tirto.id - Anda barangkali mengalami atau mendengar cerita pengalaman tidur seseorang yang tiba-tiba terbangun, lalu rasa dalam pikiran seolah sudah sadar, tapi bagian tubuh lain tak bisa digerakkan. Situasi makin mencekam kala napas tak bisa diatur karena benda berat yang menindih, dan pemilik raga pun tak berdaya. Mulut yang biasa begitu lancar berbicara, saat itu tak mampu mengeluarkan sepata kata. Halusinasi aneh-aneh juga muncul seperti sosok yang menyeramkan menghinggapi pandangan mata.
Setelah perjuangan keras untuk bangkit berkali-kali, akhirnya raga pun terjaga. Napas yang awalnya berat menjadi normal, kaki dan tangan yang semula kaku akhirnya bisa bergerak. Rasa lega pun menghinggapi. Inilah fenomena yang dikenal dengan sebutan sleep paralysis alias kelumpuhan tidur.
Pada masa lampau, saat sains tak punya tempat untuk menjelaskan, masyarakat masih mengaitkan fenomena ini dengan hal mistis. Penyebab kelumpuhan saat tidur dikaitkan dengan makhluk halus yang sedang menindih tubuh seseorang, yang dipercaya oleh berbagai peradaban di penjuru dunia.
Kepercayaan Global
Di Finlandia atau Swedia misalnya, kelumpuhan saat tidur disebabkan oleh makhluk supernatural bernama Mare. Mare dipercaya sebagai perempuan yang dikutuk dan tubuhnya dibawa secara misterius saat sedang tidur tanpa disadari. Ia berkeliling desa untuk menduduki tulang iga orang-orang yang sedang terlelap dan memunculkan fenomena kelumpuhan tidur.
Di Amerika Serikat berbeda lagi. Cerita rakyat Georgia, South Carolina, dan Newfoundland menarasikan kelumpuhan tidur diakibatkan oleh makhluk jahat bernama Hag. Hag meninggalkan tubuh fisiknya di malam hari, arwahnya bergentayangan, dan duduk di dada orang-orang yang sedang terlelap. Cerita ini makin dipercaya oleh masyarakat setempat sebab saat sedang mengalami kelumpuhan tidur kadang-kadang mereka melihat sosok bayangan hitam di dekatnya.
Di Fiji, fenomena kelumpuhan tidur diistilahkan dengan “kana tevoro” yang berarti “dimakan oleh setan” yang dikaitkan dari kerabat dekat seseorang yang baru meninggal dan bergentayangan karena untuk urusan yang belum selesai. Di Turki, kelumpuhan tidur disebut dengan “kerabasan” yang kurang lebih berarti serupa, yakni arwah gentayangan yang mengunjungi orang-orang yang sedang terlelap.
Dalam cerita rakyat Thailand ada hantu bernama Phi Am yang menjadi biang penyebab kelumpuhan tidur. Di Meksiko pengalaman ini disebut “se me subio el muerto” dan lagi-lagi dihubung-hubungkan dengan arwah penasaran yang menempel pada raga seseorang. Sedangkan di dalam cerita rakyat Jepang disebut “kanashibari” dan secara harfiah artinya seseorang yang sedang diikat oleh makhluk halus.
Orang Indonesia di zaman pra-modern juga punya kepercayaan yang tak jauh berbeda. Sebagian bangsa Melayu lain, menyebut fenomena kelumpuhan tidur sebagai ketindihan atau kena tindih. Makhluk halus yang menindih bisa beragam, mulai dari setan sampai jin. Penyebabnya karena dianggap lupa berdoa sebelum tidur. Semua ini akhirnya terjawab oleh sains.
Sains Menjelaskan
Peradaban manusia berevolusi makin modern, masyarakat mulai mengedepankan sains. Para ahli di bidang psikologi serta neurologi sudah sejak lama menjawab fenomena kelumpuhan tidur. Kelumpuhan tidur adalah gangguan dari fase tidur REM. Fase REM adalah fase puncak saat seseorang sedang nyenyak dan sebagian orang melewatinya dengan mimpi. Selama fase REM, otot-otot tubuh sedang diistirahatkan sehingga seolah-olah raga sedang lumpuh. Istilah “paralysis” menggambarkan manakala kondisi otak sudah sadar, tapi tak mampu menggerakkan anggota tubuh.
Mengapa sebagian orang melihat atau merasakan ada sosok yang menindih atau di sekitar tempat tidur? Psikologi menyimpulkan bahwa gambaran tersebut tak nyata dan bukan representasi dari makhluk halus dalam mitos masa lalu. Halusinasi tersebut muncul akibat rasa takut yang membuat sosok menyeramkan di mimpi sebelumnya muncul kembali. Halusinasi itu juga bisa muncul akibat orang yang bersangkutan benar-benar mempercayai fenomena “tindihan” sebagai ulah makhluk halus yang memberikan sugesti.
Maurice M. Ohayon, seorang profesor ilmu psikiatri dan perilaku dari Stanford University, dan rekan-rekannya pernah menerbitkan penelitian tentang kelumpuhan tidur kurang lebih 17 tahun lalu pada Jurnal Neurology. Mereka menemukan bahwa 30-50 persen orang-orang yang didiagnosis narkolepsi alias gangguan tidur mengalami kelumpuhan tidur sebagai gejala tambahan. Sementara itu, tiga persen dari individu telah mengalami kelumpuhan tidur dan terjadi berulang setiap malamnya, rata-rata didiagnosis menderita gangguan kelumpuhan tidur kronis.
Di sisi lain, prevalensi kelumpuhan tidur di antara populasi umum kurang lebih mencapai 6,2 persen. Orang yang pernah mengalami kelumpuhan tidur akan mengalaminya minimal sekali dalam sebulan hingga setahun setelahnya. Belum ada kesimpulan pasti apakah pria atau perempuan yang lebih sering mengalaminya, tapi penderita kelumpuhan tidur bisa dikelompokkan berdasarkan usianya.
Kurang lebih 36 persen orang yang telah mengalami kelumpuhan tidur berasal dari kelompok usia antara 25-44 tahun. Sedangkan usia rata-rata orang pertama kali mengalami gangguan tidur ini adalah di usia 14-17 tahun. Angka ini adalah usia rata-rata remaja. Apakah bisa disimpulkan bahwa kelumpuhan tidur dialami oleh banyak siswa sekolah?
Brian A. Sharpless, asisten profesor psikologi klinis di Pennsylvania State University pada 2011, pernah menganalisa hasil dari 34 studi tentang kelumpuhan tidur yang diterbitkan selama 50 tahun terakhir dan melibatkan 36.533 responden. Ia menemukan bahwa kelumpuhan tidur dialami oleh 7,6 persen dari populasi umum. Menariknya, 28 persen dan 32 persen diantaranya adalah siswa sekolah dan pasien kejiwaan.
Brian juga menemukan bahwa kelumpuhan tidur seringnya dialami orang yang gampang panik, sebanyak 35 persen pernah mengalami kondisi ini setidaknya sekali dalam seumur hidup. Bila merujuk pada kesimpulan bahwa sleep paralysis akan mudah muncul saat seseorang memiliki beban pikiran yang berat atau sedang dalam kondisi kejiwaan yang tak menentu.
Para psikolog sepakat bahwa kelumpuhan tidur bukan gangguan berbahaya. Namun, bila terjadi terlalu sering dan membuat aktivitas sehari-hari terganggu, maka upaya menekan stres jawabannya. Luangkan waktu untuk menyegarkan pikiran dan melepas beban di pundak akibat dari kelelahan selama bekerja. Frekuensi tidur dengan waktu yang cukup dan tanpa gangguan di sekitar juga hal penting. Apa yang terjadi dengan tubuh kita tak terlepas dari apa yang kita pikirkan dan lakukan.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Suhendra