tirto.id - Saling ledek di bangku sekolah dianggap sudah biasa. Begitu pun dengan pertengkaran kecil, tingkah usil, dan segudang polah tingkah lain yang dilakukan seorang siswa kepada temannya dalam rangka mencuri perhatian. Semuanya tampak sebagai kenakalan anak-anak yang berada dalam batas toleransi.
Namun, ada satu kejadian di sekolah yang mengajak orang berpikir ulang: apa iya setiap hal tersebut dapat dianggap wajar?
Dilansir India Times, seorang siswi menjadi korban pelecehan dan perundungan seksual oleh salah satu siswa di sekolahnya. Hal yang dilakukan oleh sang Siswa mungkin terdengar familier atau bahkan dianggap biasa ditemukan dalam interaksi remaja: menjepret kutang teman perempuannya.
Berkali-kali siswi itu meminta siswa yang melakukannya untuk berhenti, tetapi tak kunjung diacuhkan. Membela diri, sang siswi pun dua kali melancarkan pukulan ke wajahnya.
Pihak sekolah lantas memanggil orangtua siswi tersebut. Ibu sang siswi yang bekerja sebagai perawat dan tengah bertugas di UGD pun terpaksa meninggalkan kantor dan bergegas begitu mendapat telepon dari sekolah anaknya.
Setelah dijelaskan secara kronologis mengenai peristiwa yang membuat dirinya dipanggil ke sekolah, ibu sang siswi menangkap kesan pihak sekolah lebih tidak terima terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan anaknya daripada pelecehan seksual yang terjadi di institusi pendidikan tersebut.
Ia pun menjadi garang saat salah satu guru menanggapi kejadian penjepretan kutang anaknya dengan berkata, “Saya rasa itu tidak terlalu serius.” Hal senada juga disiratkan oleh pihak sekolah lainnya, termasuk kepala sekolah, dengan ujaran, “Saya pikir Anda tidak menangkap intinya.”
“Kamu membiarkan siswa itu melakukan [pelecehan seksual] ini? Mengapa kamu tidak menghentikannya? Kemari dan biarkan saya menyentuh bagian depan celanamu… Kelihatan tidak pantas? Bagaimana kalau kamu melepaskan beha guru BP ini sekarang? Atau beha ibu siswa itu? Atau beha saya? Kamu pikir hanya karena mereka anak-anak, hal ini dianggap sekadar iseng?” sang Ibu murka mendengar reaksi pihak sekolah.
Kisah ini mendatangkan banyak simpati dari netizenyang membacanya. Adanya pengalaman serupa ketika berada di lingkungan sekolah membuat banyak netizensepakat dengan tindakan sang Ibu dan mengecam pilihan aksi pihak sekolah. Pelecehan seksual bisa jadi merupakan gerak-gerik atau kata-kata yang dianggap remeh, tapi nyatanya tak bisa diasumsikan tidak cukup berarti untuk ditanggapi dengan serius.
Komentar, Aksi, dan Sentuhan yang Merendahkan
Banyak yang belum menyadari bahwa tindakan yang diterima sehari-hari dapat tergolong pelecehan seksual. Jangankan anak-anak atau remaja, orang dewasa yang diasumsikan tingkat literasi mengenai seksualitasnya lebih tinggi pun kerap tidak menghiraukan perlakuan-perlakuan yang sengaja merendahkan atau menyinggungnya.
Mitchell et. al. (2013) mendefinisikan pelecehan seksual sebagai berbagai tindakan, permintaan, komentar, serta gestur seksual yang tidak diinginkan dan dapat terjadi dalam lingkungan apa pun. Pelecehan seksual tidak hanya terjadi dalam interaksi tatap muka, tetapi juga dapat ditemukan dalam dunia online ataupun melalui pesan singkat.
Tak hanya perempuan, laki-laki pun dapat berpotensi mengalami pelecehan seksual melalui komentar merendahkan terkait bagian tubuh, pelucutan pakaian yang dianggap sekadar candaan, dan banyak hal lainnya.
Dalam situs Chatsworth High School dijabarkan secara rinci hal-hal apa saja yang termasuk pelecehan seksual verbal, nonverbal, dan fisik. Cat-calling, menceritakan lawakan cabul dan membagikan fantasi seks tanpa diminta, menggoda bagian tubuh tertentu seseorang termasuk pelecehan seksual verbal. Contoh pelecehan seksual secara nonverbal adalah gerak tubuh melecehkan, menunjukkan media berkonten seksual, menunjukkan bagian tubuh privat sendiri ke orang lain, dan mengamati secara seksual bagian tubuh privat orang lain.
Apabila Anda pernah mengalami atau menemukan aksi menarik atau memeloroti pakaian seseorang, memijat/meremas/mencubit bagian tubuh orang lain, memblok/menghadang/menyudutkan/mengikuti orang yang sedang berjalan, dapat dikatakan Anda pernah mengalami atau menemui pelecehan seksual secara fisik.
Pelecehan seksual termasuk bentuk kekerasan seksual menurut laporan MAPPI FHUI tahun 2016 yang mengutip catatan Komnas Perempuan. Terkait hal ini, data Jurnal Studi Wanita Internasional yang dikutip institusi itu menunjukkan 29,8 persen laki-laki selalu terangsang setiap kali melihat perempuan berpakaian seksi.
Ada 58 persen dari mereka menyatakan sering terangsang setiap kali melihat perempuan berpakaian seksi, tetapi hanya 0,5 persen yang mengaitkannya dengan pakaian korban. Karena itu, tak sedikit ditemukan kasus pelecehan atau kekerasan seksual yang menimpa para perempuan yang sebenarnya tidak mengenakan pakaian seksi. Niat untuk merendahkan perempuan tak serta merta datang dari penampilan luar semata, tetapi memang terpendam dalam diri individu-individu pelaku kriminalitas ini.
Dalam Lembar Catatan Tahunan (CATAHU) 2016 yang dirilis Komnas Perempuan, di ranah personal, tercatat 166 kasus pelecehan seksual yang dilaporkan. Sementara di ranah komunitas—salah satunya sekolah—terdapat 268 kasus pelecehan seksual.
Tak Semua Korban Mau Melapor
Penggagas The Everyday Sexism Project’s Laura Bates menyatakan bahwa pelecehan dan kekerasan seksual di sekolah sebagai hal yang menyebarluas dan umum terjadi pada mayoritas remaja putri.
Dalam laporan Huffington Post, dicantumkan statistik yang dihimpun oleh Women and Equalities Committee terkait pelecehan seksual di sekolah-sekolah di Inggris. Hampir sepertiga pelajar usia 16-18 tahun menyatakan pernah mendapatkan sentuhan tak diharapkan dan 71 persen dari mereka mengaku pernah mendengar sebutan “jalang” terhadap siswi dalam keseharian di sekolah. Remaja perempuan usia 13-21 tahun yang pernah menerima pelecehan seksual di sekolah atau kampus pun tidak sedikit, tercatat 59 persen dari mereka mengaku mengalaminya.
Begitu kerapnya hal semacam ini terabaikan kemungkinan terjadi karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran, mulai dari pelajar, pengajar, hingga orangtua murid. Keengganan untuk menyosialisasikan pendidikan seks lantaran anggapan tabu juga menjadi salah satu faktor pendukung toleransi terhadap tindakan merendahkan semacam ini.
Pihak parlemen Inggris melihat sekolah kurang serius menanggapi kasus pelecehan seksual.
Maria Miller, Chair of the Women and Equality Select Committee mengatakan, “Kami telah mendengar cerita para remaja putri mengenai perundungan seksual dan mereka menganggapnya sebagai bagian dari kehidupan sekolah sehari-hari. Guru pun menerima pelecehan seksual sebagai olok-olok belaka. Sementara, orangtua bingung mencari cara untuk mendukung anak-anak mereka menghadapi hal ini.”
Kalaupun para pelajar telah sadar bahwa pelecehan seksual ini rentan menimpa mereka atau bahkan pernah dialami sendiri, tidak semuanya berniat untuk melaporkan kejadian tersebut ke pihak sekolah. Lea, salah satu mahasiswi Universitas Indonesia jurusan Ilmu Susastra menceritakan pengalaman pelecehan seksualnya semasa duduk di bangku SD di Depok silam.
Ia mengaku, baik teman perempuan maupun teman laki-lakinya di sekolah pernah memainkan atau menjepret kutangnya sebagaimana cerita di awal. Saat wartawan Tirto menanyakan reaksinya, perempuan 23 tahun ini menjawab, “Tergantung. Kalau teman cewek ya dianggap bercanda aja, cuma ketawa-ketawa. Kalau cowok, marah. Minimal gue kejar karena pertama, sakit. Kedua, gue ngerasa nggak pantas aja kalau main kayak gitu [menjepret beha].”
Lea juga mengatakan dirinya enggan melapor kepada guru lantaran malu dan takut dianggap sebagai pengadu. Seperti banyak siswi lain yang mengalami pengalaman serupa, ia memilih mengatasi atau memendam masalahnya sendiri tanpa intervensi sekolah.
Kasus pelecehan seksual di sekolah sepatutnya mendapatkan perhatian khusus di lingkungan sekolah seperti halnya masalah akademis. Efek yang ditimbulkannya bisa jadi sangat signifikan dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan para remaja di sekolah. Rendahnya penilaian dan kepercayaan diri serta kecemasan sangat potensial mereka alami hingga bukan tidak mungkin performa di institusi pendidikan merosot dari hari ke hari.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani