tirto.id - “Damai bukan hanya tidak adanya perang. Banyak wanita yang melakukan karantina karena Covid-19 menghadapi kekerasan di mana mereka seharusnya paling aman: di rumah mereka sendiri,” kata Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) António Guterres.
Guterres membuat seruan melalui video berdurasi satu menit 57 detik yang diunggah melalui akun Twitter pribadinya pada 6 April 2020 lalu. Ia menyebut telah terjadi “gelombang KDRT yang mengerikan berskala global”.
Di beberapa negara, sejumlah perempuan yang meminta pertolongan melonjak dua kali lipat untuk mendapatkan layanan perlindungan. Sementara layanan kesehatan dan polisi kewalahan dan kekurangan personel.
Menurutnya, karantina atau lockdown memang penting untuk menanggulangi persebaran Covid-19. Namun, hal itu dapat menjebak perempuan-perempuan dengan pasangan yang kerap melakukan kekerasan.
Oleh karena itu, ia menyerukan untuk kedamaian di rumah dan di seluruh rumah di dunia.
“Saya mendesak semua pemerintah untuk membuat pencegahan dan mengatasi kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian dari langkah penting dari rencana nasional untuk merespons COVID-19,” ujarnya.
Selama 2019, Komnas Perempuan mencatat setidaknya 11.105 kasus KDRT terjadi di Indonesia. Pembatasan sosial yang mulai diberlakukan sejak awal Maret 2020 lalu diprediksi akan membuat kasus KDRT semakin meningkat.
Berdasarkan data dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (Apik) selama 16 Maret hingga 30 Maret 2020 terdapat 59 kasus kekerasan, perkosaan, pelecehan seksual, dan online pornografi yang terjadi. Di antara kasus tersebut, 17 di antaranya adalah kasus KDRT.
Menurut LBH Apik, jumlah ini meningkat tiga kali lipat dibandingkan sebelum diberlakukannya imbauan pembatasan sosial. Angka tersebut merupakan jumlah kasus tertinggi yang pernah dicatat oleh LBH Apik dalam kurun waktu dua pekan.
Di Indonesia belum ada laporan spesifik terkait peningkatan kasus KDRT selama masa pandemi COVID-19. Namun, laporan peningkatan kasus KDRT di Kota Yogyakarta selama masa pandemi menjadi alarm bagi daerah lain atau bahkan secara nasional tentang “gelombang KDRT mengerikan” seperti apa yang disebut Guterres.
Di Kota Yogyakarta, kasus KDRT mengalami peningkatan pada Maret 2020 sejak adanya seruan pembatasan aktivitas sosial. Pemerintah membuat kebijakan untuk menjalankan segala aktivitas dari rumah, termasuk bekerja dan beribadah untuk mencegah penyebaran Corona.
“Pada Februari, sempat terjadi penurunan kasus dibanding Januari sehingga kami pun berharap ada penurunan kasus pada Maret. Namun, ternyata justru terjadi kenaikan. Kenaikan terjadi sejak pertengahan Maret,” kata Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak (DPMPPA) Kota Yogyakarta Edy Muhammad di Yogyakarta, Senin (13/4/2020), dikutip dari Antara.
Berdasarkan data dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Yogyakarta jenis kekerasan yang dialami sebagian besar adalah psikis.
Rincian KDRT yakni pada Januari tercatat 13 kasus dengan korban 11 perempuan dan dua laki-laki; Februari 10 kasus, sembilan perempuan dan satu laki-laki sebagai korban; dan Maret meningkat menjadi 18 kasus, korbannya 14 perempuan dan empat laki-laki.
Menurut dia, kekerasan terhadap anak juga meningkat yakni pada Januari ada dua kasus; Februari satu kasus; dan Maret ada enam kasus.
“Faktor utamanya adalah pada kondisi ekonomi keluarga yang kemudian berpengaruh pada kondisi emosi seseorang. Namun, kami belum bisa menyimpulkan apakah hal ini juga terkait dengan dampak COVID-19 atau tidak,” ungkapnya.
Karantina Bisa Bikin Orang Stres & Berperilaku Kasar
Nur Hidayati Handayani konselor dari Yayasan Pulih, sebuah lembaga yang peduli pada layanan korban kekerasan dan penguatan psikososial korban bencana mengatakan bahwa situasi darurat bencana pandemi Covid-19 cenderung mengakibatkan stres.
Handa yang tergabung dalam koalisi peduli kelompok rentan korban Covid-19 memberikan paparan melalui video teleconference, Selasa (14/4/2020). Ia menyebut stres di tengah pandemi itulah yang kemudian menghasilkan perilaku kekerasan termasuk KDRT.
“Dalam situasi darurat ada yang namanya respons stres dan ketika situasi darurat terjadi maka stres respons kita muncul,” kata Handa.
Yang bisa dilakukan orang dalam merespons stres adalah dengan melawan atau lari. Dengan situasi darurat yang mengharuskan semua orang membatasi aktivitas luar rumah maka lari sulit untuk dilakukan.
Maka reaksi sebagian besar orang adalah dengan melawan. Dan ketika melawan stres yang muncul ini kemudian secara biologis jantung akan berdebar kencang dan adrenalin yang ditimbulkan seperti siap akan berkelahi.
Lalu bagi mereka yang berkeluarga dan belum dapat menyikapi kesiapan mental dengan kecakapan hidup termasuk bagaimana merespons stres akan menjadi persoalan. Ia tidak dapat mengekspresikan, mengatur emosi sehingga yang keluar adalah perilaku tidak sehat di dalam rumah tangga.
Selain itu, intensitas pertemuan dan interaksi pasangan juga menjadi salah satu faktor terjadinya KDRT. Dalam situasi pandemi saat ini, banyak pasangan harus bertemu sehari selama 24 jam. Padahal, kata Handa, dalam interaksi yang sehat setiap individu butuh waktu untuk sendiri.
Namun, karena dalam masa karantina dan mereka tidak punya pengetahuan tentang hal itu, maka mau tidak mau banyak pasangan harus bertemu terus-terusan. Sedangkan mereka tidak punya kemampuan menyampaikan kebutuhan emosionalnya.
“Sehingga yang keluar itu adalah perilaku yang kasar dan cenderung menyiksa. Itu kenapa tren KDRT cenderung meningkat dalam situasi darurat,” ujarnya.
Pemerintah Harus Berperspektif Gender Tangani Covid-19
Handa menyebut untuk menangani kasu KDRT yang disebabkan pandemi ini, pemerintah perlu memiliki panduan bagaimana mengintegrasikan gender dalam situasi bencana. Perlu ada layanan yang berperspektif gender dan perlindungan supaya anak tidak ada eksploitasi.
Namun, tentunya situasi darurat saat ini, kata dia, berbeda dengan situasi darurat saat bencana lainnya. Pandemi mengharuskan orang tidak bertemu dan tidak melakukan kontak fisik.
“Maka yang negara dapat lakukan adalah bersama-sama mencari inovasi bagaimana memasukkan perspektif gender atau membuat suatu panduan yang lebih praktis disesuaikan dengan situasi COVID-19. Panduan terhadap kasus KDRT, apa yang perlu dilakukan,” kata dia.
Maidina Rahmawati, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam kesempatan yang sama mengatakan dalam kondisi seperti ini sudah seharusnya pemerintah mengedepankan kesehatan masyarakat.
Pemerintah, kata dia, sudah seharusnya mengesampingkan target-target pengesahan undang-undang baru yang masih menjadi polemik, dan juga mengesampingkan soal kelanggengan investasi.
Yang paling penting, kata dia, adalah upaya untuk memprioritaskan kesehatan masyarakat lewat adanya kebijakan atau regulasi yang memastikan bahwa upaya penanggulangan pandemi ini dilakukan secara komprehensif.
“Dan yang pasti setiap rumusan kebijakan atau pun langkah yang diambil di setiap tingkatan dari daerah hingga pusat harus ada perspektif gender di dalamnya. Harus memperhatikan kebutuhan spesifik kelompok rentan,” kata Maidina.
Layanan Aduan Korban KDRT Harus Mudah Dijangkau
Teza Farida perwakilan dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang juga tergabung dalam koalisi menyampaikan lima tuntutan koalisi yang harus segera dipenuhi oleh negara dalam mengatasi pandemi COVID-19.
Pertama, agar pemerintah menghentikan segala pembahasan Rancangan Undang-Undang bermasalah, khususnya RKUHP, RUU Omnibuslaw Cipta Lapangan Kerja, dan RUU Ketahanan Keluarga.
Pemerintah dituntut mengambil kebijakan strategis dalam merespons COVID-19 dengan memperhatikan aspek-aspek gender dan prinsip non diskriminatif terhadap minoritas gender, termasuk menjamin ruang kepemimpinan tersedia bagi kelompok rentan.
Kemudian memberikan jaminan ekonomi kepada masyarakat kecil, khususnya mereka yang tidak memiliki jaminan kesehatan atau pun penghasilan tetap. Sekaligus mengantisipasi terjadi PHK masal pada buruh-buruh di Indonesia.
Memberikan akses layanan aduan KDRT yang mudah dijangkau, mulai dari konseling hingga tempat aman sementara bagi korban serta mengimbau pentingnya kesetaraan gender di rumah dan lingkungan umum lainnya selama atau pun setelah wabah COVID-19.
Dan yang terakhir, pemerintah dituntut memastikan ketersediaan alat pelindung diri (APD) untuk tenaga kesehatan perempuan dan memperhatikan aksesibilitas layanan kesehatan mental di Indonesia termasuk juga pencegahan wabah COVID-19 di panti-panti kesehatan jiwa.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Maya Saputri