tirto.id - Jerat UU ITE kembali menelan korban. Baiq Nuril Maknun (36), ibu tiga anak harus menjadi pesakitan karena didakwa melanggar UU ITE. Padahal, ia justru merupakan korban dari perlakuan yang menjurus ke pelecehan seksual dari mantan Kepala Sekolah tempatnya bekerja.
Diwartakan Antara, kasus yang menjerat Ibu Nuril ini bermula dari peristiwa yang terjadi beberapa tahun silam. Pada Agustus 2012, Nuril menerima telepon dari sang Kepala Sekolah dan di dalam percakapan tersebut, terkandung pesan seputar pengalaman pribadi sang kepala sekolah yang bermuatan pelecehan seksual. Percakapan ini pun sempat direkam dan disimpan sendiri oleh Nuril hingga pada Desember 2014, seorang rekan meminjam ponselnya dan menyalin rekaman percakapan sang Kepala Sekolah dengan Nuril.
Singkat cerita, rekaman berisi aib sang Kepala Sekolah tersebut menyebar dan hal ini membuat kepala sekolah tersebut hengkang dari posisinya di SMA 7.
Alih-alih keadilan ditegakkan, nasib buruk justru menimpa Nuril. Mantan Kepala Sekolah SMA 7 tersebut melaporkan Nuril atas tuduhan mentransmisikan rekaman elektronik dan melanggar pasal 27 ayat (1) jo pasal 45 ayat (1) UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE. Ancaman hukuman 6 tahun penjara dan denda 1 miliar rupiah pun menghantui Nuril. Tidak cuma itu, selama menjalani proses hukum, keluarga Nuril diberitakan mengalami kesulitan finansial. Pasalnya, suami Nuril mesti mengurus ketiga anak mereka yang masih kecil di rumah.
Kasus Nuril ini pun lantas menyebar di dunia digital dan mendorong simpati dari para warganet serta pemerhati hukum. Sebagai bentuk rasa prihatin dan dukungan untuk Nuril, mereka menciptakan petisi dan tagar #SaveIbuNuril di media sosial guna menciptakan kesadaran betapa peliknya menjadi perempuan korban pelecehan seksual yang berupaya mencari keadilan di Indonesia.
Kesadaran Rendah tentang Pelecehan Seksual
Sebagian besar masyarakat masih awam seputar hal-hal yang digolongkan pelecehan seksual. Umumnya, yang disangka termasuk pelecehan seksual adalah ketika melibatkan kontak fisik yang represif saja. Padahal, lingkup pelecehan seksual jauh lebih luas dari itu dan juga melibatkan aksi verbal seperti permintaan, komentar, serta gestur seksual yang tidak diinginkan seseorang. Lebih lanjut, pelecehan seksual tidak hanya terjadi dalam interaksi tatap muka, tetapi juga dapat ditemukan dalam dunia online ataupun melalui pesan singkat.
Pengiriman pesan bermuatan seksual juga dikatakan bagian dari pelecehan. Berdasarkan definisi dari Equal Employment Opportunity Commission, pelecehan seksual juga meliputi telepon tidak diinginkan dan menceritakan pengalaman seksual seseorang. Sementara untuk konteks hukum Indonesia belum dikenal istilah pelecehan seksual, tetapi ada istilah perbuatan cabul yang diatur dalam pasal 289 sampai 296 KUHP. Itu pun belum mencakup hal-hal yang biasa dianggap remeh temeh oleh masyarakat dalam budaya patriarkis seperti catcalling, pelabelan seseorang dengan kata-kata tertentu, dan cara memandang tubuh secara seksual yang bisa mengintimidasi seseorang.
Menurut Saras Dewi, pengajar program studi Filsafat Universitas Indonesia yang juga pernah mendampingi sejumlah perempuan korban pelecehan dan kekerasan seksual, tindakan menggoda dan sejenisnya yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan masih dianggap sepele. "Mereka belum mengerti pelecehan seksual. Padahal, hal ini dapat membawa dampak besar bagi perempuan yang menjadi korban karena bisa menyebabkan trauma dan ketidaknyamanan," ungkapnya dalam wawancara dengan Tirto.
Ia berpendapat, bahasa hukum di Indonesia masih terbata-bata dalam memahami kekerasan seksual. “Maka itu perlu ada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang menajamkan karakter-karakter tindak kekerasan seksual, termasuk sexual advancing dari bos ke karyawan misalnya. Dalam kasus Ibu Nuril ini yang jelas digunakan adalah permainan kuasa,” imbuhnya.
Sosialisasi dan edukasi mengenai aktivitas seksual dan tindak kekerasan yang berdampak sangat signifikan bagi hidup seseorang memang belum bisa dikatakan populer dan diterima dengan wajar oleh sebagian besar masyarakat dan menurut Saras, inilah yang perlu ditekankan ketika memperjuangkan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tadi. Banyak pihak yang masih menabukan edukasi seks dan berinisiatif memperkaya wawasan seputar kekerasan seksual yang potensial terjadi di macam-macam lingkungan, mulai dari rumah tangga, pergaulan sehari-hari, hingga level profesional.
Menyadari masih buramnya pendefinisian dan penindakan pelecehan seksual di negeri ini, maka tak heran bila ada yang menyangka Nuril bukan korban. Si Kepala Sekolah bahkan merasa dirinya lebih benar dari Nuril karena dianggap membiarkan rekaman berkonten seksualnya menyebar.
Menanggapi kasus yang menimpa Nuril ini, Naila Rizqi, pengacara dari LBH Masyarakat, menyatakan bahwa dengan merekam percakapan dengan sang Kepala Sekolah, Nuril mengindikasikan adanya perasaan tidak aman dan nyaman. Dengan demikian dari kacamatanya, Nuril telah mengalami sebuah pelecehan seksual.
Bagi Naila, tidak semestinya Nuril dijerat UU ITE. “Pertama, secara formil dia bukan orang yang menyebarkan rekaman. Sementara secara materiil, menurutku tindakan perekaman oleh Ibu Nuril ini adalah bentuk proteksi diri dan niat baik untuk mendokumentasikan tindak pidana. Merekam tindak pidana bukan kejahatan, justru rekaman itu jadi alat bukti tindak pidana pelecehan,” jabarnya.
Victim Blaming yang Jadi ‘Tradisi’
Kasus seperti yang menimpa Ibu Nuril sudah barang tentu bukan yang pertama terjadi, hanya saja, banyak kasus lainnya tidak diceritakan ke orang lain apalagi dilaporkan ke pihak yang berwajib. Kejadian di mana korban dipersalahkan atas kemalangan atau tindak kriminal yang menimpanya disebut sebagai victim blaming. Hal ini mencakup stigmatisasi korban pelecehan atau kekerasan seksual yang mayoritas adalah perempuan. Jika menengok ke belakang, pernah ada kasus pencabulan di Serdang Bedagai, Sumatera Utara di mana korban, alih-alih dibebaskan dari tudingan-tudingan negatif, malah dilabeli sebagai perempuan nakal, sudah tidak perawan lagi karena sudah pernah bersetubuh dengan pacarnya.
Kondisi penegakan hukum yang memprihatinkan semacam itu tidak terlepas dari kerangka berpikir masyarakat yang seolah-olah mewajarkan aksi kekerasan atau pelecehan seksual yang menimpa perempuan berpenampilan tertentu atau melakukan tindakan, gestur, atau mengatakan hal-hal yang dianggap bersifat seksual. Sehubungan hal ini, Naila berargumen, lingkup yang begitu kecil mengenai mana yang termasuk pelecehan seksual dalam hukum Indonesia memperparah keadaan korban dan membuka ruang terjadinya victim blaming.
Menurut pemaparan Saras Dewi, dari semua korban pelecehan seksual di lingkungan akademis yang pernah berkonsultasi dengannya, 99 persen hanya berhenti pada menceritakan pengalaman buruk mereka kepadanya. Hanya satu orang yang menindaklanjuti kekerasan seksual yang pernah dialami ke meja hijau. “Ini tidak terlepas dari ketakutan-ketakutan para korban bahwa catatan akademis mereka akan terpengaruh jika menindaklanjuti kasus pelecehan atau kekerasan seksual yang sempat dialami. Belum lagi stigmatisasi atau cara pandang miring terhadap sosok-sosok korban seperti ungkapan, ‘Ah, anak ini kan hanya cari perhatian,’ sehingga korban-korban enggan mengejar penegakan keadilan lebih jauh,” jelas Saras.
Sementara dari aspek hukum, Naila memandang keengganan korban untuk meneruskan proses penegakan hukum juga dipengaruhi oleh pelaksanaan pelaporan yang membebani korban. Sejauh ini, korban kekerasan seksual seperti perkosaan harus melakukan visum dengan biaya swadaya serta tanpa mendapat pendampingan psikologis yang memadai dari para penegak hukum.
Langkah-Langkah Penanganan Korban Pelecehan Seksual
Tidak mudah memang mencari keadilan bagi korban-korban pelecehan seksual di tengah situasi masyarakat yang masih awam dan kurang awas terhadap isu ini. Meski demikian, sejumlah langkah untuk mengembalikan keamanan dan kenyamanan para korban masih dapat dilakukan. Beberapa perempuan berhasil menjadi penyintas dari pengalaman seksual pahit yang mereka hadapi dan ini tidak lepas dari kontribusi orang-orang sekitar dan upaya mengadvokasi diri melalui jalur hukum.
Sehubungan dengan pengalamannya mendampingi korban pelecehan seksual atau menjadi caregiver, Saras Dewi mengungkapkan bahwa hal utama yang perlu dilakukan adalah mendengarkan kisah korban di ruang yang ia anggap aman. Sementara dari sisi advokasi hukum, Naila menjelaskan bahwa untuk kasus seperti yang dialami Nuril, korban bisa melaporkan jaksa ke Komisi Kejaksaan atas kelalaiannya meneruskan perkara yang tidak memenuhi unsur pidana, melanggar hak korban, dan melindungi pelaku kejahatan. “Hakim juga bisa memberikan putusan sela yang membebaskan Ibu Nuril dari dakwaan tanpa perlu pembuktian terlebih dahulu,” ujarnya kepada Tirto.
Naila juga mengatakan, semestinya dengan adanya bukti rekaman seperti yang dimiliki Nuril, secara otomatis polisi bisa menangkap pelaku, “Melanjutkan proses hukum Ibu Nuril adalah bentuk perlindungan terhadap pelaku kejahatan seksual.”
Di era digital seperti sekarang ini, aktivisme mudah sekali dicetuskan dan disebarkan kepada khalayak. Di satu sisi, hal ini merupakan sesuatu yang positif dan mengindikasikan adanya rasa kemanusiaan yang coba diwujudkan dalam bentuk penandatanganan petisi seperti yang dibuat untuk Nuril ini. Namun pahitnya, sistem hukum di Indonesia bersifat positivistik dan tidak mengenal intervensi dari opini publik. Menurut Naila, sejauh ini belum ada kasus yang dihentikan karena petisi, tetapi hal ini efektif digunakan untuk kampanye.
Menyikapi kasus Nuril ini tidak semestinya berhenti pada perwujudan kepedulian lewat petisi atau pengungkapan pendapat di ruang-ruang publik. Lebih dari itu, setiap orang yang percaya bahwa kekerasan dan pelecehan seksual adalah isu krusial dan mesti dicegah sebisa mungkin sudah sepatutnya turut mengedukasi diri dan lantas menyebarkan kesadaran dan edukasi seputar kekerasan seksual yang marak terjadi di Indonesia ini kepada keluarga atau rekan-rekan di sekitarnya. Harapannya, tidak ada lagi ucapan, “Dia mengalami kekerasan seksual. Ya, wajarlah. Penampilan dan kelakuannya begitu,” atau “Kalau memang situasi relasinya penuh ancaman dan kekerasan, kenapa dia begitu bodoh masih mau ada di dalamnya?”
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti