tirto.id - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menilai vonis hakim Pengadilan Negeri (PN) Muara Bulian, Batanghari, Jambi terhadap WA, korban perkosaan yang melakukan aborsi, tidak tepat. Dalam vonis tersebut, WA terkena hukuman pidana enam bulan penjara. Menurut ICJR, hakim seharusnya mempertimbangkan sisi psikologis WA.
“Berdasarkan analisis kami, ada trauma psikologis yang membuat WA seolah tidak mampu bertanggung jawab dalam konteks melakukan aborsi,” kata Maidina di Jakarta, Minggu (5/8/2018).
WA, perempuan asal Jambi berusia 15 tahun, dipidana enam bulan penjara karena melakukan aborsi. Ia hamil oleh kakak kandungnya, AA, 18 tahun.
Vonis pidana kepada WA diberikan oleh Hakim Ketua Pengadilan Negeri Muara Bulian, Batanghari, Jambi pada Kamis (19/7/2018) dalam Putusan Nomor: 5/Pid.Sus-Anak/2018/PN Mbn.
Listyo Arif Budiman selaku hakim anggota dalam persidangan mengatakan WA "dituntut di bawah hukum perlindungan anak karena melakukan aborsi." Sementara itu, AA dijatuhi hukuman dua tahun penjara karena melakukan pemerkosaan.
Menurut Maidina Rahmawati, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi harus menguji ulang alat bukti yang pernah digunakan dalam pemeriksaan terkait putusan terhadap WA tersebut. Ia menilai dalam persidangan sebelumnya hakim tidak menjadikan sisi psikologis WA sebagai salah satu pertimbangan sebelum mengambil keputusan.
Maidina menuntut pemeriksaan secara komprehensif dalam persidangan di tingkat banding nanti. Salah satu pemeriksaan yang didorong oleh ICJR ialah aspek traumatis.
Maidina berpendapat jika upaya pembuktian dan uji validitas bukti gagal, pihaknya akan terus mengadvokasi kasus tersebut. Dalam persidangan tingkat banding nanti, tambah dia, semestinya majelis hakim bisa menghadirkan saksi maupun ahli kejiwaan sehingga mendapatkan keterangan lebih detail.
Keterangan itu kelak akan menjadi bahan pertimbangan hakim agar menghapus pidana WA. Maidina berharap agar hakim bisa memvonis bebas korban.
“Seharusnya penuntut umum dan majelis hakim mampu melihat bahwa tidak ada pertanggungjawaban pidana yang dapat dibebankan kepada anak korban perkosaan,” tegas dia.
Di Indonesia, aborsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor (PP) 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Undang-Undang mengatur dengan tegas bahwa aborsi dilarang (Pasal 75 ayat 1), namun dapat dikecualikan berdasarkan: kedaruratan medis (termasuk mengancam nyawa ibu) dan/atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban (Pasal 75 ayat 2).
Penulis: Adi Briantika
Editor: Fitra Firdaus