tirto.id - UU Cipta Kerja yang disahkan pada 5 Oktober lalu memberikan pelonggaran impor urusan-urusan yang menyangkut perut masyarakat. Dari mulai daging sampai hewan ternak.
Peraturan yang penuh dengan kontroversi dan ditolak banyak kalangan sejak pertama kali disusun ini mengubah ketentuan impor dalam Pasal 36B UU 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), yang berbunyi: impor “dapat dilakukan apabila produksi dan pasokan ternak dan produk hewan di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat.”
Pasal 36B ayat (1) kemudian hanya mencantumkan impor dapat dilakukan “untuk memenuhi kebutuhan dengan memperhatikan kepentingan peternak.” Regulasi ini mirip seperti penghapusan prioritas penggunaan produksi dalam negeri maupun pertimbangan kecukupan stok dan pasokan dalam negeri.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengatakan kebijakan yang mengintegrasikan sistem pangan Indonesia ke dunia internasional ini “berpengaruh besar pada upaya swasembada daging” yang sebetulnya merupakan visi Presiden Joko Widodo. Alasannya sederhana: regulasi dipermudah sehingga impor pun lebih gampang. “Daging produksi peternak kita akan head-to-head dengan daging produksi peternak luar negeri,” ucap Dwi kepada reporter Tirto, Selasa (27/16/2020) lalu.
Tanpa intervensi memadai, katanya, peternakan dalam negeri yang kalah efisien akan langsung tergilas dengan produk luar. Belum lagi berbagai peternakan di luar sana dapat mengekspor produknya dengan berbekal subsidi dari pemerintah masing-masing sehingga harga dapat ditekan serendah mungkin.
Oleh karena itu, saat UU Cipta Kerja telah disahkan, ia mengusulkan agar pemerintah berani menerapkan semacam proteksi terhadap produsen dalam negeri. Semata agar integrasi pangan ke pasar global tidak melibas peternak.
Ia juga mengingatkan saat ini sektor peternakan sudah sangat terpukul. Nilai Tukar Petani (NTP) peternakan per September 2020 hanya 98,01 alias kedua terendah setelah hortikultura, turun dibandingkan Desember 2019 sebesar 108,11 poin. NTP di bawah 100 berarti peternak mengalami defisit alias pendapatan lebih rendah dari pengeluaran.
Sebelum UU Cipta Kerja sebenarnya impor daging sapi/lembu (HS 0201-0202) terus meningkat dalam 3 tahun terakhir. Data UN Comtrade mencatat impor 2016 mencapai 114.649 ton, lalu meningkat menjadi 115.775 ton setahun kemudian, 160.646 ton (2018), dan 141.118 ton (2019). Sementara impor daging ayam (HS 0203) naik dari 297 ton (2017) menjadi 556 ton (2018) dan 1.314 ton (2019).
Pendapat Dwi Andreas dibenarkan Wakil Sekretaris Jenderal-I Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Muhlis Wahyudi. Ia tak habis pikir pemerintah dan legislatif malah mengeluarkan melonggarkan impor ternak dan daging ketika para peternak ayam sedang kesulitan. Kondisi peternak ayam sudah porak poranda setidaknya sejak 2018 lalu, katanya.
Per April 2020, harga ayam di kandang peternak sempat mencapai Rp5.000/kg, padahal Harga Pokok Produksi (HPP) rata-rata Rp17.000/kg untuk bobot besar. Meski sempat membaik di Mei-Juni, pada Juli mereka merugi lagi Rp300-400/kg bahkan semakin parah menjadi Rp1.500/kg (Agustus), Rp2.500/kg (September), dan Rp4.500-5.000/kg (Oktober).
Kerugian ini disebabkan karena kejatuhan harga akibat kelebihan pasokan yang tak kunjung selesai. Dalam hal ini kelebihan parent stock (PS) menghasilkan lonjakan day old chick (DOC) atau final stock (FS) untuk dibesarkan peternak. Kelebihan PS sendiri merupakan akibat salah hitung sehingga impor grand parent stock (GPS) atau ayam indukan pada 2018 berlebih.
Imbasnya, stok daging ayam atau karkas saat ini diperkirakan mencapai 150 ribu ton, padahal permintaan tak seberapa terutama di tengah pandemi COVID-19. Serapan daging ayam untuk bantuan sosial saja tak sanggup mengimbangi karena hanya 300-400 ton per bulan. Belum lagi putusan WTO soal masuknya daging ayam Brasil ke RI akan terealisasi di 2021.
“Kondisi seperti ini saja sudah oversupply, ditambah masalah lagi,” ucap Muhlis kepada reporter Tirto, Selasa pekan lalu.
Sementara Sekretaris Jenderal Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Rochadi Tawaf mengaku tak mempermasalahkan kebijakan baru ini lantaran ada frasa “memperhatikan kepentingan peternak.” Ini lebih baik ketimbang regulasi sebelumnya. “Dulu kan memperhatikan kepentingan konsumen, enggak mikir nasib peternak gimana,” ucap Rochadi kepada reporter Tirto.
Namun ia menekankan meski frasa “produksi dan pasokan belum mencukupi” dihapus, impor ke depan tetap harus memperhatikan hal ini.
Rochadi punya isu tersendiri terhadap UU Cipta Kerja di luar perkara kemudahan impor. Menurutnya yang bermasalah dari regulasi ini adalah izin peternakan malah digolongkan sebagai bisnis berisiko tinggi atau high risk. Klasifikasi ini dapat menghambat pertumbuhan usaha peternakan dalam negeri yang notabene penting untuk meningkatkan produksi dan mencapai swasembada daging, katanya.
Reporter Tirto telah menanyakan pendapat Kepala Sub Bagian Kerja Sama dan Humas PKH Kementan Aryani dan Direktur Jenderal PKH Nasrullah. Namun keduanya tidak menanggapi hingga naskah ini terbit.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino