tirto.id - Dalam sebuah video yang dirilis In The Now di Facebook, tampak seorang perempuan India tengah menyerang seorang laki-laki di tengah publik. Berdasarkan informasi yang dicantumkan dalam video tersebut, diketahui bahwa si laki-laki berusaha melecehkan si perempuan.
Rupanya si laki-laki telah dipantau oleh Red Brigade, kelompok perempuan yang terdiri dari korban-korban perkosaan yang berkampanye melawan kekerasan terhadap perempuan. Mereka kerap berpatroli di jalan-jalan untuk mencari para laki-laki yang melecehkan perempuan. Tidak hanya itu, dalam video yang telah dilihat sebanyak 8,6 juta kali ini juga diinformasikan bahwa Red Brigade menyelenggarakan kelas-kelas pertahanan diri untuk perempuan. Di India, tingkat kekerasan seksual terhadap perempuan memang cukup tinggi. Setiap 20 menit, satu perempuan mengalami perkosaan.
Ancaman kekerasan seksual terhadap perempuan memang jamak ditemukan di berbagai tempat. Tidak semua berani bersuara atau melawan si pelaku, terlebih jika korban sempat mengalami pelecehan sejenis sebelumnya. Maka, ketika muncul pemberitaan korban-korban berhasil menyintas bahkan tak ragu melawan balik aksi-aksi yang membikin mereka trauma, apresiasi pun bermunculan.
Selain Red Brigade, di India terdapat seorang penyintas perkosaan berhasil menyita perhatian publik dengan karya-karya sosial yang dibuatnya. Adalah Sunitha Krishnan, perempuan yang mengalami perkosaan massal ketika berumur 12. Insiden yang menimpanya sempat membuat Krishnan marah, tetapi kemudian ia sanggup beranjak dari pengalaman pahitnya dan membentuk organisasi anti-trafficking, Prajwala.
Organisasi ini bekerja sama dengan polisi dan penegak hukum lainnya untuk memerangi eksploitasi seksual. Prajwala juga membantu merehabilitasi korban-korban sex-trafficking untuk dapat diterima kembali di masyarakat. Pada 2014, Khrisnan menerima Nelson Mandela-Graca Machel Innovation Awards dan menjadi orang India pertama yang mendapat anugerah ini.
Di Ethiopia, ada juga korban perkosaan yang berhasil menyintas dan kisahnya menginspirasi orang. Charlotte Metcalf—pembuat film dokumenter Schoolgirl Killer yang bercerita tentang seorang penyintas perkosaan bernama Aberash Bekele—menuliskan di Newsweekbagaimana tokoh utama filmnya tersebut melanjutkan hidup pasca-insiden yang dialaminya.
Pada 1997, pada usia 14 saat baru pulang sekolah, Bekele diculik sekelompok penunggang kuda di Arsii, selatan Ethiopia. Oleh salah satu penculiknya, ia diperkosa. Sang penculik lantas mengatakan bahwa ia akan mengawini Bekele. Di Arsii, ada tradisi bila laki-laki ingin memperistri seseorang, ia bisa menculiknya terlebih dahulu. Statistik pada tahun 1998 menunjukkan bahwa 30 persen perkawinan di sana dilakukan dengan cara ini dan melibatkan berbagai bentuk kekerasan.
Bekele pun berusaha kabur setelah diam-diam mencuri senjata penculiknya. Ketika dikejar, ia mencoba mempertahankan diri dengan menembak salah satu dari antara mereka. Namun, lepas dari cengkeraman para penculik tak membuat hidup Bekele lebih lega. Ia terus diteror dengan ancaman pembunuhan dan penegak hukum pun mencoba memenjarakannya. Ethiopian Women Lawyers’ Association yang mendengar kasus Bekele lantas berinisiatif mengadvokasi remaja tersebut.
Kasus Bekele tidak hanya menarik perhatian orang lokal. Berkat "Schoolgirl Killer" yang dipublikasikan di BBC pada 1999, Bekele mendapat bantuan dana pendidikan dari publik Inggris. Aktris dan produser Hollywood, Angelina Jolie, pun tertarik membuatkan film tentang Bekele dan mendatangkan penghargaan dari festival-festival film seperti Sundance, Berlin, Montreal, dan Amsterdam.
Pada 2015, Bekele dilaporkan bergabung dengan Harmee, LSM yang berkampanye melawan kekerasan terhadap perempuan di Arsii. Kejadian pahit yang dialami Bekele membuatnya berkomitmen untuk mengubah tradisi kekerasan di Ethiopia. Perjuangannya membuahkan hasil: banyak perempuan Arsii yang kini berkesempatan mengecap pendidikan dan belajar untuk melawan tradisi yang menindas mereka sejak lama.
Pentingnya pendidikan untuk meningkatkan kesadaran melawan kekerasan berbasis gender juga ditekankan oleh Mukhtar Mai, penyintas perkosaan lain dari Pakistan. Diwartakan CNN, pada usia 28, ia mesti mengalami “balas dendam kehormatan” berupa perkosaan massal lantaran adik laki-lakinya yang berusia 12 dituduh melakukan tindak kriminal terhadap perempuan suku lain.
Perempuan yang tidak pernah duduk di bangku sekolah dan sempat dinikahkan oleh orangtuanya pada usia 13 hingga bercerai ini tak patah arang saat nasib tragis menimpanya. Mai bangkit dan membangun Mukhtar Mai Women’s Organization yang bervisi membantu para perempuan Pakistan memperoleh hak-haknya.
Dengan uang yang dikumpulkannya selama belasan tahun bekerja, ia menjadikan salah satu ruangan di rumahnya sebagai sekolah untuk perempuan. Ia sadar, kurangnya pendidikan untuk para perempuan di sana menyebabkan buruknya perlakuan terhadap mereka. Sekolah tersebut memiliki satu guru dan bermurid tiga orang, termasuk dirinya.
“Sekolah pertama yang saya ikuti adalah sekolah bentukan saya sendiri,” begitu ujar Mai kepada CNN.
Kini, sekolah Mai menawarkan pendidikan, buku, dan seragam gratis untuk 550 anak perempuan dari balita hingga SMA. Sekolah ini dipertahankan Mai secara swadaya pada mulanya, sampai-sampai ia mesti menjual barang-barang sendiri demi membayar guru. Baru kemudian, karya sosialnya yang tersiar di berbagai media internasional ini mengundang insiatif pemerintah untuk memberikan donasi.
Kisah-kisah para penyintas perkosaan menunjukkan bahwa tak mesti kisah tragis menuntun mereka ke jalan buntu. Pengalaman buruk yang pernah mereka dapatkan menjadi titik berangkat memperjuangkan kebebasan dari kekerasan seksual, tak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga bagi banyak perempuan lainnya.
- Baca tulisan-tulisan lain terkait (korban) perkosaan:
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani