Menuju konten utama

12 Tahun RUU PPRT Diabaikan Para Wakil Rakyat

Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) tak juga dibahas oleh anggota DPR. Sudah 12 tahun RUU itu tak tersentuh oleh para wakil rakyat. Publik juga sepertinya adem ayem. Padahal, kaum kecil seperti PRT sangat membutuhkan payung hukum ini.

12 Tahun RUU PPRT Diabaikan Para Wakil Rakyat
Mantan anggota DPR RI, Fanny Safriansyah alias Ivan Haz menunggu sidang dakwaan atas dirinya di pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (8/6). Ivan Haz diduga melakukan pengangiayaan terhadap pembantunya dan dijerat dengan pasal 44 dan pasal 45 UU Np 23 tahun 2004 tentang pemberantasan kekerasan dalam rumah tangga [Antara foto/rosa panggabean/pras/16]

tirto.id - Ivan Haz kini meringkuk di tahanan. Politisi Partai Persatuan Pembangunan yang baru saja dipecat dari anggota Dewan itu menjadi salah satu tersangka kasus penganiayaan PRT. Aksi kekerasannya terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) tertangkap CCTV di apartemennya.

Dalam rekaman CCTV terlihat, PRT di apartemen Ivan melarikan diri karena ketakutan. PRT malang itu nekat lari dan melompati tembok apartemen yang tingginya sekitar 4 meter. Rekaman itu secara jelas menunjukkan bagaimana Ivan membentak PRT-nya.

“Kamu tahu enggak siapa saya? Saya anggota DPR. Saya ini anaknya Hamzah Haz,” ungkap Anggota Kehormatan Dewan (MKD). Maman Imanulhaq, menirukan ucapan Ivan Haz, sebagaimana terungkap dalam CCTV itu.

Kasus putra mantan Wapres Hamzah Haz yang juga terjerat kasus narkoba itu membuat masyarakat geram. Publik menyesalkan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan wakil rakyat yang seharusnya melindungi wong cilik.

Perilaku Ivan hanya satu dari sekian banyak kasus penganiayaan terhadap PRT. Ini terjadi karena selama ini tidak ada payung hukum yang kuat untuk melindungi PRT.

Selama 12 tahun Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) terbengkalai di ruang arsip Komisi IX DPR. Sejak diajukan pada 2004, RUU tak kunjung mendapat kejelasan bakal diundangkan meski sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Tidak ada alasan yang jelas mengapa para wakil rakyat ini abai terhadap UU tersebut. Sejumlah anggota DPR menyebut, RUU ini tidak bisa diterima oleh masyarakat karena terlalu memberatkan pihak majikan. Namun, hal itu ditepis oleh Komnas Perempuan.

Magdalena Sitorus, komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, mengindikasi adanya conflict of interest saat pembahasan RUU pPRT di Senayan. Sebab, para wakil rakyat yang akan mengundang-undangkan RUU tersebut seluruhnya berada dalam posisi majikan. Dia menilai, DPR tidak bisa menempatkan diri sebagai wakil rakyat ketika membahas RUU tersebut.

“Ada wajah majikan di sana. Mereka tidak bisa memilah, mereka sebagai wakil rakyat atau mereka sebagai majikan,” kata Magdalena kepada tirto.id.

Penilaian Magdalena diperkuat hasil investigasi dan wawancara yang dilakukan Jala PRT terhadap anggota DPR pada tahun 2010. Investigasi menunjukkan, seorang anggota DPR mempekerjakan sedikitnya lima PRT dan paling banyak 11 PRT. Jika RUU pPRT disahkan dan upah seorang PRT harus sesuai dengan Upah Minimum Kabupaten/Kota, maka bisa dihitung berapa yang harus dikeluarkan.

Misalnya di Jakarta dengan Upah Minimum Regional (UMR) 2016 sebesar Rp3,1 juta. Jika rata-rata anggota DPR memiliki lima PRT, maka setiap bulan mereka harus merogoh kocek Rp 15,5 juta untuk gaji. Sementara anggota DPR yang mempekerjakan 11 PRT, dipastikan harus mengeluarkan lebih dari Rp 30 juta setiap bulannya. Tentu bukan jumlah yang sedikit.

“Itu kan baru soal upah dan beban sosial mereka. Saya tahu ada juga anggota DPR yang punya agen penyalur PRT. Kalau RUU ini gol, pasti mereka juga akan terganggu secara ekonomi,” tuding Magdalena.

Tak Ada Konflik Kepentingan

Penilaian soal adanya konflik kepentingan dibantah oleh Irma Suryani Chaniago, anggota Komisi IX DPR. Ia menegaskan, RUU PPRT ini terhambat karena banyak poin yang dianggap memberatkan majikan.

“Tidak ada conflict of interest. Mereka nggak mau membahas karena memang ini sangat memberatkan majikan. Kami justru mendorong agar RUU ini segera dibahas. Saya selalu sampaikan pada yang lain bahwa RUU ini penting. Tidak hanya melindungi PRT, tapi juga majikan,” katanya.

Irma juga membantah jika ada kekhawatiran RUU PPRT bakal menjadi bumerang bagi para anggota DPR yang terbukti melakukan penganiayaan terhadap PRT.

“Itu orang gila, sakit, kalau memperlakukan PRT seperti itu. Kita itu seharusnya memperlakukan PRT seperti keluarga. Mereka lho yang menjaga rumah kita, memasak untuk keluarga, menjaga anak kita,” katanya.

Terlepas ada tidaknya konflik kepentingan di DPR, tetapi nyatanya RUU PPRT belum juga dibahas. Kita tunggu saja hasil negosiasi terhadap pasal-pasal yang dianggap memberatkan para majikan.

Baca juga artikel terkait RUU PRT atau tulisan lainnya dari Kukuh Bhimo Nugroho

tirto.id - Hukum
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti