tirto.id - Dalam ajaran Islam, surga dan neraka adalah sesuatu yang gaib dan wajib diyakini keberadaannya. Sejak dulu, dua tempat pembalasan bagi manusia itu hanya diketahui lewat keterangan-keterangan teks dari kitab suci dan kitab-kitab keagamaan lainnya, juga lewat keterangan lisan dari para pendakwah dan orangtua. Namun, pada 1961, surga dan neraka mulai dapat dilihat secara visual saat K.T. Ahmar membuat komik berjudul Taman Firdaus.
Komik setebal 32 halaman tersebut berkisah tentang dua orang anak yang pada akhirnya menempati surga dan neraka. Mereka sudah berbeda dan dapat diperkirakan nasibnya di akhirat sejak dari nama, yakni Karma dan Saleh.
Perilaku kedua anak ini amat berseberangan. Jika hari Jumat datang, Saleh pergi ke masjid, sementara Karma pergi ke kolam renang. Saat didatangi pengemis, Saleh memberinya uang meski ia akhirnya tak bisa jajan, sementara Karma mengusir pengemis tersebut. Ketika beranjak dewasa, Saleh lebih sering tinggal di rumah dan rajin belajar, sementara Karma keluyuran menunggangi sepeda motor dan senang menggoda perempuan.
“Jippee! Sorangan bae yeuh [sendirian saja, nih],” begitu cara Karma menggoda seorang perempuan dalam sebuah panel komik tersebut.
Perbedaan perilaku kedua orang ini masih banyak sampai akhirnya keduanya meninggal dan menjalani kehidupan di alam kubur dan di akhirat. Sejak dari nyawa berpisah dengan raga, Karma dan Saleh mengalami dua hal berbeda. Karma meregang dengan penderitaan tak terhingga, sementara Saleh menghadap maut dengan tenang dan ikhlas.
Mulai dari sinilah surga dan neraka yang selama ini hanya dapat diimajinasikan dan berupa bayang-bayang samar, dapat dengan jelas dilihat terutama oleh anak-anak yang menyuntuki komik tersebut. Siksaan-siksaan brutal terhadap manusia mulai hadir dalam beberapa panel. Komik Taman Firdaus dipungkas oleh sebuah panel bergambar taman dan bertuliskan:
“Di sinilah Saleh hidup abadi penuh dengan nikmat dan ridjki berlimpah-limpah. Itulah pahala dari Tuhan bagi mereka jg taat kepada agama dan mengerdjakan amal saleh.” Di sebelah tulisan tersebut, terdapat keterangan yang berbunyi, “gambar tjiptaan semata-mata”.
Saat komik karya K.T. Ahmar mulai dilupakan, memasuki awal tahun 1970-an komik bertema siksa neraka datang lagi dan semakin masif, baik secara jumlah karya maupun penggambaran siksaan di neraka yang kian sadis dan mengerikan. Komik-komik tersebut dibuat oleh M.B. Rahimsyah, Irsyadul Anam, Ema Wardana, dan Syam yang berbagi tugas sebagai pembuat cerita dan pembuat gambar.
Terkait nama Irsyadul Anam, sejumlah peminat komik berbeda pandangan. Sebagian menyebutnya bahwa Irsyadul Anam adalah nama kitab fiqih yang menjadi rujukan pembuat komik dalam menggambarkan surga dan neraka. Sebagian yang lain menyebutkan bahwa Irsyadul Anam adalah nama orang yang membuat komik tersebut.
Dalam komik berjudul Siksa Neraka yang diterbitkan oleh Pustaka Agung Harapan, saya menemukan bahwa nama tersebut ternyata bukanlah nama kitab fiqih, melainkan tertulis dengan jelas: “Dilukis dan diceritakan kembali oleh: Irsyadul Anam & MB. Rahimsyah AR.”
Sedikit Nikmat Banyak Ngerinya
Terlepas dari silang pendapat nama tersebut, komik-komik siksa neraka yang bertahan sampai awal tahun 1990-an telah menjadi mimpi buruk bagi anak-anak Indonesia, dari kota sampai ke perdesaan. Gambar-gambar sadis dan brutal terpacak kuat dalam benak dan bagi sebagian mereka, bahkan sampai sekarang masih terbayang dan menghantui.
“Ngeri banget. Masih kebayang gambarnya sampai sekarang. Itu salah satu yang membuat saya takut kalau pas tidur malam, [takut] bangun-bangun udah di neraka. Beneran sampai sekarang masih kebayang itu gambar-gambarnya: makan buah yang terbakar dan gambar garis-garis apinya … hiii,” ujar Lenny Rosadiawan, warga Bandung yang kini tinggal di Bonn, Jerman.
Kepada Tirto ia menambahkan bahwa sekarang komik-komik siksa neraka itu menjadi pengingat supaya banyak-banyak istighfar dan kalau tidur jangan bawa masalah sama orang takut besoknya tidak bangun lagi.
Suatu malam saat terbangun dari gangguan sleep paralysis atau ketindihan alias eureup-eureup dalam bahasa Sunda, ia terbayang lagi dengan kengerian gambar-gambar siksaan dalam komik neraka.
“Kalau sudah gitu, cepat-cepat cium suami sama anak-anak. Kalau punya salah minta maaf. Dan kebiasaan tiap malam bilang ‘sayang’ sama semua orang rumah, termasuk nge-WA orangtua, bisi besok enggak bangun lagi. Kalau ada ceramah-ceramah yang isinya tentang anak durhaka atau istri durhaka, langsung kebayang lagi gambarnya,” tuturnya.
Lenny berkisah bahwa dulu ia mendapatkan komik-komik siksa neraka itu dari kawannya yang biasa membeli berbagai macam komik. Setelah selesai membaca di rumah kawannya, ia pulang dengan perasaan takut dan sedih. Waktu kecil kadang ia berpikir, kenapa Allah yang katanya baik tapi siksa nerakanya sangat kejam.
Waktu kecil, ketakutan Lenny terhadap gambaran-gambaran siksa neraka itu diperkuat oleh sikap ibunya yang kerap menakut-nakuti anak-anaknya jika mereka malas melaksanakan salat. Kombinasi komik siksa neraka dan teriakan ibunya membuat ia akhirnya rajin salat.
“Nu tara solat mah engké gé di ahérat dipiceun di kerak naraka (yang tidak salat nanti di akhirat dibuang di kerak neraka),” ujar Lenny mengenang teriakan ibunya.
Meski berhasil membuat dirinya takut dan mendorongnya untuk rajin salat, tapi Lenny mengakui bahwa ia sekarang tak berani memperlihatkan komik-komik siksa neraka itu kepada anak-anaknya. Ia menganggap bahwa gambar-gambar tersebut terlalu sadis buat dikonsumsi oleh anak-anak.
Berbeda dengan komik siksa neraka yang begitu kuat menancap dalam ingatan, komik tentang gambaran nikmat surga tak terlalu berkesan baginya. Meski demikian, komik-komik nikmat surga cukup memotivasi dirinya untuk menjadi orang baik.
“Saya mah ingat sama sungai-sungai susu dan taman buah-buahannya,” pungkasnya mengenang komik tentang surga.
Kengerian komik siksa neraka juga sempat dialami oleh Irfan Noormansyah, seorang karyawan swasta di bidang digital marketing di Bandung. Waktu kecil, saat membaca komik-komik tersebut, ia mula-mula merasa jijik. Kemudian perasaan seram menyerang. Setelah itu, karena dijelaskan oleh teman dan saudaranya, rasa takut tersebut perlahan berkurang.
“Gambar-gambarnya masih terbayang sampai sekarang, tapi enggak terlalu terbayang-bayang sih, kecuali jika diingatkan seperti sekarang,” ujarnya kepada Tirto.
Hal serupa disampaikan oleh Asep Suryana, seorang karyawan swasta di Jakarta. Meski sekarang ia tak pernah merasa diteror oleh gambar-gambar dalam komik siksa neraka, tapi waktu kecil ia merasakan ketakutan juga.
“Yang seram gambar jembatan yang lebarnya bagaikan rambut dibelah tujuh, lidah yang digunting, dan makan daging busuk. Juga yang ditusuk besi panas hingga ke ubun-ubun,” kenangnya.
Meneror Anak-Anak Kota dan Desa
Komik-komik siksa neraka sebetulnya tampil dengan gambar-gambar agak buram dan kualitas cetak yang kedodoran, hampir mirip seperti komik Petruk-Gareng karya Tatang S. Meski kualitas kontras gambarnya rata-rata rendah, tapi tak mengurangi kengerian yang ditampilkan.
Badan yang diseterika, telinga yang ditusuk besi panas sampai tembus dari kuping kiri ke kuping kanan, lidah dipotong gunting raksasa, raga remuk dililit ular besar, kepala hancur dihajar palu godam berduri, minum cairan timah panas, darah, dan nanah, serta api yang berkobar membakar seluruh tubuh, berhasil membuat bocah manapun bergidik dan susah tidur.
Namun, anehnya, gambar-gambar maha sadis itu lulus sensor dari aparat kepolisian yang dulu selalu membubuhkan stempel sebagai tanda bahwa komik layak dikonsumsi publik. Teror yang dirasakan pembaca komik siksa neraka, terutama anak-anak, tidak hanya terjadi di perkotaan, tapi karena distribusinya luas, komik-komik tersebut juga menebar ketakutan di kalangan anak-anak pinggiran kota bahkan perdesaan.
Hendi Abdurahman, seorang penulis partikelir dan paruh waktu yang sejak kecil tinggal di pinggiran Kota Bandung, mendapatkan komik tersebut dari penjual arumanis yang juga menjual komik karya Tatang S. dan komik siksa neraka.
“Komik siksa neraka lebih ‘menarik’. Lebih ngasih rasa takut. Misal, garpu atau benda tajam lain yang penuh bara api menusuk manusia. Zaman baca itu sudah ngeri sejak dari sampul,” tuturnya.
Kengerian komik siksa neraka yang diterbitkan di antaranya oleh MA Jaya, Sandro Jaya, dan Pustaka Agung Harapan yang muncul belakangan, juga sampai ke sebuah desa di Purwokerto.
Wahyu Indra Prabowo yang kini bekerja di sebuah perusahaan swasta di Bandung, waktu kecil tinggal di sebuah desa di Purwokerto dan mendapatkan juga komik-komik siksa neraka. Di lapak-lapak tukang koran di desanya, Wahyu kerap mendapatkan komik tersebut selain komik karya tatang S. dan buku teka-teki silang yang sampulnya dihiasi perempuan-perempuan cantik.
“Pernah baca juga. Ada yang lidahnya dipotong, ditusuk dari dubur sampai tembus ke ubun-ubun dengan posisi telanjang bulat, minum darah, nanah, dan sebagainya. Ngeri pokoknya,” kata Wahyu.
Memasuki akhir tahun 1990-an, keberadaan komik siksa neraka mulai langka, baik di kota maupun di perdesaan. Akses terhadap berbagai komik dengan kualitas cetakan rendah yang pernah dirasakan oleh Wahyu dan anak-anak di perdesaan lainnya kini hampir tidak ada.
Hal ini salah satunya yang membuat komik perlahan menjadi kurang populer terutama di kalangan anak-anak yang jauh dari kota.
“Padahal daerah saya termasuk kampung, tapi distribusi komik Indonesia bagus, makanya berkesan banget buat obrolan sesama teman sekolah. Kalau sekarang beli komik kudu ke toko besar,” imbuhnya.
Seiring semakin kedodorannya distribusi komik, juga generasi komikus yang telah berganti, sisa-sisa kejayaan komik-komik siksa neraka kini hanya terpacak di benak orang-orang dewasa yang dulu pernah membacanya: berisi parade kenangan kengerian yang menghunjam alam pikir kanak-kanaknya.
Komik siksa neraka kiranya salah satu cara mengkampanyekan agama yang paling traumatis yang dilakukan oleh orang-orang dewasa terhadap anak-anak.
Editor: Maulida Sri Handayani