tirto.id - Presiden Amerika Serikat Donald Trump sejak Senin (23/1/2017) waktu setempat telah resmi menandatangani larangan bagi organisasi sipil di seluruh dunia, yang memperoleh dana dari Washington, untuk mendukung aborsi.
Kebijakan Trump tersebut kemudian mendapat tanggapan keras oleh para pejuang hak perempuan.
"Kesehatan dan hak perempuan adalah salah satu korban pertama pemerintahan Trump," kata Serra Sippel, kepala lembaga sipil Center for Health and Gender Equity di Washington.
"Aturan larangan mendukung pengguguran kandungan selama ini dihubungkan dengan peningkatan angka aborsi yang tidak aman. Kami memperkirakan kebijakan Trump ini akan menghilangkan banyak nyawa perempuan," imbuhnya.
Penerapan kembali larangan pendukungan aborsi ditetapkan hanya dua hari setelah lima jutaan orang dari berbagai kota di dunia turun ke jalan untuk memperjuangkan hak perempuan, salah satu di antaranya adalah akses terhadap aborsi.
Aturan itu akan berdampak langsung terhadap organisasi sipil yang mendapat uang dari Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat, meski mereka menggunakan sumber dana berbeda untuk menjalankan layanan pengguguran kandungan.
"Mengerikan bahwa [pemerintah] berupaya mendikte kelompok masyarakat sipil dan penyedia layanan kesehatan mengenai bagaimana mereka membelanjakan uang dan memaksa mereka untuk menyembunyikan informasi yang sangat penting bagi perempuan terkait kesehatan reproduksi," kata Nancy Northup, kepala lembaga Center for Reproductive Rights yang berkantor di Amerika Serikat.
Kebijakan itu memojokkan organisasi pejuang hak reproduksi ke posisi yang sangat sulit, demikian dipaparkan Brian Dixon dari lembaga Population Connection Action Fund seperti dilansir Antara, Rabu (25/1/2017).
Mereka hanya punya pilihan untuk memerima larangan pendidikan aborsi dengan tetap mendapatkan dana, atau menolak aturan namun kehilangan sumber pendanaan, kata Dixon. "Kedua pilihan itu sama-sama merugikan para perempuan," kata Dixon.
Sementara itu, menurut Ann Starrs, kepala organisasi pejuang hak reproduksi Guttmacher Institute, tidak ada bukti bahwa aturan pelarangan aborsi dapat mengurangi angka pengguguran kandungan.
"Faktanya, aturan itu akan berdampak sebaliknya karena membuat perempuan semakin sulit menghindari kehamilan yang tidak diinginkan. Mereka kemudian akan mencari prosedur aborsi yang tidak aman," kata Starrs.
Aturan, yang akan berdampak langsung terhadap organisasi sipil Amerika Serikat yang beroperasi di luar negeri tersebut, pertama kali diterapkan oleh mantan Presiden Ronald Reagan pada 1984.
Sejak pertama kali diterapkan pada 1984, sudah dua kali aturan pembatasan pendidikan hak reproduksi dibatalkan oleh mantan Presiden Bill Clinton namun kembali diterapkan oleh mantan Presiden George W. Bush pada 2001.
Trump, yang merupakan penentang aborsi, memutuskan untuk menerapkan kembali aturan itu pada hari keempat ia duduk di kursi tertinggi Gedung Putih. Padahal kebijakan tersebut sebelumnya dibatalkan oleh mantan presiden Barack Obama sejak 2009 lalu.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari