tirto.id - Kasus aborsi dari praktik ilegal yang diberitakan media belakangan ini, menguras beragam emosi. Praktik aborsi yang tidak layak selalu menjadi keprihatinan dalam berbagai sisi, salah satunya, rawannya keselamatan jiwa perempuan.
Pelarangan aborsi di Amerika Serikat menurut salah satu artikel di laman United Nation (UN), tidak hanya mengancam nyawa, tapi juga menyebabkan pelanggaran hak perempuan atas privasi, integritas dan otonomi tubuh, kebebasan berekspresi, kebebasan berpikir, hati nurani, agama atau kepercayaan, kesetaraan dan non-diskriminasi, dan kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat serta kekerasan berbasis gender.
Dalam laman yang sama, ahli UN mengatakan kaitan antara aborsi yang banyak terjadi dengan dampak kesehatan pada perempuan. Banyak praktik aborsi, sering kali tidak mencerminkan diagnosis medis dan kadang-kadang mengecualikan kondisi yang mengancam kesehatan.
“Bahkan dalam kasus di mana dokter menentukan bahwa aborsi dapat dilanjutkan, mereka mungkin masih kesulitan untuk membentuk tim penuh mengingat keengganan profesional kesehatan lainnya.”
Hal-hal ini terjadi karena praktik aborsi masih ilegal dilakukan di banyak tempat dan mengancam dokter yang mau membantu pasiennya.
dr. Gorga Udjung, Sp.OG, Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan, mengatakan, “Berdasarkan WHO, abortus atau aborsi adalah keluarnya hasil konsepsi atau pembuahan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan, di mana WHO menetapkan batas usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Di Indonesia, aborsi legal bisa dilakukan bila ada indikasi kedaruratan medis atau korban pemerkosaan.”
Saat dihubungi Tirto, Jumat (21/07/2023), Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI), dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, juga membenarkan, “Seluruh tindakan aborsi di Indonesia adalah ilegal. Dikecualikan bila terdapat kondisi indikasi kedaruratan medis atau korban perkosaan. Bila ada kasus kehamilan yang kemudian mau aborsi tapi tidak memenuhi kondisi tersebut dan tetap dilakukan, ini melanggar hukum.”
Secara hukum, negara hadir melalui ketentuan Undang Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Pengaturan aborsi ditetapkan pada Pasal 75 (1), bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi.
Pada Pasal 75 (2), larangan sebagaimana dimaksud dapat dikecualikan berdasarkan indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.
Atau, kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Gorga menambahkan, kondisi yang termasuk dalam indikasi kedaruratan medis, seperti kehamilan ektopik atau kehamilan di luar kandungan, kehamilan yang akan mengancam nyawa ibu selama hamil, seperti ibu hamil yang mengalami sakit jantung berat, kehamilan dengan perkembangan yang tidak baik, atau mengalami penyakit genetik berat dan atau cacat bawaan.
Aborsi diperbolehkan dengan indikasi kedaruratan medis atau korban perkosaan, dan hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis yang memiliki kompetensi, wewenang, dan mendapatkan sertifikat pelatihan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat.
Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan.
Pelatihan dan penyelenggaraan pelayanan aborsi ini bertujuan meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan dalam rangka pemberian pelayanan aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab.
Pelayanan aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab harus diselenggarakan di fasilitas pelayanan kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan RI. Fasilitas pelayanan kesehatan ini terdiri atas Puskesmas, Klinik Pratama, Klinik Utama atau yang setara, dan Rumah Sakit.
Nadia juga menegaskan, “Pelatihan tenaga dan penyelenggaraan pelayanan aborsi ini sudah ada dan sudah bisa dilakukan di Rumah Sakit Pemerintah, baik RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) maupun RSUP (Rumah Sakit Umum Pusat). Tapi yang wajib diingat, harus sesuai dengan indikasi kedaruratan medis atau korban perkosaan.”
Dampak Fisik dan Mental pada Perempuan
Upaya untuk memberikan pelayanan medis yang layak terkait praktik aborsi legal tentu perlu diapresiasi.
Namun, tentu kita tidak bisa menutup mata bahwa ada berbagai latar belakang perempuan memutuskan melakukan tindakan aborsi. Ketidaktersediaan fasilitas kesehatan bagi faktor-faktor lain di luar kategori legal inilah, yang akhirnya membuat banyak perempuan memutuskan melakukan tindakan aborsi sendiri, atau memakai jasa praktik aborsi ilegal.
Legal atau tidak legalnya praktik aborsi sepertinya akan selalu menjadi pandangan yang berseberangan.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, praktik aborsi yang tidak bertanggung jawab dan tidak layak dari segi praktik medis, hanya akan selalu merugikan perempuan.
Aborsi yang tidak sesuai dengan standar yang benar, akan menyebabkan perdarahan hebat yang mengancam keselamatan jiwa pasien. Hal ini bisa disebabkan beberapa faktor, yaitu yang mengerjakan bukan tenaga medis yang kompeten, alat-alat yang digunakan tidak steril, dan tempat dilakukan tindakan tidak sesuai standar.
Selain itu, ada risiko yang mungkin bisa terjadi seperti gangguan kesuburan dan kehamilan di masa depan jika mengalami infeksi rahim yang tidak ditangani dengan cepat di mana infeksi bisa menyebar ke saluran tuba dan ovarium.
Selain risiko kesehatan bagi ibu dan bayi, aborsi juga menimbulkan risiko kejiwaan atau masalah mental. Oleh karena itu, tindakan aborsi tidak boleh dilakukan sembarangan, perlu ada pembinaan mental juga bagi pasien.
“Dampak aborsi akan berbeda tergantung kepada masing-masing individu yang menjalani. Ada yang mengalami perasaan bersalah, ada yang terus dihantui kejadian tersebut seumur hidup, tapi ada juga yang biasa-biasa saja"
"Dampak kejiwaan akibat aborsi baik legal maupun ilegal bisa menetap dan permanen bila tidak dideteksi dari awal dan ditangani oleh tenaga profesional. Bila aborsi mengakibatkan gangguan kejiwaan atau mental berkelanjutan, artinya ada gangguan fungsi dan kemampuan seseorang, maka harus diatasi secara profesional,” terang dr. Monika Joy Reverger, Sp.KJ, Spesialis Kedokteran Jiwa.
Dalam kesimpangsiuran antara pro dan kontra aborsi yang belum menemukan jalan tengah, tampaknya perempuan masih belum memiliki jaminan dalam perlindungan kesehatan, baik fisik maupun mental.
Penulis: Glenny Levina
Editor: Lilin Rosa Santi