Menuju konten utama

Menggantung Nasib PRT

Menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT) di negeri ini masih berisiko. Setiap tahun, kasus penganiayaan terhadap PRT jumlahnya ratusan. Sementara Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT (RUU PPRT) terkatung-katung di DPR sejak tahun 2004. Padahal justru bertujuan melindungi PRT dan juga majikan.

Menggantung Nasib PRT
Aktivis yang tergabung dalam jaringan nasional advokasi pekerja rumah tangga (Jala PRT) melakukan aksi unjuk rasa di depan Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (7/10). Jala PRT menutut pemerintah dan DPR segera membahas dan mengesahkan RUU PRT. [antara foto/akbar nugroho gumay/15]

tirto.id - Sri Siti Marni (21), gadis Pekerja Rumah Tangga (PRT), di Jakarta Timur berhasil kabur setelah disekap majikannya selama sembilan tahun. Pagi hari, 9 Februari 2016, Marni nekat meluncur dengan seutas kabel dari lantai tiga ke halaman tetangga, setelah majikannya berangkat kerja. Dia terseok-seok berjalan menuju Pos Polisi terdekat.

Gadis asal Bogor itu menangis saat bertemu polisi. Marni kemudian dilarikan ke rumah sakit karena luka-luka di tubuh. Sekujur wajahnya bengap. Kepala dan telinga membiru. Pada perutnya ada bekas panas setrika, sementara di dada tampak luka bekas disiram air panas.

Itulah "imbalan" kesetiaan Marni yang sudah mengabdi pada majikannya sejak 2007. Marni baru berusia 12 tahun ketika mulai bekerja. Ia terkena bujuk rayu dengan iming-iming akan disekolahkan. Sampai di kota, janji majikan tak kunjung terealisasi. Marni malah dijadikan PRT. Sejak itu pula, Marni mengalami tindak kekerasan dan tak digaji.

Apa yang terjadi pada Marni merupakan potret rentannya risiko menjadi PRT di Indonesia. Itu baru di dalam negeri. Kabar penganiayaan yang dialami PRT asal Indonesia di luar negeri juga tak kalah mengerikan. Banyak TKI yang bekerja sebagai PRT di luar negeri pulang dalam keadaan hilang ingatan, sakit berat, bahkan terkadang yang hanya jasad tak bernyawa yang kembali ke kampung halaman.

Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) yang berkonsentrasi dalam mengadvokasi PRT, merilis ada 408 kasus tindak kekerasan terhadap PRT yang terjadi di dalam negeri pada tahun 2014. Kemudian 402 kasus di tahun 2015 dan 108 kasus sejak Januari hingga Maret 2016. Dalam catatan Jala PRT, sebanyak 75 persen kasus kekerasan PRT terhenti di kepolisian. Sangat sedikit yang berlanjut di pengadilan dan berujung vonis hukuman bagi si majikan jahat.

Hal yang menyedihkan, jumlah penganiayaan serta nasib PRT seperti yang dialami Marni, tampaknya tidak cukup untuk membuat pemerintah dan para wakil rakyat di DPR membuka mata. Buktinya, sampai saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang khusus untuk melindungi PRT. Padahal, ada 10,7 juta PRT di Indonesia yang bekerja tanpa perlindungan.

Jalan Berliku RUU PRT

Persoalan yang dihadapi PRT, sejatinya sudah menjadi perhatian Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang mengeluarkan Konvesi 189 tentang Pekerjaan Yang Layak Bagi Pekerja Rumah Tangga, pada tahun 2011. Saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga berjanji akan meratifikasinya.

Lita Anggraini, Koordinator Nasional Jala PRT, mengatakan, jauh sebelum lahir Konvensi 189, tepatnya pada 2004, Jala PRT bersama Komnas Perempuan dan elemen masyarakat lainnya telah mengajukan Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT (RUU PPRT) kepada pemerintah dan DPR. Draf sempat masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR, tetapi hingga tahun 2009 tak juga dibahas.

Lebih parah lagi, pada 2010, RUU PPRT nyaris hilang dari daftar Prolegnas karena sejumlah fraksi seperti Golkar, PAN dan Demokrat menolak. “Kami protes kenapa dihilangkan? Akhirnya tidak jadi hilang dan tetap masuk Prolegnas,” kata Lita kepada tirto.id, di Jakarta, pada Kamis (23/6/2016).

Kabar baik muncul pada tahun 2011, ketika Komisi IX DPR membuat Panitia Kerja (Panja) untuk membahas draf tersebut. Irgan Chairul Mahfiz dari Fraksi PPP ditunjuk sebagai menjadi ketua. Keberadaan Panja sempat membawa harapan baru meski ternyata pembahasan sempat dihentikan.

Lita dan teman-teman pun mendesak DPR untuk kembali membahasnya. Setahun kemudian, pembahasan kembali dilakukan. Pada Agustus 2012, DPR melakukan studi banding ke Afrika Selatan dan Argentina. Sepulangnya, DPR melakukan uji publik di Makasar dan Jawa Timur.

“Setelah itu draf dibawa ke Badan Legislasi pada April 2013. Tapi setelah itu mentok, dilanjut lagi pada bulan Juni. Tapi sampai akhir periode DPR (2014), tidak pernah dibahas,” ungkapnya.

Pada tahun 2015, RUU PPRT sama sekali tidak disentuh oleh anggota DPR periode 2014-2019. Barulah di pengujung tahun 2015, RUU PPRT kembali masuk Prolegnas, meski masuk dalam daftar tunggu.

“Jika memungkinkan RUU itu baru akan dibahas pada 2017 mendatang,” kata Irma Suryani Chaniago, anggota Komisi IX DPR yang membidangi ketenagakerjaan.

Menegosiasikan Nasib PRT

Padahal bisa dikatakan bahwa RUU PRT bakal menjadi aturan progresif terkait perlindungan terhadap PRT di Indonesia. Draf RUU PRT tersebut tidak hanya mengatur soal perlindungan terhadap PRT, tetapi juga secara keseluruhan mengubah konstruksi hubungan majikan dan PRT.

Selama ini, majikan ibarat raja kecil sementara PRT adalah hamba sahaya. RUU PRT ini mengubah relasi kuasa menjadi hubungan kerja formal layaknya pekerja pada umumnya. Bedanya, apa yang dikerjakan adalah urusan domestik rumah tangga.

Sayangnya, poin-poin baik RUU PPRT ini ternyata belum bisa sepenuhnya diterima oleh para wakil rakyat. Anggota DPR masih melihat adanya pasal-pasal yang tidak bisa diterapkan di Indonesia, seperti soal pembagian kerja dan pengupahan.

Menurut Irma Suryani, beberapa poin tidak implementatif. Misalnya Pasal 6 yang menyebut tentang kategorisasi pembagian kerja PRT mulai dari memasak, mencuci pakaian hingga merawat anak.

“Dalam draf banyak klausul yang membuat masyarakat takut. Pembagian kerja misalnya, ada PRT yang spesial masak, spesial cuci, atau bersih-bersih rumah. Ini tidak mungkin bisa terjadi di Indonesia. Kultur kita, PRT masih mengerjakan semua,” kata politisi Nasdem tersebut.

Poin lainnya soal upah. Pada pasal 39 disebutkan, upah PRT sekurang-kurangnya adalah upah minimal kabupaten/kota di mana PRT tersebut dipekerjakan. Persoalan ini dianggap tak implementatif karena justru membuat masyarakat enggan, bahkan takut mempekerjakan PRT.

Irma mencontohkan pasangan suami-isteri pekerja yang total bergaji Rp 7,5 juta per bulan. Jika mereka harus membayar PRT sebesar UMR, tentu bakal sangat memberatkan. “Di Jakarta saja UMR Rp 3,1 juta. Padahal para PRT rata-rata dibayar Rp 1,3 juta sampai Rp 1,5 juta. Yang ada nanti orang tidak mau mempekerjakan PRT,” katanya.

Dua argumen soal spesifikasi pekerjaan dan upah ini dibantah Lita. Menurutnya, dua poin itu sudah ada jalan keluarnya. Di dalam RUU PPRT, PRT dimungkinkan mengerjakan pekerjaan lebih dari satu, meskipun tetap mempertimbangkan luas rumah dan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah. Sementara soal upah, penerapan UMR dilakukan secara bertahap.

Jika pemberi kerja tidak bisa memberikan UMR, maka pemberi kerja bisa mempekerjakan PRT dengan sistem paruh waktu.

“Dibayar per jam sebenarnya bisa. Kita lihat ada Go-Clean yang per jamnya Rp 45.000. Itu bisa diterapkan, tapi tentu tetap ada rasionalisasi UMR,” kata Lita yang berharap RUU dibahas tahun ini.

Masih menurut Lita, pihaknya bisa memahami jika bakal ada negosiasi terhadap pasal-pasal yang ada. Namun, khusus masalah jaminan sosial, perjanjian kerja dan hak dasar, menjadi poin yang tidak bisa dinegosiasikan.

“Pertama adalah soal pengakuan karena selama ini PRT tidak dianggap sebagai pekerjaan. Lalu jaminan sosial, libur dan jam kerja. Kemudian hak dasar. Kami tentu siap untuk memperbaiki draf yang ada supaya lebih implementatif,” tegasnya.

Majikan Juga Dilindungi

Hal menarik lainnya, RUU PPRT sejatinya bukan hanya melindungi PRT. Para majikan sebenarnya juga dilindungi dan diuntungkan. Sebut saja terkait kontrak kerja dan penghapusan agen penyalur PRT.

Tidak boleh dipungkiri jika ada PRT yang bekerja tidak baik. Irma pernah merasakan saat menggunakan jasa PRT melalui sebuah yayasan. Baru sebulan bekerja, PRT ternyata pulang kampung. Pihak yayasan hanya menjanjikan mencarikan pengganti. Tapi hingga dua bulan, bukannya mendapatkan pengganti, Irma justru harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan pengganti.

“Kita tidak bisa menutup mata, ada saja oknum. Saya pernah dapat dua PRT yang kerjanya main handphone saja. Rata-rata yang nggak benar itu dari yayasan,” ujar politisi Partai Nasdem tersebut.

Kasus yang dialami Irma bisa dicegah jika RUU PPRT disahkan. Sebab di dalamnya mengatur tentang kontrak kerja dan penghapusan agen.

Pada pasal 10, ada 11 poin yang harus dicantumkan dalam kontrak kerja. Beberapa di antaranya terkait identitas dan jenis pekerjaan. Pemberi kerja atau majikan, berhak mendapatkan informasi yang jelas tentang asal-usul dan kinerja PRT yang akan dipekerjakan.

Begitu juga dengan keberadaan agen penyalur yang lebih mirip makelar dan kerap merugikan majikan maupun PRT. Ada agen penyalur yang semena-mena memotong gaji PRT atau meminta bayaran lebih dari majikan.

Kelak jika RUU PPRT disahkan, maka keberadaan agen bakal dihapus. Penyaluran PRT akan diambil alih pemerintah melalui Balai Latihan Kerja (BLK). Pada pasal 55 bahkan disebutkan, jika ada yang nekat membuat agensi, diancam hukuman sedikitnya 2 tahun penjara atau maksimal 5 tahun dengan denda paling sedikit Rp 100 juta.

Jadi kalau memang menguntungkan PRT dan majikannya, mengapa harus berlama-lama?

Baca juga artikel terkait RUU PRT atau tulisan lainnya dari Kukuh Bhimo Nugroho

tirto.id - Indepth
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti