Menuju konten utama

Memahami Caregiver untuk Korban Kekerasan Seksual

Para pembantu korban kekerasan seksual, apa dan bagaimana memahami cara kerja mereka?

Memahami Caregiver untuk Korban Kekerasan Seksual
Aktivis yang tergabung dalam Komite Aksi Perempuan menyalakan lilin saat aksi " #sos (save our sister) : Bunyikan tanda bahaya ! menyatakan Indonesia Darurat Kekerasan Seksual" di Jakarta, Rabu (4/5). Antara foto/muhammad adimaja

tirto.id - Perkosaan adalah mimpi buruk seorang wanita. Tidak sedikit yang nekat mengakhiri hidupnya karena merasa kehidupannya "selesai" dengan kekerasan seksual yang dialaminya. Salah satunya yang dialami L, seorang gadis muda asal Bandung yang nekat mengakhiri hidupnya karena mengalami depresi setelah mengalami kekerasan seksual, yang diduga dilakukan oleh seorang satpam.

Kasus seperti ini jamak ditemui di berbagai pelosok dunia. Alasannya sederhana, si perempuan malu karena kehilangan kehormatan, sementara yang lain merasa tak mampu menahan amarah karena pelaku pemerkosaan tidak mendapatkan hukuman.

Bagaimana korban kekerasan seksual bisa bertahan hidup dan menjalani hidup mereka usai menjadi korban?

Pertanyaan ini menjadi penting mengingat banyak korban kekerasan seksual yang tak mampu berfungsi normal usai menjadi korban. Mereka perlu proses pemulihan dan restorasi agar dapat bisa hidup seperti sedia kala.

Di Indonesia Women Crisis Center, atau pusat penanganan krisis untuk korban kekerasan seksual mulai bermunculan. Lembaga ini menjadi salah satu alternatif pemulihan trauma dan stres korban. Di pusat penanganan krisis atau rumah aman (safe house) korban kekerasan seksual biasanya mendapatkan bantuan dari caregiver.

Caregiver adalah seseorang yang membantu orang lain melewati masa-masa krisis mereka. Bukan hanya membantu korban kekerasan seksual, tetapi caregiver juga bisa membantu manula yang baru saja kehilangan pasangan, korban kecelakaan untuk membantu pemulihan fisik.

Tety Sumeri, Direktur Eksekutif Cahaya Perempuan Women Crisis Center Bengkulu menjelaskan, korban kekerasan seksual kadang pada satu titik mengalami goncangan jiwa sehingga tak mampu melakukan pekerjaan sederhana karena trauma mendalam

Ada banyak hal yang perlu dimengerti dari korban kekerasan seksual, sebelum memutuskan untuk membantu mereka. Permasalahan yang banyak terjadi hari ini banyak korban kekerasan seksual yang mendapatkan stigma buruk sebelum mendapatkan bantuan. “Maka itu, dibutuhkan orang lain yang bisa menemani dirinya untuk melalui trauma dan dampak lain yang dihadapi. Teman yang dapat mendengarkan, mendukung dan menguatkan secara perlahan dan intensif kepercayaan diri, menepis rasa ketakutan atau ancaman, rasa benci pada diri sendiri, rasa malu yang berlebihan/mengurung diri,” kata Tety, kepada Tirto.

Menurut Tety pendampingan tersebut penting agar penyintas dapat menerima kenyataan, mampu merencanakan langkah-langkah penyelesaian dan rencana hidup yang harus ditata kembali melalui konseling trauma atau konseling gender, pemberian informasi-informasi yang dibutuhkan yang dibutuhkan. Cargiver adalah seorang teman yang membantu seseorang untuk menghadapi masalah, trauma, depresi yang di alami dan ada saat dia mengakses pusat-pusat pelayanan yang dibutuhkannya.

Infografik Care Giver

Seseorang yang hendak menjadi caregiver mesti memahami stereotip, nilai-nilai bias gender yang bisa merendahkan korban kekerasan. Korban dipahami sebagai kelompok yang marjinal, tertekan, terdiskriminasi. Menurut Tety seorang penyintas kekerasan seksual akan mengalami berbagai dampak pada dirinya baik secara psikis, fisik, seksual, ekonomi bahkan secara sosial. Perempuan korban merasa dirinya tidak berharga lagi dan kehilangan harga diri, kehilangan semangat untuk beraktifitas seperti biasanya.

Apa batasan bantuan seorang caregiver? Menurut Tety berdasarkan pengalamannya mengurus berbagai kasus kekerasan seksual, hal pertama yang mesti dipahami adalah setiap bantuan yang hendak diberikan harus didasarkan atas persetujuan penyintas. Selanjutnya tidak menciptakan ketergantungan secara emosional, ekonomi, dan tidak masuk dalam kehidupan pribadinya yang lain. Hal terpenting dan elementer yang perlu dipahami menurut Tety, saat hendak memberikan bantuan, jangan mengatasnamakan diri pribadi. Jika ada nomor kontak yang diberikan, maka berikan nomor kontak lembaga.

Selain itu, jika kondisi sudah sangat berbahaya dan perlu penanganan khusus, korban kekerasan bisa dipindahkan ke sebuah shelter. Tety menyebut kemandirian penyintas dalam menghadapi masalah adalah hal yang pertama perlu diperhatikan, namun seluruhnya mesti disesuaikan dengan kebutuhan penyintas itu sendiri. “Membatasi komunikasi dan penggunaan alat komunikasi penyintas; dengan siapa yang bisa atau boleh diajak bicara, mendorong atau menguatkan dia untuk mampu mengendalikan perasaan atau tidak tergantung secara emosional,” katanya.

Seorang caregiver juga mesti terbebas dari cara berpikir, berbahasa, bersikap, bertindak yang menyalahkan penyintas, mereka juga harus mampu melihat akar penyebab secara objektif. “Mempunyai pengetahuan dan keterampilan mengenai; Kekerasan terhadap Perempuan/Kekerasan Seksual, prinsip dan teknis-teknik sebagai caregiver, sebagai konselor,” kata Tety. Selain itu, seorang caregiver juga mesti mampu mengelola atau memisahkan persoalan pribadi dengan persoalan penyintas.

Seorang caregiver akan membantu penyintas dengan memberikan layanan konseling trauma serta bemberikan pendampingan dan memastikan penyintaas memeroleh pelayanan yang berpihak dari penyedia layanan publik yang dibutuhkannya. Tidak jarang seorang caregiver juga memberikan pendampingan hukum dan tempat perlindungan. Hal lain adalah membuat penyintas merasakan bahwa ia tidak sendiri dan ada orang lain yang akan membantunya. “Membangun dukungan dari keluarga, lingkungan atau komunitas tempat tinggal,sekolah, tempat kerja penyintas,” sebut Tety.

Haryo Widodo, konselor yang tinggal di Yogyakarta, menyebutkan bahwa usaha untuk mengatasi masalah kekerasan seksual bisa dimulai dari kepedulian terhadap korban, termasuk kepada lelaki pelaku kejahatan itu sendiri. “Berdasarkan pengalaman saya, pada dasarnya laki-laki dapat memahami pengalaman kekerasan yang dialami oleh korban. Di setiap interaksi saya dengan laki-laki yang mau berubah, mereka selalu menyesali perilaku (pemerkosaan) yang pernah dilakukan dan berusaha untuk tidak melakukannya lagi. Walaupun masih sangat sedikit laki-laki yang benar-benar berkomitmen dengan hal itu,” kata Haryo, kepada Tirto.

Haryo menyebut perilaku kekerasan yang dilakukan oleh orang, terlepas jenis kelaminnya, berkaitan dengan lingkungan di mana ia tinggal. Ia menemukan fenomena di mana laki-laki yang melakukan kekerasan fisik, menceritakan pengalaman saat melihat ibunya mendapat kekerasan dari ayah, mereka dapat merasakan sakitnya menjadi korban dan merasa kasihan pada ibu. Saat mereka dewasa, dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga misalnya, mereka sangat tidak ingin melihat ibunya disakiti oleh orang lain termasuk istrinya.

“Meski akhirnya mereka mencontoh pola relasi kekerasan itu setelah menikah dan melakukan kekerasan pada istrinya sebagaimana yang dilakukan ayahnya terhadap ibunya dulu. Berdasarkan pengalaman itu, jika dipahami secara menyeluruh setiap pengalaman laki-laki, saya percaya laki-laki bisa memahami rasanya menjadi korban,” katanya.

Baca juga artikel terkait PERKOSAAN atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Suhendra