tirto.id - Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan tak tepat membandingkan data COVID-19 Amerika Serikat dan Indonesia hanya bersandar angka kasus meninggal. Ia melupakan tingkat kematian virus.
Padahal, tumpuan kebijakan pemerintah Indonesia di masa pandemi corona bergantung kasus yang terkonfirmasi positif, kasus sembuh, dan meninggal.
“Buat saya menjadi tanda tanya, kenapa jumlah yang meninggal, maaf sekali lagi, angkanya enggak sampai 500 orang? Padahal jumlah penduduk Indonesia 270 juta jiwa, infected 4000-an lebih,” kata Luhut dalam konferensi pers virtual, Selasa (14/4/2020).
Berdasarkan laporan harian COVID-19 di Indonesia, kasus terkonfirmasi pada 15 April mencapai 5.136 positif dengan 446 pasien sembuh dan 469 orang meninggal.
Luhut membandingkan data Indonesia dan Amerika Serikat hanya pada kasus meninggal. Menurutnya, sekalipun angka kasus Indonesia dikali 10 menjadi 50.000 kasus positif, itu belum menyamai angka kasus terkonfirmasi di AS.
Meski begitu, perbandingan kasus COVID-19 dalam logika Luhut seakan melupakan tingkat kematian terinfeksi SARS-CoV-2.
Perbandingan data COVID-19 dunia bergerak dari jumlah kasus ke arah case fatality rate (CFR) atau persentase tingkat kematian pada periode tertentu terhadap penyakit.
Laporan harian COVID-19 di Amerika Serikat pada 15 April menunjukkan ada 614.246 kasus terkonfirmasi dengan 26.064 orang meninggal. Sementara CFR Indonesia 9,13 persen pada 15 April, lebih dari dua kali lipat CFR Amerika Serikat (4,24 persen), bahkan melampui CFR dunia (6,32 persen), menurut data Worldometers.
Dengan demikian, meski di atas kertas kasus meninggal COVID-19 di Indonesia lebih sedikit dari Amerika Serikat, tapi tidak dengan tingkat kefatalannya di Indonesia, yang telah melampaui negara mana pun di dunia.
Luhut juga menyatakan masih sedikit jumlah orang Indonesia yang dites COVID-19.
Di AS, jumlah kasus meninggal mencapai puluhan ribu, dan negara ini telah menjalankan tes terhadap lebih dari 3 juta orang (19,7 persen terinfeksi) pada 15 April. Dalam skala 1 juta penduduknya, ada 9.455 orang dites.
Sebaliknya, di Indonesia, yang dites masih 36.431 orang (14 persen terinfeksi), jauh di bawah AS. Dengan skala 1 juta penduduk, hanya 132 orang Indonesia yang menjalani tes COVID-19.
Rasio tes COVID-19 per 1.000 penduduk Indonesia hanya 0,1 orang, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan rasio tes terendah di Asia Tenggara, menurut Ourworldindata.
Kemenkes mengakui tes reaksi berantai polimerase (PCR) harian Indonesia saat ini belum melampaui 5.000 orang. Semua tes diproses dari 32 laboratorium. Berdasarkan laporan Kemenkes, total tes PCR mencapai 36.431 per 15 April, meningkat 4.803 dibandingkan laporan sehari sebelumnya.
Indonesia berambisi meningkatkan tes Covid-19 dua kali lipat dari biasanya menjadi 10.000 dengan 78 jaringan laboratorium.
Kekhawatiran Data Tak Kredibel
Tak cukup membandingkan kasus COVID-19 dengan AS, Luhut mengklaim Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang berangsur-angsur pulih. Ia mengomentarinya dengan menyiapkan paket pariwisata bagi turis dari tiga negara itu untuk berlibur ke Bali.
Konteks klaimnya terkait kesiapan pemerintah membenahi sektor pariwisata Indonesia yang terpuruk karena pandemi COVID-19. Ia bilang pemerintah Indonesia sedang menyiapkan insentif bagi sektor pariwisata.
"Pariwisata jadi perhatian serius, tapi kami harus lihat bahwa Cina recovery cepat. Korsel dan Jepang dalam satu-dua bulan ini [pulih]. Tentu, turis mereka sudah stres selama ini. Jadi, kami siapkan [paket wisata] misal Bali. Kami buat alat pengetesan di Udayana," katanya dalam konferensi pers yang sama.
Padahal, dunia saat ini masih waspada terhadap pola perubahan SARS-CoV-2. Baru-baru ini dilaporkan ada ratusan warga Korea Selatan yang kembali positif Covid-19 setelah sembuh. Para ahli menyelidikinya apakah virus COVID-19 bermutasi sehingga pasien yang semula dinyatakan sembuh kembali terinfeksi.
Menurut studi terbaru Harvard, strategi menjaga jarak (physical distancing) dan isolasi kawasan bisa berlanjut hingga 2022 karena potensi pandemi corona berulang sepanjang belum ada vaksin. Ini menandakan dunia belum pulih sepenuhnya dari Corona; berbeda dari klaim atau pernyataan Luhut.
Selama pandemi COVID-19 di Indonesia, publik tak sepenuhnya percaya atas data dari pemerintah yang setiap hari disampaikan melalui konferensi pers di layar televisi dan media sosial.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pernah berbeda pendapat dengan Kemenkes mengenai pasien terkonfirmasi positif di Cianjur.
Saat itu Ridwan Kamil mengatakan warga Cianjur berinisial D yang meninggal 4 Maret terkonfirmasi Covid-19. Informasi itu disampaikan lebih dari sepekan setelah pasien meninggal. Ia berbeda dengan Kemenkes yang menyatakan pasien D meninggal bukan karena corona.
Simpang siur data, setelah lebih dari sebulan, menjadi catatan Presiden Joko Widodo, yang meminta data "terintegrasi dan terbuka". Sebulan lalu Jokowi memilah-milah data COVID-19 dengan alasan "agar tidak menciptakan kepanikan masyarakat."
Pekan ini Jokowi meminta Kemenkes membuka data pasien dalam pengawasan maupun orang dalam pemantauan hingga jumlah tes harian; tak cuma kasus positif, kasus meninggal, dan kasus sembuh.
Catatan itu dituruti. Selama dua hari terakhir, juru bicara pemerintah dalam penanganan COVID-19 Achmad Yurianto mengumumkan data-data yang diminta Jokowi kepada publik setiap sore.
Betapapun terlambat, pada pekan ini, ada langkah pemerintah menyadari situasi darurat pandemi. Di sisi lain, Menko Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan, notabene pembantu Presiden Jokowi, kembali berkomentar kontroversial; bahwa angka meninggal di Indonesia "tak sampai 500 orang", yang bertendensi menunjukkan situasi Indonesia "masih lebih baik" dari Amerika Serikat.
Model komunikasi krisis macam itu berbahaya. Ainun Najib, salah satu relawan Kawal COVID-19, telah mengingatkan bahwa upaya-upaya memburamkan data COVID-19 bisa bikin masyarakat Indonesia terlena, seolah-olah situasi saat ini aman-aman saja.
Editor: Abdul Aziz