Menuju konten utama

Buruh Dirumahkan karena COVID-19, Harus Tetap Diupah atau Tidak?

Pengusaha bilang semestinya buruh yang dirumahkan tidak di-PHK. Serikat dan ahli hukum mengaggap sebaliknya.

Buruh Dirumahkan karena COVID-19, Harus Tetap Diupah atau Tidak?
Sejumlah pekerja pabrik berjalan di luar area pabrik saat jam istirahat di Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (7/4/2020). ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/hp.

tirto.id - Pandemi COVID-19 membuat 1.222 pekerja dari 54 perusahaan di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, 'dirumahkan'. Sebagian besar berasal dari sektor perhotelan, rumah makan, dan tempat hiburan.

Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (Dinnakerkop UKM) Kabupaten Banyumas, Joko Wiyono, jumlah tersebut belum final. "Masih data sementara yang kami terima. Setiap dua hari sekali, kami perbarui," ujarnya dikutip dari Antara, Selasa (7/4/2020).

'Merumahkan' pekerja atau furlough adalah istilah dalam dunia perburuhan yang sebenarnya tidak dikenal dalam Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam praktiknya, kebijakan ini adalah meliburkan atau membebaskan pekerja untuk tidak melakukan pekerjaan sementara waktu.

Hal serupa terjadi di Jakarta, pusat penyebaran COVID-19 Indonesia. Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi DKI mencatat 13 ribu lebih pekerja telah dirumahkan. Sebanyak 3.348 perusahaan yang lain telah mem-PHK 30.137 pekerja.

Antara Dibayar atau Tidak

Hariyadi B Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), mengatakan para pekerja tidak digaji selama mereka dirumahkan. Hal ini menurutnya sudah sesuai dengan Pasal 93 ayat (1) UU 13/2003 yang berbunyi "upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan."

Hal sebaliknya disampaikan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati. Ia tidak sepakat jika pekerja yang dirumahkan tidak diupah sama sekali. Sebab, terlepas dari situasi pandemik saat ini yang mengakibatkan ekonomi kacau, upah mesti dipenuhi pemberi kerja.

Ia juga merujuk ke Pasal 93, tapi ayat (2). Di sana dijelaskan ketentuan seperti apa yang membuat ayat (1) tidak berlaku. Misalnya, dijelaskan bahwa upah harus tetap dibayar penuh jika "pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha."

Menurutnya, dalam konteks sekarang, peraturan itulah yang lebih tepat dijadikan acuan.

"Pasal ini menunjukkan ada batas prinsip tidak dibayar jika tidak melakukan pekerjaan," kata Asfin kepada reporter Tirto, Rabu (8/4/2020).

Hal serupa diungkapkan Eric Manurung di Hukumonline. Eric mengatakan meski tidak ada dalam UU 13/2003, istilah 'dirumahkan' sebenarnya tertera dalam SE Menaker SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004. Merumahkan pekerja, tulis peraturan itu, adalah upaya yang dapat dilakukan sebelum melakukan PHK.

Eric lantas mengatakan tidak ada peraturan yang membolehkan perusahaan "membayar karyawannya 50 persen saja," apalagi tak dibayar. Namun, berdasarkan SE Menaker SE-05/M/BW/1998, ditegaskan bahwa dalam hal merumahkan bukan ke arah PHK, pengusaha harus tetap membayar upah secara penuh. Upah bisa lebih rendah jika telah dirundingkan dengan serikat pekerja atau pekerja itu sendiri.

Asfin lantas meminta pemerintah agar segera turun tangan memberikan solusi. Tanpa pemasukan, seorang buruh akan lebih sulit memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apalagi misalnya ia telah berkeluarga dan tabungan sedikit. "Buat pertemuan tripartit antara pemerintah, serikat buruh terutama yang independen dan benar-benar mewakili buruh, dan asosiasi pengusaha," ujarnya.

Sementara Ketua Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Ellena Ekarahendy menilai merumahkan pekerja hanya trik pengusaha.

"Dirumahkan itu cuma akal-akalan saja, supaya enggak PHK. Karena kalau PHK artinya bayar pesangon dan uang penghargaan," katanya kepada reporter Tirto.

Kata Pemerintah

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah sebetulnya telah mengantisipasi dampak COVID-19 lewat Surat Edaran Nomor M/3/HK/04/III/2020. Di sana disebutkan bahwa seorang buruh harus tetap dibayar penuh seandainya ia dikategorikan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP), suspect dan dikarantina, serta sakit.

Sementara bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan dapat menyesuaikan besaran upah, akan tetapi harus dilakukan "sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh."

Surat tersebut memang tidak spesifik menjelaskan bagaimana jika situasinya 'dirumahkan'. Namun, dalam rilis resmi pada Rabu (8/4/2020) lalu, Ida menegaskan bahwa merumahkan pekerja--dengan mengurangi upah atau tidak diupah sama sekali--adalah salah satu solusi alternatif dari PHK.

"Kan bisa gajinya dikurangi, mengurangi sif kerja, membatasi kerja lembur, mengurangi jam kerja, mengurangi hari kerja dan meliburkan atau merumahkan pekerja secara bergilir untuk sementara waktu," kata dia.

Baca juga artikel terkait UPAH BURUH atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino