tirto.id - Majelis hakim Pengadilan Tinggi Jambi membebaskan WA, remaja 15 tahun korban pemerkosaan oleh kakaknya yang semula dipidana karena melakukan aborsi. Putusan perkara banding itu keluar pada 27 Agustus 2018.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai putusan hakim Pengadilan Tinggi Jambi itu sudah tepat karena didasari alasan bahwa tindakan aborsi di kasus ini dilakukan sebab keadaan memaksa.
ICJR menganggap putusan hakim perkara banding di kasus aborsi anak korban perkosaan itu sesuai dengan pasal 48 KUHP: “Orang yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dapat dipidana.” Selain itu, berdasar UU Kesehatan, untuk alasan indikasi medis dan korban perkosaan, aborsi memang harus dipertimbangkan sebagai perbuatan yang tidak dapat dipidana.
“Majelis Hakim melihat kasus ini tidak hanya secara hitam putih, melainkan ada ketelitian melihat kondisi korban,” kata Direktur Eksekutif ICJR Anggara dalam keterangan resminya, pada Selasa (28/8/2018).
WA semula menerima vonis hukuman 6 bulan penjara karena perkara aborsi. Vonis itu diberikan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian, Batanghari, Jambi. Putusan yang keluar pada 19 Juli 2018 itu sempat menyita perhatian sejumlah media massa internasional, di antaranya The Guardian.
Kasus ini terungkap setelah warga menemukan mayat bayi perempuan di kebun sawit, pada akhir Mei lalu. Polres Batanghari kemudian menangkap WA, ibu sang bayi. Polisi lalu menangkap AA, kakak kandung WA yang memperkosa dan menghamili adiknya sendiri.
ICJR menganggap putusan hakim Pengadilan Tinggi Jambi, yang membatalkan vonis dari PN Muara Bulian dan membebaskan WA dari segala tuntutan pidana, membawa implikasi penting.
“Putusan ini dapat dijadikan Landmark Decision [putusan penting] bagi penegakan hukum dan peradilan di Indonesia. Korban seringkali dipandang tidak seimbang utamanya bagi perempuan dan untuk kasus seperti aborsi,” ujar Anggara.
Dia menegaskan kasus ini harus menjadi awal perombakan perspektif penegak hukum, khususnya polisi dan jaksa, dalam menangani kasus anak dan perempuan. Dia juga berharap Mahkamah Agung (MA) menyadari bahwa putusan PN Muara Bulian di kasus WA menunjukkan buruknya implementasi Perma No 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
“Putusan ini juga lampu kuning bagi perkembangan hukum pidana karena baik Polisi, Jaksa dan Hakim di tingkat pertama belum fasih melihat ketentuan KUHP, khususnya pasal 48 KUHP,” ujar Anggara.
Dia menambahkan penggunaan pidana aborsi perlu diperketat. Karena itu, ICJR mendesak pemerintah dan DPR memastikan ada ketentuan pengecualian pidana aborsi, salah satunya bagi korban perkosaan, di RKUHP. Sebab, dalam draft RKUHP rilisan 9 Juli 2018, pengecualian hanya berlaku bagi dokter yang menggugukan kandungan karena alasan medis atau terhadap korban perkosaan.
“Namun [pengecualian] tidak berlaku bagi perempuan yang kandungannya digugurkan. Bahkan RKUHP secara spesifik mengkriminalisasi perempuan yang melakukan aborsi, tanpa melihat latar belakang perempuan tersebut,” ujar Anggara.
Editor: Addi M Idhom