional itu bisnis.

Rata-rata setiap daerah mengirim berapa petinju per kompetisi nasional?

Tergantung jumlah kelas yang dipertandingkan. Kalau ada 10 kelas putra, daerah bawa 10 petinju putra. Kalau ada 4 kelas putri, yang dibawa ya 4 petinju putri. Tapi pada akhirnya tergantung kesanggupan daerah. Membawa petinju itu butuh biaya besar.

Tentang tinju profesional, sepertinya sekarang tidak banyak promotor yang berbasis di Indonesia, ya?

Sudah tidak ada promotor. Semua tengkurap. Mereka, kan, hidup dari penyandang dana atau sponsor. Kalau sponsor tidak ada, seperti sekarang, mana bisa jalan.

Menurut Anda, apakah jumlah pelatih tinju yang mumpuni di Indonesia sudah memadai? Dan siapa pelatih tinju top di Indonesia saat ini?

Pelatih tinju amatir dan pelatih tinju pro itu berbeda. Cara melatihnya berbeda, karena durasi dan jumlah ronde dalam pertandingannya juga lain. Menurut saya kita punya pelatih-pelatih bagus, baik di amatir maupun di pro, tapi saya tidak mau sebut nama. Pelatih bagus tanpa sokongan dana yang memadai, saya kira percuma saja. Dia punya ilmu, tapi kalau tidak ada dukungan dana, sarana, dan prasarana, sulit sekali.

Bagaimana pendapat anda tentang Pak Hom dari sasana KPJ Bulungan?

Lumayan, beberapa kali punya petinju juara nasional.

Ketua Pertina sekarang, Bapak Jhony Asadoma, adalah mantan petinju amatir yang pernah mewakili Indonesia untuk Olimpiade. Pak Hom dari sasana KPJ, dalam wawancaranya dengan Tirto, berharap tinggi sekali kepada Pak Jhony. Dia bilang Pak Jhony pasti mengerti apa saja yang dibutuhkan petinju-petinju amatir di Indonesia karena punya pengalaman yang sama. Sejak terpilih dalam Munas PP Pertina ke-XIX (24/04/2016), apa sajakah terobosan yang telah diusulkan/dilakukan oleh Pak Jhony?

Pak Jhony belum dilantik dan SK-nya belum turun dari KONI Pusat. Tentang terobosan, bisa tanyakan langsung ke Pak Jhony, jangan ke saya.

Sekarang banyak gym/pusat kebugaran yang membuka kelas tinju. Peminatnya tidak sedikit. Hal ini ditengarai terpengaruh oleh popularitas olahraga tarung bebas (mixed martial arts). Apakah ini bisa dimanfaatkan untuk mempopulerkan kembali tinju amatir dan pro di Indonesia?

Tanpa dibikin seperti itu tinju sudah populer. Sejak 1800-an sudah populer. Kalau bicara popularitas, tinju tidak perlu diragukan. Tinju itu olahraga paling terkenal nomor dua di dunia, setelah sepak bola. Untuk apa dipopulerkan lagi?

Dalam keadaan sekarang, kira-kira Indonesia perlu waktu berapa tahun lagi untuk menciptakan Ellyas Pical baru?

Ellyas Pical itu juara dunia tinju profesional, jangan dikaitkan dengan amatir. Dia memang mantan petinju amatir yang pernah sukses di Piala Presiden, tapi dibina dan menjadi juara dunia di tinju pro.

Bicara tinju profesional, kalau ada penyandang dana, sponsor, dan lain-lain, menurut saya tidak butuh waktu lama. Dalam satu atau dua tahun bisa muncul yang sekelas Chris John dan Daud Jordan. Persoalan saat ini adalah uang.

Ada kabar bahwa banyak petinju yang bekerja sebagai bodyguard, anggota satpam kelab, penagih utang, dan semacamnya, karena sulit mencari makan lewat tinju. Bagaimana tanggapan Anda tentang situasi tersebut?

Agak susah, ya. Kalau orang sukses di tinju, uangnya pasti banyak. Tapi, kalau tidak, mau tidak mau, ya, bekerja seperti itu. Karena pendidikan mereka kebanyakan rendah, pekerjaan yang mudah didapat yang begitu. Kecuali ada yang menyiapkan lapangan kerja yang lebih baik, itu sangat bagus. Tapi kondisi saat ini sulit, sehingga pekerjaan-pekerjaan itu menjadi tempat cepat mencari uang.

Baca juga artikel terkait TINJU atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti