tirto.id - “Dia dipaksa mengakui menyiram bayinya dengan air panas. Selama pemeriksaan dan persidangan, tak ada pendampingan dari kuasa hukum. Dia berjuang untuk dirinya sendiri.”
Panggil saja namaku Venus, usia 26 tahun. Kejadian sembilan tahun lalu tak pernah luruh dalam ingatan. Kala itu aku baru saja menyelesaikan ujian dan menunggu pengumuman kelulusan. Aku tak berniat melanjutkan kuliah, aku punya angan-angan bisa bekerja setelah lulus.
Tapi bayangan masa depanku itu entah di mana sekarang.
Pacarku membawaku jalan-jalan ke sebuah kampung terpencil. Aku diturunkan di rumah temannya, di sana ia merayu, memintaku melakukan hubungan seksual. Aku jelas menolak, tapi respons dia mengerikan, ia menendang, memukul, menamparku berulang kali. Rasa takut akhirnya memaksaku menuruti keinginannya.
“Pacarnya janji mau tanggung jawab, meski dia bilang masih mau pacaran sama perempuan lain.”
Aku pasrah walaupun saat usia kehamilanku tujuh bulan tak ada gelagat serius darinya untuk bertanggung jawab. Kehamilanku tersamar oleh perawakanku yang mungil, perut yang tidak terlihat membuncit. Sampai suatu malam, pacarku datang membawa satu strip tablet merah jambu berbentuk heksagonal.
Vitamin kehamilan, katanya.
Aku polos dan percaya saja, dua tablet atau lebih dari itu, aku tak ingat pasti, langsung kutelan habis. Malam itu aku merasa mulas luar biasa, kupikir penyakit maag aku kambuh. Bergegas aku ke kamar mandi untuk buang air, tapi janin dan darah yang meluncur dari lubang peranakan. Saat itulah aku tahu tablet yang disodorkan pacarku adalah peluruh kandungan.
“Dari ciri-ciri obat yang ia sebutkan, saya menduga, tablet tersebut adalah cytotec misoprostol.”
Seketika perasaanku campur aduk, bingung, sedih, marah, takut. Sambil berlinang air mata, aku memandikan jasad bayiku dan membungkusnya dengan kantong plastik. Paginya, pacarku datang untuk mengubur, tapi seorang tukang bangunan curiga, ia mencatat pelat motor dan membongkar kembali galian tersebut.
Polisi menangkap aku dan pacarku. Kami sama-sama dihukum selama dua tahun, hukuman pacarku hanya berbeda empat bulan lebih lama dariku.
Saat tiga hari penahanan, aku sempat dibawa ke rumah sakit karena masih ada sebagian ari-ari tertinggal di rahim. Telat sedikit saja, kata dokter, kondisi itu bisa mengancam nyawa. Aku masih juga harus berjuang dengan masalah kesehatan mental saat media dan orang-orang di sekitarku menuduhku menyiram bayiku dengan air panas hingga meninggal.
Tak ada yang percaya aku telah dibohongi soal obat peluruh kandungan. Aku juga tak bisa membuktikan diriku sebagai korban perkosaan karena tidak ada visum dan saksi korban.
Venus adalah satu dari kasus-kasus perempuan kehamilan tak direncanakan. Mereka menjadi kelompok terbesar dari produk hukum yang tak memihak perempuan.
Di Indonesia, meski aturan mengenai aborsi telah disahkan sejak 2009, tapi masih banyak celah yang belum ditambal dalam produk hukum tersebut, terlebih pendapat populer masyarakat menilai aborsi adalah tabu, dilarang secara moral-agama.
Secara garis besar, legalitas hukum di Indonesia menjamin aborsi pada indikasi "kedaruratan medis" dan "korban perkosaan". Namun hingga kini kedua kelompok itu seringkali sulit mengakses layanan aborsi aman.
Ujung-ujungnya, mereka harus berhadapan dengan para penyedia layanan aborsi ilegal, atau malah melakukan upaya aborsi mandiri, seperti minum jamu-jamuan, makan nanas, atau melakukan gerakan melompat berulang kali. Tindakan-tindakan ini, bagaimanapun, mengabaikan syarat-syarat keamanan aborsi; berisiko membikin infeksi atau pendarahan.
“Tahapannya banyak yang tidak sesuai tuntunan WHO. Bahkan ada metode aborsi yang menusuk vagina hingga ke peranakan menggunakan bambu,” ujar psikolog Ninuk Widyantoro dari Yayasan Kesehatan Perempuan, lembaga yang fokus menangani isu kesehatan reproduksi perempuan di Indonesia.
Syarat Mengizinkan Aborsi
Pada bagian kesehatan reproduksi dalam UU Kesehatan 2009 (hlm. 28-30), pasal 75 menyebut setiap orang dilarang melakukan aborsi (ayat 1) tetapi ada dua kelompok yang bisa dikecualikan.
Pertama, kelompok perempuan dengan indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga nantinya menyulitkan bayi hidup di luar kandungan.
Kedua, perempuan yang hamil akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis. Tindakan aborsi pada kelompok ini harus didahului dan diakhiri dengan konseling oleh konselor yang kompeten dan berwenang. Pertanyaannya, adakah korban perkosaan yang tidak mengalami trauma?
Lima tahun kemudian, ketentuan legalitas aborsi bagi perempuan hamil akibat perkosaan diperkuat dalam Pasal 31 ayat 1 dan 2 PP No. 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi. Regulasi ini mengatur tindakan aborsi pada kehamilan akibat perkosaan hanya dapat dilakukan maksimal saat usia kehamilan 40 hari sejak hari pertama haid terakhir.
Pada pasal 34 ayat 2, korban kehamilan akibat perkosaan masih dipersulit dengan syarat pembuktian berupa visum dan surat keterangan ahli. Visum digunakan untuk menyatakan kesesuaian usia kehamilan dengan kejadian perkosaan, sementara surat keterangan dugaan perkosaan harus didapat dari penyidik, psikolog, dokter spesialis psikiatri, dokter spesialis forensik, dan pekerja sosial.
Aturan itu sangat berbeda dari usia kehamilan maksimal yang dirilis organisasi kesehatan dunia (WHO), yakni hingga 14 minggu.
Logikanya, jika kebanyakan perempuan mengalami siklus menstruasi selama 28 hari, hanya ada sisa 12 hari bagi korban perkosaan untuk menyadari kehamilannya dan mengurus kelengkapan lain.
Idealnya, mereka memang harus langsung melakukan laporan dan visum setelah perkosaan. Tapi ketakutan terbesar korban perkosaan di Indonesia adalah birokrasi berbelit dan stigma, yang bahkan masih tertanam pada aparat penegak hukum. Persoalan itu yang kerapkali membuat mereka urung melaporkan tindak kejahatan seksual.
“Perubahan siklus dalam periode bulanan juga wajar dialami perempuan. Kadang mereka baru sadar hamil saat usia kandungan sudah mencapai 2-3 bulan,” ujar Ninuk.
Nilai positifnya, pasal 35 ayat 1 menjamin aborsi bagi perempuan hamil akibat perkosaan dilakukan secara aman, bermutu, dan bertanggung jawab.
Sementara pasal 38 ayat 1 menyebut, jika saat konseling pra-aborsi korban perkosaan membatalkan keinginan, ia masih berhak atas pendampingan konselor selama masa kehamilan. Hak lain adalah mendapatkan pelayanan kontrasepsi darurat untuk mencegah kehamilan (pasal 24 ayat 1).
Masalah lain, meskipun Peraturan Menteri Kesehatan tahun 2016 menjelaskan soal pelatihan dan pelayanan aborsi aman atas kedua kelompok itu, tapi aturannya sendiri tidak menunjuk pihak-pihak yang berkompeten melakukan tindakan tersebut.
“Sudah dua tahun dari terbitnya PMK, tapi belum ada tindak lanjut serius, bahkan pembuatan modul (aborsi aman) saja belum,” ujar Zumrotin K. Soesilo, aktivis perempuan dari Yayasan Kesehatan Perempuan.
Infografik Kecacatan Hukum Aborsi. tirto.id/Lugas
Jalan Pintas: Membiarkan Diri Mengalami Pendarahan
Sampai kini Kementerian Kesehatan masih bingung menentukan tindakan aborsi aman bagi kedua kelompok kasus pengecualian itu.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kirana Pritasari mengatakan pemerintah masih menyiapkan mekanisme lanjutan layanan aborsi aman. Beberapa fasilitas kesehatan sudah memiliki tim untuk melakukan aborsi aman yang terpadu, klaimnya.
“Ada layanan konseling, juga oleh psikolog dan psikiater, di beberapa rumah sakit terutama rumah sakit pendidikan,” ungkapnya.
Namun, saat ditanya soal legalitas layanan aborsi aman di luar fasilitas kesehatan tersebut, ia tidak melarang tapi juga tak membenarkan.
“Ya harus tetap dilakukan hati-hati, terutama untuk kehamilan akibat perkosaan,” ujarnya.
WHO memperkirakan ada 55,7 juta aborsi setiap tahun di dunia, dan 45 persennya atau 25,1 juta aborsi terindikasi tidak aman, menyebabkan 13 persen kematian ibu di seluruh dunia. Angka ini bisa melonjak pada negara-negara dengan hukum aborsi sangat ketat seperti Indonesia.
Di negara yang sangat membatasi praktik aborsi, hanya ada 1 dari 4 tindakan aborsi yang tergolong aman. Sementara hampir 9 dari 10 tindakan aborsi tergolong aman di negara yang melegalkan aborsi.
Di Asia Tenggara, sekitar 3 dari 1.000 perempuan usia subur (15-44 tahun) dirawat di rumah sakit setiap tahun karena komplikasi terkait aborsi. Artinya, ada 130 perawatan di rumah sakit untuk setiap 1.000 perempuan yang melakukan aborsi tidak aman. Angka sesungguhnya termasuk komplikasi terkait aborsi pada perempuan yang tidak berobat ke rumah sakit dipercaya lebih tinggi lagi.
Komplikasi aborsi yang paling sering terjadi adalah pendarahan parah. Angka kasus aborsi menyebabkan kematian antara 13-50 persen dari kasus kematian akibat pendarahan. Selanjutnya ada faktor infeksi dan keracunan dari bahan yang digunakan untuk peluruh kandungan. Aborsi tidak aman memicu komplikasi, bahkan kematian, dan alhasil membuat negara kehilangan sumber daya manusia yang produktif.
Sejauh ini, demi mendapat layanan aborsi aman dan mengakali regulasi agar tergolong kondisi darurat medis, biasanya perempuan memilih membiarkan diri mengalami pendarahan, ujar dr. Suryono Slamet Iman Santoso, Sp.OG, mantan ketua Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI).
“Mereka cubit sedikit peranakannya, dikit saja sudah bikin pendarahan, lalu datang ke dokter,” kata dr. Suryono.
Jika ternyata pasien itu mendatangi dokter kontra aborsi, maka si dokter akan merujuk ke dokter lain dengan cara membikin pendarahan pada si pasien.
Dr. Budi Wiweko, Sp.OG, Ketua POGI, mengatakan fenomena ini muncul sebagai buntut dari perdebatan panjang soal aborsi, dari tabu sosial dan agama hingga ongkos politik. Dunia kedokteran pun masih terbelah, memicu pro-kontra. Karena persoalan norma dan agama, ujar dr. Budi, tak mudah bagi Kementerian Kesehatan dan para dokter menyelesaikan kebijakan aborsi yang lebih progresif.
“POGI sejalan dengan PMK (2016) dan PP (2014), aborsi harus dijaga ketat dan tak boleh di sembarang tempat. Ini jalan tengahnya,” ujarnya.
Situasi di lapangan menggambarkannya. Di antara debat tanpa akhir mengenai aborsi, Kementerian Kesehatan dan pihak-pihak medis telah menyediakan layanan aborsi aman tapi "cukup tahu sama tahu." Mereka belum berani merilis ke publik mengenai tempat-tempat yang menyediakan layanan aborsi aman, kendati layanan macam ini telah tersedia sejak 1973.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fahri Salam