tirto.id - Sudah lima tahun, N (inisial), Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Bandung, hanya menerima gaji sebesar Rp 500 ribu. Ia pun tak diperbolehkan berkomunikasi maupun bertemu dengan keluarga. Akibat perlakuan majikannya tersebut, pada 2016, pengadilan memutuskan sang majikan harus membayar restitusi kepadanya sebesar Rp 150 juta.
Diceritakan kembali oleh Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Lies Sulistiani, sebelum berhasil kabur pada 2016, N kerap mendapatkan perlakuan keji dari majikannya. Gambar-gambar presentasi Lies memperlihatkan luka-luka di tubuh N. Diduga ia pernah dipukul dengan palu dan tubuhnya disiram air panas. Tak hanya itu, N juga pernah digantung dengan posisi tubuh terbalik selama beberapa jam, dipaksa meminum air panas yang dicampur cabai, dan dijejalkan sendok panas ke mulutnya.
“Selama ini restitusi lazim diberikan pada korban perdagangan orang. N hanya contoh kecil bagaimana korban KDRT seharusnya juga patut mendapat restitusi,” kata Lies dalam jumpa pers di Kantor LPSK, Jakarta, Selasa (8/8/2017).
- Baca : Mereka Pekerja Bukan Budak
Masih sedikitnya korban KDRT yang mendapat restitusi (ganti rugi), menurut Lies, diakibatkan UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga tidak mengatur secara eksplisit mekanisme restitusi kepada korban KDRT. Sementara hal sebaliknya telah diatur dalam UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Meski begitu, LPSK telah diberi kewenangan menghitung kerugian para korban KDRT. Hal tersebut termaktub dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
“Ketika mengadvokasi korban di pengadilan, fokus kami bukan hanya pelaku dijatuhi pidana, tapi juga bagaimana korban bisa dipulihkan dan mendapat haknya sesuai Undang-Undang,” ujarnya.
Pada kasus N, LPSK awalnya menghitung total kerugian korban mencapai Rp 307 juta. Namun, pelaku lewat kuasa hukumnya, hanya menyanggupi setengah dari tuntutan. Selain diwajibkan membayar restitusi, pelaku juga dijatuhi hukuman pidana, walau hanya selama 9 bulan dipotong masa tahanan.
Rekor KDRT di Indonesia
Angka KDRT di Indonesia terhitung tinggi. Meski begitu, sangat sedikit korban yang sadar untuk memperjuangkan hak-halnya. Merujuk data jumlah terlindung LPSK pada 2017 yang hanya mencapai 2400an orang, terlindung KDRT hanya mencapai 1-2 persen dari estimasi total kasus.
“Hanya 12 orang dewasa dan 7 usia anak,” kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai dalam kesempatan yang sama.
Padahal, merujuk data Komnas Perempuan, dari 13.602 kasus yang masuk dari lembaga mitra penyedia layanan, kekerasan yang terjadi di ranah personal tercatat mencapai 75% atau 10.205 kasus. Data pengaduan langsung ke Komnas Perempuan menunjukkan tren serupa: KDRT/relasi personal lain menempati posisi kasus yang paling banyak diadukan yaitu sebanyak 903 kasus (88%) dari total 1.022 kasus yang masuk.
Dari 13.602 kasus, Kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama yakni 5.784 kasus (56%), disusul kekerasan dalam pacaran mencapai 2.171 kasus (21%), kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 1.799 kasus (17%). Sisanya kekerasan oleh mantan suami, kekerasan mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
Dalam ranah rumah tangga, persentase tertinggi adalah kekerasan fisik sebanyak 42% (4.281 kasus), diikuti kekerasan seksual 34% (3.495 kasus), kekerasan psikis 14% (1.451 kasus) dan kekerasan ekonomi 10% (978 kasus). Untuk kekerasan seksual di ranah KDRT/personal, perkosaan menempati posisi tertinggi sebanyak 1.389 kasus, diikuti pencabulan sebanyak 1.266 kasus, dan perkosaan dalam perkawinan (marital rape) sebanyak 135 kasus.
- Baca : Penyintas Perkosaan
Sementara, pelaku kekerasan seksual tertinggi di ranah KDRT/personal dilakukan oleh pacar sebanyak 2.017 orang. Kekerasan dalam ranah personal didasarkan pada pelaku yang masih memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban. Masih menurut Komnas Perempuan, mayoritas korban di ranah personal berada pada rentang usia 25-40 tahun.
“Jika dirata-rata, setidaknya 30 kasus KDRT terjadi setiap hari di Indonesia, itu belum kasus yang tidak dilaporkan,” lanjut Abdul.
Salah satu penyebab tingginya kasus KDRT, menurutnya, lantaran kejadian berlangsung di ranah privat. Sehingga kurang memungkinkan orang di luar lingkaran untuk memberi perlindungan pada korban. Pihak penyidik pun memiliki hambatan untuk menemukan bukti karena banyaknya korban yang tak langsung melaporkan kejadian. Hal itu menyulitkan pengumpulan bukti, termasuk visum.
Jika korban akhirnya memutuskan melapor, waktu yang dihabiskan untuk memperjuangkan restitusi tidaklah sedikit. Sebab, restitusi lazimnya masuk wilayah perdata, sementara tindak KDRT masuk pada persidangan pidana. Sehingga, jika kedua proses tersebut dijalankan, maka korban akan harus mengalokasikan waktu maupun materil.
- Baca : Menggantung Nasib PRT
Bebeda dengan biaya pidana yang sudah ditanggung negara, dalam gugatan perdata, saat proses pendaftaran, penggugat terlebih dulu membayar biaya perkara yang kisarannya bisa mencapai Rp 1 juta. Jumlah tersebut terbilang besar bagi PRT yang masih banyak digaji di bawah Rp 1 juta.
“Tapi sekarang kita bisa satukan pidana dan ganti rugi dalam penggabungan perkara dan masuk ke proses peradilan pidana. Sehingga waktunya lebih singkat,” papar Abdul.
Mekanisme penggabungan perkara ini dimulai dari pendampingan LPSK beralih ke Jaksa Penuntut Umum (JPU), memasukkan tuntutan dan diakhiri putusan hakim. Bersamaan dengan jatuhnya vonis, maka besaran ganti rugi juga diputuskan. Sayangnya, masih banyak korban KDRT yang tak mengerti ketentuan ini dan menerima saja segala kekerasan yang dialaminya.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Zen RS