tirto.id - Omnibus Law RUU Cipta Kerja (sebelumnya Cipta Lapangan Kerja alias Cilaka) masih mengatur soal kompensasi yang harus dibayar perusahaan kepada buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Meski demikian, jika dibanding UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, jumlahnya jadi lebih sedikit.
Dalam Pasal 156 UU 13/2003, ditegaskan bahwa jika terjadi PHK, pengusaha wajib membayar "uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak." Sementara dalam RUU Cilaka, uang penggantian hak dihapus. Bunyi pasal itu berubah jadi, "dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja."
Uang penggantian hak yang dihapus itu meliputi: cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur, biaya atau ongkos pulang pekerja dan keluarganya ke tempat mereka diterima bekerja, penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan, dan hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau perjanjian bersama.
Kemudian, dalam UU 13/2003, disebutkan kalau seseorang paling sedikit memperoleh uang pesangon setara satu bulan upah jika masa kerjanya kurang dari satu tahun, dua bulan upah untuk masa kerja satu tahun-belum dua tahun, dan seterusnya hingga sembilan bulan upah untuk masa kerja delapan tahun atau lebih.
Ketentuan ini tak berubah, berbeda dengan perhitungan uang penghargaan masa kerja. Dalam UU 13/2003, disebutkan seorang pekerja bisa mendapat dua bulan upah untuk masa kerja tiga tahun atau lebih tetapi kurang dari enam tahun. Uang penghargaan masa kerja terbanyak mencapai 10 bulan upah, bagi mereka yang masa kerjanya 24 tahun atau lebih.
Sementara dalam RUU Cilaka, maksimal uang penghargaan yang dapat diterima seorang buruh hanya delapan bulan upah, untuk masa kerja 21 tahun atau lebih.
Hak-hak buruh terkait uang pesangon dan uang penggantian hak yang merentang dari Pasal 161-Pasal 172 UU 13/2003 juga dinyatakan dihapus dalam UU Cilaka. Jika RUU Cilaka disahkan, maka hak-hak buruh mendapat uang pesangon dan penggantian hak dalam situasi-situasi khusus seperti yang diatur dalam pasal-pasal tersebut tak lagi berlaku.
Pasal 161, misalnya, mengatur seorang pekerja berhak mendapat uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja setara satu kali upah jika dia di-PHK karena alasan melanggar perjanjian kerja sampai mendapat tiga surat peringatan berturut-turut.
Pasal 162, contoh lain, mengatur hak pekerja mendapat uang pengganti jika dia mengundurkan diri atas kemauan sendiri.
Sementara pasal 164 mengatur pengusaha harus memberi uang pesangon sebesar satu kali upah jika perusahaan dinyatakan tutup karena rugi dua tahun berturut-turut.
Pengusaha juga wajib memberi uang pesangon dua kali jika ada seorang buruh sakit berkepanjangan, cacat akibat kerja, dan tidak dapat melakukan pekerjaannya lagi setelah 12 bulan--sehingga harus mengajukan PHK, berdasarkan Pasal 172 UU 13/2003.
Ketua Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Mirah Sumirat mengatakan peraturan baru ini jelas-jelas akan memberatkan kehidupan buruh usai kehilangan pekerjaan. Hidup buruh semakin berat karena mereka tetap harus membakar BPJS Kesehatan--yang tahun ini naik 100 persen, juga berbagai kebutuhan yang semakin naik.
"Ini artinya mengakibatkan kemiskinan naik," katanya kepada reporter Tirto, Jumat (14/2/2020) lalu. Ia juga mengatakan kebijakan baru ini "bakal mempermudah PHK."
Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI Kahar Cahyono menambahkan, persoalan pesangon dan uang penghargaan ini semakin pelik bagi buruh karena RUU Cilaka juga menghapus Pasal 59 UU 13/2003 yang mengatur tentang Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT) alias pekerja kontrak. Ketika pasal ini dihapus, status kontrak bisa diimplementasikan ke pekerja sektor mana pun, termasuk pekerja di produksi inti.
Sementara di sisi lain, berdasarkan Pasal 62 UU 13/2003, pekerja kontrak yang di-PHK hanya akan mendapat ganti rugi sebesar "upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja."
Karena 'berkah' RUU Cilaka, pengusaha akan cenderung menggunakan pekerja kontrak di semua lini produksinya. Oleh sebab itu, kata Kahar, "tidak ada lagi pesangon karena itu hanya diberikan kepada pekerja yang berstatus karyawan tetap."
Peraturan Lama Tak Maksimal
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah pernah mengatakan kalau memang "jumlah pesangon berkurang." Hal ini ia ungkapkan di Kompleks Parlemen, Rabu (12/2/2020) lalu.
Menurutnya hal ini dilakukan pemerintah karena peraturan yang lama belum maksimal dipatuhi pengusaha.
Hal serupa pernah diungkapkan Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal pada 28 Desember tahun lalu. Menurutnya jumlah pesangon dan uang penghargaan kerap tak sesuai seperti peraturan yang berlaku saat ini.
Jadi, alih-alih menegakkan peraturan yang ada di UU 13/2003 atau memastikan pengusaha membayar pesangon sesuai regulasi, pemerintah lebih suka membuat peraturan baru yang lebih 'ringan'. "Kami ingin UU itu implementatif," kata Ida.
Ida lantas mengatakan meski pesangon berkurang, "tapi, kan, pemerintah memberikan benefit bagi karyawan yang terkena PHK."
Keuntungan yang politikus PKB ini maksud adalah bonus kepada pekerja yang telah bekerja minimal 1 tahun sebesar lima kali upah per bulan, juga asuransi jaminan kehilangan pekerjaan "tanpa ada tambahan iuran baru."
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Bayu Septianto