tirto.id - Sebelum menyanyikan lagu “Teman Kawanku Punya Teman”, Iwan Fals sengaja memasukkan obrolan dia dan kawan-kawannya sebagai pembuka lagu tersebut. Terdengar suara tawa berkali-kali di sela percakapan. Di tengah obrolan itu seseorang berkata, “kuliah cari ijazah.” Ucapan tersebut disambut tawa. Lalu lagu pun dimulai.
Seperti disinggung lewat celetukan tadi, lagu ini berkisah tentang seorang mahasiswa yang mendapatkan ijazah tanpa kerja keras, yaitu dengan cara mengupah orang untuk mengerjakan skripsi. Salah satu kegemarannya adalah membaca cerita silat Kho Ping Hoo.
Hal tersebut terdapat dalam bait kedua lagu tersebut yang berbunyi: “Kacamata tebal, maklum kutu buku. Ngoceh paling jago, banyak baca Kho Ping Hoo.”
Kho Ping Hoo atau Asmaraman Sukowati adalah seorang pengarang cerita silat yang karyanya teramat banyak. Dalam satu judul, ia bisa membuatnya hingga puluhan jilid. Sebagai contoh, kisah yang berjudul Sang Megatantra, ia membuatnya sampai 42 jilid. Leo Suryadinata mencatat dalam Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia (1996), bahwa karya Kho Ping Hoo sekurang-kurangnya adalah 180 judul buku. Jika angka “sekurang-kurangnya” itu dikali 30 (rata-rata jumlah jilid per satu judul buku), maka minimal Kho Ping Hoo memiliki 5.400 buah buku yang asli sebelum dilipatgandakan untuk dijual ke pasaran.
Berkelana dari Kota ke Kota
Layaknya seorang pendekar dalam dunia persilatan yang sering digambarkan berkelana, Khoo Ping Hoo pun melakukan hal yang sama sebelum ia terkenal. Ia berkali-kali pindah tempat tinggal karena desakan situasi yang terus berubah.
Asmaraman dilahirkan di Sragen, Jawa Tengah, pada 17 Agustus 1926. Sempat sekolah di HIS (Hollands Inlandsche School), dan sebentar di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Setelah dewasa, karena menurutnya Sragen hanya bisa memberinya pekerjaan sebagai penarik becak, akhirnya ia pindah ke Kudus. Di Kota Kretek, ia diterima sebagai mandor di sebuah pabrik rokok.
Saat Jepang masuk, ia pindah ke Surabaya dan menjadi penjual obat keliling. Namun lagi-lagi karena situasi di kota itu bergolak karena perang revolusi, ia akhirnya kembali ke Sragen. Dan kota kelahirannya masih seperti dulu saat mula-mula ia tinggalkan, masih tak memberinya peluang penghidupan yang lebih baik. Ia lalu memutuskan membawa istri dan anak-anaknya pindah ke arah barat, yaitu ke Tasikmalaya.
Menurut Nana Suryana Sobarie, peneliti Sastra Tionghoa peranakan dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, yang ia kutip dari majalah Jakarta Jakarta, di Tasikmalaya Kho Ping Hoo mendapat kepercayaan dari seorang pengusaha yang bergerak di bidang jasa angkutan barang. Kariernya terus menanjak sampai akhirnya diangkat menjadi ketua serikat pengusaha jasa angkutan barang se-Tasikmalaya.
Berbeda dengan dua kota sebelumnya yang sempat ia singgahi sebentar, di salah satu kota di Priangan Timur yang tenang itu ia kerasan hingga tinggal cukup lama, yakni enam tahun dari 1958 sampai 1964. Di sana pula minat lamanya pada dunia tulis-menulis mulai timbul lagi dan berkembang.
Bersama para penulis lokal kota tersebut, ia mendirikan majalah Teratai yang dijadikan wadah bagi komunitas penulis. Untuk mendorong penjualan Teratai, mereka punya ide untuk memuat cerita-cerita silat yang waktu itu diminati masyarakat. Kho Ping Hoo lalu menghubungi Oej Kim Tiang, seorang penulis dan penerjemah cerita silat yang sudah terkenal untuk menyumbangkan karyanya. Namun permintaan tersebut ditolak si penulis.
“Karena Oej Kim Tiang menolak permintaannya, ia mencoba menulis sendiri—bukan menerjemahkan seperti Oej Kim Tiang, karena ia tidak menguasai bahasa Tionghoa dengan baik,” tulis Sobarie dalam harian Pikiran Rakyat edisi 10 November 2014.
Setelah itu lahirlah karya cerita silat bersambungnya yang pertama, Pedang Pusaka Naga Putih (Pek Liong Pokiam) pada 1958. Karya ini disukai pembaca, lalu menyusul berturut-turut cerita lain yang diterbitkan oleh Penerbit Analisa, Jakarta, seperti Si Teratai Merah (1959), Sepasang Naga Berebut Mustika (1960), Pendekar Bodoh (1961), Pedang Ular Merah (1962), Pendekar Sakti (1962), dan Pedang Penakluk Iblis (1962).
Menyadari karya-karyanya laris manis di pasaran, Kho Ping Hoo yang punya pengalaman sebagai pedagang, segera mengambil peluang ini dengan mendirikan perusahan percetakan umum bernama Jelita. Sejumlah karyanya yang pernah diterbitkan di majalah Selecta, Monalisa, dan Roman Detektif, ia kumpulkan dan terbitkan sendiri.
Namun usahanya lewat Jelita terpaksa berumur pendek, karena pada 1963 Tasikmalaya dilanda kerusuhan rasial yang banyak memakan korban warga keturunan Tionghoa, termasuk dirinya yang kehilangan sejumlah harta yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun di kota tersebut. Setahun setelah kerusuhan, ia memutuskan untuk meninggalkan Tasikmalaya dan pindah ke Solo .
Meski harta benda habis dan sejak zaman Jepang berkali-kali dirundung kekacauan di perantauan, ia tak lantas putus asa. Di Solo, ia mencoba bangkit dan menata kembali hidupnya. Kho Ping Hoo terus menulis dan bersama anak-anaknya mendirikan bisnis percetakan dan penerbitan bernama CV Gema pada tahun 1965.
Masa Kejayaan Si Pendekar
“Ia lebih hebat dari saya. Ia tidak dapat membaca aksara Cina, tetapi imajinasi dan bakat menulisnya luar biasa. Ceritanya asli dan khas, sangat sulit ditandingi,” ujar Gan Kok Liong, maestro penerjemah cerita silat Cina dalam Bayang Baur Sejarah: Sketsa Hidup Penulis-penulis Besar Dunia (2003) karya Aulia A. Muhammad.
Sepanjang kiprahnya menulis cerita silat, dalam catatan Nana Suryana Sobarie dalam artikel “Reproduksi Buku Kho Ping Hoo” (Pikiran Rakyat edisi 10 November 2014), Kho Ping Hoo menulis 152 judul buku yang terdiri dari 127 cerita silat berlatar Tiongkok, dan 25 cerita silat berlatar Indonesia (Jawa). Sedangkan Leo Suryadinata menyebut angka 180 judul buku.
Terlepas dari perbedaan angka tersebut, semua karya Kho Ping Hoo laris di pasaran. Permintaan yang luar biasa banyak dari konsumen dapat dipenuhi oleh CV Gema yang dijalankan oleh Kho Ping Hoo dan anak-anaknya. Mereka menerapkan kontrol ketat dalam memproduksi dan memasarkan buku produksinya. Bapak dan anak ini mengerjakan banyak hal, mulai dari menulis, menyunting, merancang, mencetak, hingga mendistribusikannya ke agen atau toko buku yang ada di kota-kota besar di Indonesia.
“Cerita-cerita silat Kho Ping Hoo digarap lewat metode kejar tayang. Tidak ada karya Kho Ping Hoo yang diluncurkan ke publik sesudah ceritanya selesai ditulis; semuanya digarap jilid demi jilid lewat model kerja paralel,” tulis Sobarie.
Ia menambahkan, meski dikerjakan dengan cara seperti itu, tapi Kho Ping Hoo hampir tidak pernah mengalami kendala teknik yang berarti. Hal tersebut menurut Bunawan, salah seorang ahli waris Kho Ping Hoo seperti dikutip Sobarie, karena ia memiliki ringkasan cerita yang tengah dikerjakan.
Ringkasan tersebut dibuat berdasarkan bagian atau jilid yang sudah selesai. Di sana terdapat nama-nama tokoh, asal-usulnya, ciri fisiknya, sifat-sifatnya, atribut yang dipakainya, dan lain-lain. Dengan cara seperti itu, karya Kho Ping Hoo yang rata-rata tiap judul berjumlah 30 jilid dan berisi berbagai nama tokoh, nama tempat, waktu, dan peristiwa, dapat dihindarkan dari kekeliruan dan tumpang tindih penulisan.
Menurut Sobarie, secara garis besar semua cerita silat Kho Ping Hoo berbicara tentang kewajiban utama manusia dalam hidupnya, yaitu mencegah dan membasmi kejahatan. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Marcel Bonneff dalam Komik Indonesia (2001) yang menulis bahwa dalam cerita silat, pendekar sejati ditakdirkan menjalani kehidupan yang berbeda dengan manusia kebanyakan, yakni membela kebenaran dan keadilan: sebuah tugas yang melekat pada dirinya.
“Tugas membela kebenaran dan keadilan tidak mengenal ikatan ruang dan waktu, ia wajib menyelesaikan segala persoalan itu. […] Satu hal yang tidak terhindarkan, tugas seorang pendekar teramat dekat dengan kematian karena takdir hidupnya memang mesti dilalui dengan jalan pedang, membunuh atau terbunuh,” tulisnya.
Dan para pendekar dalam cerita silat Kho Ping Hoo tak lepas dari nalar tersebut. Setiap saat mereka harus berhadapan dengan persoalan-persoalan ketidakadilan yang harus mereka menangkan. Di lapangan bisnis, seperti halnya para pendekar tersebut, karya-karya Kho Ping Hoo berhasil memikat dan memenangkan hati para pembacanya.
Dalam Kho Ping Hoo & Indonesia (2012) yang disunting oleh Ardus M. Sawerga, Kho Ping Hoo mengungkapkan alasannya kenapa ia banyak menulis cerita silat, yaitu untuk mencurahkan hati dan melepaskan persoalan penindasan yang ada di dalam batinnya. Hal tersebut kiranya timbul karena hampir sepanjang hidupnya ia didera berbagai peristiwa yang merawankan perasaannya, mulai dari zaman Jepang, revolusi, sampai kerusuhan rasial yang meletus pada 1963 di Tasikmalaya dan menyeretnya untuk terus-menerus berpindah tempat tinggal.
“Dalam kehidupan sehari-hari saya sering menjumpai ketidakadilan, penindasan, dan kerakusan, tapi saya hanya bisa marah dalam hati. Untuk mengkritik saya tidak memiliki keberanian. Lewat cerita silat saya bisa mengkritik tanpa harus menyakiti perasaan siapapun,” tuturnya.
Lewat para pendekar yang hidupnya dilalui dengan jalan pedang, ia hendak mengajak para pembacanya bukan lewat silatnya, melainkan melalui kehidupan para tokohnya, suka duka kehidupannya dalam menghadapi, mempelajari, menyelidiki, dan menanggulangi persoalan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat.
Pada 22 Juli 1994, tepat hari ini 24 tahun yang lalu, Kho Ping Hoo meninggal di Tawangmangu. Pendekar itu telah mengakhiri jalan pedangnya.
Editor: Nuran Wibisono