tirto.id - Imbauan Presiden Joko Widodo saat mengumumkan kebijakan work from home (WFH) untuk menekan angka penyebaran pandemi COVID-19 kepada para pengusaha sebetulnya jelas dan tegas: jangan sampai ada pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Beri tahu kepada perusahaan-perusahaan, agar tidak melakukan pemutusan hubungan kerja," katanya, menginstruksikan para menteri, 16 Maret lalu.
Mengikuti imbauan tersebut, pemerintah lantas mengeluarkan kebijakan lain, termasuk memberikan keringanan pajak. Tapi setelah dua pekan imbauan yang disiarkan di media massa ia ucapkan, apa yang terjadi justru sebaliknya.
Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi Provinsi DKI Jakarta mencatat 14.697 perusahaan telah merumahkan 13.279 buruh. 'Merumahkan' adalah istilah yang umum dipakai untuk merujuk ke situasi saat para buruh tidak perlu bekerja, tapi tanpa mendapat upah. Sebanyak 3.348 perusahaan yang lain telah mem-PHK 30.137 buruh.
Sementara di Jawa Tengah, setidaknya ada lebih dari 2.800 buruh mengalami nasib serupa.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai banyaknya buruh yang di-PHK selama masa pandemi, dan dikontraskan dengan pernyataan Jokowi, menunjukkan betapa lemahnya pengawasan pemerintah. Ia menilai imbauan Jokowi sama sekali tidak cukup.
"Kalau mengimbau saja, apa bedanya dengan tokoh agama?" katanya kepada reporter Tirto, Senin (6/4/2020).
Isnur menduga banyak PHK terjadi tanpa mekanisme yang sesuai Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan kata lain, cacat hukum. Sebab, "di UU Ketenagakerjaan, PHK tidak boleh sembarangan. PHK tidak sah sampai ada putusan lembaga perselisihan hubungan industrial."
Ketua Umum Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos menilai PHK justru dimungkinkan karena surat yang dibuat pemerintah, yaitu Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19, terutama Bagian II Poin 4 yang berbunyi:
"Bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan COVID-19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruh tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh."
Nining mengatakan peraturan tersebut tidak selaras dengan UU 13/2003. "UU menjamin [hak] pekerja yang sakit dan dalam kondisi darurat, kenapa pemerintah mengeluarkan SE yang mengatur hak bisa dinegosiasikan?" katanya.
Karena SE inilah pengusaha tidak berpikir lebih panjang untuk melakukan pelanggaran lebih banyak, termasuk mem-PHK buruh, kata Nining.
Ia lantas menegaskan semestinya pemerintah melindungi mereka. "Seharusnya dalam kondisi ini negara menjamin hak-hak dasar rakyat," tegas Nining.
Pemerintah lantas punya solusi lain setelah imbauan dianggap angin lalu: kartu pra-kerja. Pada 24 Maret lalu, Jokowi mengatakan pemerintah menganggarkan duit Rp10 triliun untuk program ini. Nining merasa ini bukan solusi karena "tidak menghentikan perusahaan untuk PHK, apalagi jika ada Omnibus Law yang tetap dibahas dalam situasi begini."
Program ini juga tidak menjawab masalah langsung buruh yang harus tetap memenuhi kebutuhan hidup (dan keluarga) setiap hari.
Komisi IX DPR RI Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay, meminta pemerintah memberikan solusi lain bagi para buruh yang terdampak PHK. Pemerintah, misalnya, dapat memberikan bantuan tunai langsung.
"Orang berhenti kerja, bukan berarti berhenti memenuhi kebutuhan hidup. Persoalan pemenuhan kebutuhan ini yang harus dipikirkan pemerintah," katanya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino